Pada pertemuan keempat, aku mulai bersuara. Aku mulai mau bercerita ke dokter. Aku meminta mama keluar dari ruang konsultasi dan memberikan waktu untuk berbicara empat mata dengan dokter. Kulihat senyum bahagia mama begitu melihatku mulai membuka diri.
Saat itu aku semakin sadar bahwa hidup terus berjalan. Aku tidak bisa tinggal diam. Dari dokter, aku pun semakin tahu soal HIV/AIDS dan langsung mengubah pola hidup sehat. Aku bertekad sembuh dan membahagiakan mama.
Kembali Berjodoh
Rutin datang berkonsultasi dan kontrol selama tiga bulan, akhirnya mama mulai percaya aku bisa kembali beraktivitas dan menata hidup kembali. Saat itulah aku bertemu dengan RW, suamiku yang sekarang. Kebetulan dia seorang aktivis sosial yang banyak membantu dan mendampingi remaja yang berkasus. Dia juga seorang tenaga dampingan untuk ODHA yang harus mengurus surat-surat kesehatan.
Hebatnya, dia bukan ODHA tetapi menunjukkan ketertarikannya kepadaku, perempuan yang positif HIV/AIDS. Aku begitu salut karena ini cukup langka, kok, orang yang negatif HIV/AIDS masih mau dengan orang yang positif HIV/AIDS sepertiku.
Kebersamaan kami pada kegiatan sosial mengedukasi masyarakat mengenai stigma diskiriminatif sampai menolong teman ODHA membuat kami semakin dekat. Dulu, aku bertekad tak ingin menikah lagi karena takut pasanganku tertular.
Ternyata, secara diam-diam, RW selalu berkonsultasi dengan dokter dan membaca berbagai referensi buku tentang bagaimana jika pasangan berstatus positif HIV/AIDS. Dia bahkan dengan sigap membantu teman ODHA yang saat itu akan melakukan persalinan. Agar bayi yang dilahirkan dapat segera ditangani dengan baik dan tidak tercemar virus yang dibawa sang ibu. Kami ikut membantu persiapan kelahiran, dari mulai menyiapkan air, bedong dan persiapan lainnya agar bayi tidak terkena virus.
Melihat kesungguhannya, aku pun luluh. Dan, setelah satu setengah tahun menjalani hubungan, aku yakin dan menerima ajakannya untuk menikah. Terbukti, sampai saat ini suamiku masih berstatus negatif, begitu pula ketiga anak-anakku. Anak pertamaku, KV, yang berusia 7 tahun, dan anak keduaku, KN, yang berusia 5 tahun, telah menjalani tiga pemeriksaan saat berumur 8 bulan, 2 tahun dan 5 tahun. Alhamdulilah, tidak ada virus, dan dinyatakan negatif.
Anak ketigaku, AS, kini masih berumur dua tahun dan aku optimis dia pun akan bisa hidup sehat dan normal seperti ayah dan kedua kakaknya. Biarlah cukup aku saja yang mengalami perjuangan melawan stigma diskrimasi sebagai ODHA.
Kabar baiknya, kini setelah aku cek, CD4 (SIDIFOR) ku kembali normal, VL ( Viral Load) ku pun hasilnya nol, artinya tidak ditemukan lagi virus di tubuhku. Sesuai doaku selama ini, aku ingin bisa hidup sehat dan bersih dari virus HIV/AIDS ini.
Tak henti aku mengucap syukur. Aku masih rutin mengkonsumsi obat ARV, disiplin menjalani pola hidup sehat yang jauh dari stres, mengonsumsi buah dan sayur higienis, tidak makan makanan mentah, dan berpikiran positif. Menjadi ibu dari tiga anak yang sehat dan mendapatkan dukungan dari suami merupakan kebahagian yang juga aku syukuri setiap hari.
Kini, aku banyak diminta menjadi pembicara di beberapa perusahaan besar untuk menghapus stigma diskriminitif sebagai ODHA. Mereka juga manusia dan memiliki hak kemanusiaan yang sama sehingga tidak perlu dibeda-bedakan atau dihindari. Dalam setiap kesempatan, aku juga selalu meminta agar orang waspada dan memeriksakan diri dengan menjalani tes VCT.
Kasus HIV/AIDS saat ini memang masih menjadi permasalahan. Sayangnya, kebanyakan korban adalah ibu-ibu rumah tangga. Aku selalu mengingatkan bahwa imej penderita HIV/AIDS sebagai orang yang “nakal” dan kotor itu tidaklah benar. Sampai detik ini aku konsisten mengajak teman-teman ODHA untuk berani bersuara. Juga, menjalani hidup sehat agar bisa pulih dari virus satu ini. Pasti bisa, kok. Tak mudah memang, tapi aku sudah membuktikan bahwa aku bisa bahagia bersama suami dan ketiga anakku.
Swita Amalia