Curahan Hati Seorang ODHA, Bahagia Bersama Suami dan 3 Anak

By nova.id, Selasa, 5 Januari 2016 | 02:15 WIB
Putri Cherry, terus berjuang mengedukasi dan bergerak membantu sesama ODHA. (nova.id)

Jatuh dan Depresi

Dulu, aku masih berbesar hati dan menganggap menjadi ODHA bukanlah akhir dari segalanya. Namun semangat itu lenyap sepeninggal almarhum suami. Aku makin bingung, enggak punya jati diri dan tujuan hidup. Ditambah, aku diberhentikan secara sepihak oleh perusahaan tempatku bekerja.

Kejadiannya bermula saat aku dipanggil atasan karena 3 hari tidak masuk kantor. Aku sampaikan bahwa izin kugunakan karena tengah berduka ditinggal suami. Ketika melamar pekerjaan, aku memang tidak jujur dan mengaku berstatus masih lajang. Aku pun sempat meminta maaf karena telah berbohong kepada perusahaan. Atasan saat itu masih merespons dengan baik dan mengatakan status tersebut tidak masalah dan bisa dikompromikan.

Namun, atasan kemudian mulai bertanya tentang penyebab meninggalnya suami. Tak ingin bermasalah dengan kebohongan lagi, aku pun jujur dan menceritakan status almarhum, begitu pun kondisiku yang tertular. Mendengar pengakuanku, atasan terlihat terkejut.

Agar atasan tidak salah paham dan tidak panik, dengan panjang lebar kujelaskan bahwa virus ini tidak akan mudah tertular hanya dengan sentuhan tangan atau berdekatan, tetapi lewat pertukaran cairan atau media yang terbuka dan hubungan intim. Sayangnya, atasan sepertinya ketakutan sehingga kabar ini pun sampai di meja HRD. Aku lantas dipanggil pihak HRD dan diberhentikan dengan alasan kontrak telah selesai. Padahal aku baru masuk beberapa bulan.

Aku ngotot bahwa kontrak kerjaku masih panjang. Pihak HRD kembali mencari alasan. Aku dianggap menggelapkan uang dan laporan. Semakin tidak terima, aku pun meminta bukti. Melihat aku ngotot karena memang tidak bersalah, akhirnya pihak HRD mengakui bahwa ada laporan dari atasanku mengenai status positif HIV/AIDS yang kuderita. Kabar ini sudah sampai ke pihak pemilik. Katanya, pemilik tidak bisa menerima pekerja yang berstatus ODHA. Meski aku sudah sampaikan bahwa statusku tersebut tidak akan menghalangi produktivitas kerjaku, tetapi kebijakan dan keputusannya tetap aku harus berhenti. Mau tidak mau aku harus menerimanya.

Kondisi ini membuatku benar-benar tertekan. Aku down dan depresi, sampai-sampai aku kontrol kejiwaan. Aku enggak mau makan dan hanya mengurung diri di kamar. Mamalah yang menguatkanku dan selalu bilang kalau aku tidak sendiri dan masih akan terus bersama mama.

Pernah, aku nekat ingin mati konyol. Beruntung mama sigap dan menggedor-gedor kamar mandi memintaku keluar. Mendengar mama menangis dan bilang bahwa beliau sayang aku, aku pun tersadar dan segera membuka pintu kamar mandi.

Mulai Menata Hidup

Aku bersyukur dikelilingi keluarga yang penuh dukungan. Aku bungsu dari 4 bersaudara mendapatkan semangat juga dari kakak-kakak dan seluruh keluarga besar. Mama juga tanpa henti selalu menyemangatiku. Bahkan aku pernah bertanya kepada mama, apakah beliau malu memiliki anak seperti aku yang berstatus pengidap HIV/AIDS?

Jawaban beliau begitu mengena di hatiku. Beliau meyakinkanku bahwa ia menyayangi anaknya dan selalu mendoakan yang terbaik untukku dan saudaraku. Beliau bahkan mengambil kaca dan memintaku untuk berkaca. “Tuh lihat, kamu masih cantik, masih bisa berbuat banyak hal, enggak ada yang bisa melarang. Semua balik ke diri kamu sendiri, Put,” begitulah kalimat lengkap beliau yang aku ingat betul sampai hari ini.

Aku tersadar dan langsung menerima ajakan beliau untuk keluar dari kamar dan mencari informasi mengenai HIV/AIDS ke Puskesmas tak jauh dari rumah. Mama memang yang lebih bersemangat membawaku berkonsultasi ke dokter. Aku sendiri masih diam seribu bahasa. Tak menyerah, mama terus mendampingiku pada beberapa pertemuan selanjutnya. Lagi-lagi, aku masih diam dan mendengarkan saja semua informasi dokter.