Tabloidnova.com - Di tengah arus modernitas, mempertahankan seni tradisi bukan perkara mudah. Salah satunya adalah tari Topeng Losari Cirebon. Namun, berkat perjuangan yang dilakukan Nur Anani M. Imran, tari Topeng Losari terdengar hingga ke mancanegara. Lebih dari 20 negara sudah didatangi ibu dua anak ini untuk mengenalkan seni tradisi ini. Sanggar Purwa Kencana yang ia pimpin pun ikut dikenal. Berikut cerita lengkap perempuan kelahiran Cirebon, 5 Juni 1977 dalam upayanya melestarikan tari Topeng Losari Cirebon.
Apa yang membuat Anda berupaya mempertahankan tari topeng Losari Cirebon?
Tari Topeng Losari adalah satu dari sekian tradisi dari Losari Cirebon. Tarian ini syarat akan nilai-nilai tentang adab hubungan manusia dan Tuhan. Patut kiranya tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi. Saya adalah trah ketujuh, cucu dari Mimi Dewi dan Mimi Sawitri yang merupakan dalang topeng Losari Cirebon. Sedari kecil, saya sudah diamanahkan untuk terus mempertahankan seni tradisi ini. Apapun rintangannya, tari topeng ini harus terus ada dan dikenal masyarakat dan saya yang bertanggung jawab.
Merasa terbebanikah Anda memikul tanggung jawab besar itu?
Awalnya tidak karena ketika saya diberitahu ibu bahwa saya pewaris tari Topeng Losari, usia saya masih kecil. Saya tidak memahami tugas sebagai pewaris kesenian tradisi ini. Hanya rutinitas latihan menari tak kenal waktu yang membuat saya sempat berontak dalam hati. Kala teman seumuran bermain, saya hanya di sanggar untuk berlatih. Jika ada jeda menari pun digunakan untuk mendengarkan nasehat nenek tentang filosofi tari Topeng Losari. Saya kehilangan masa kanak-kanak dan berlanjut hingga saya remaja.
Saya mulai menyadari tanggung jawab besar dilimpahkan kepada saya ketika memasuki usia remaja. Nenek mendoktrin agar tari Topeng Losari harus terus dilestarikan dengan tetap berpegang teguh pada pakemnya dan tidak meninggalkan sejumlah tirakat.
Kenapa Anda yang diberi amanah sebagai pewaristari topeng Losari Cirebon?
Saya anak pertama dari lima bersaudara dari ibu bernama Mutri. Ibu adalah anak dari Dewi, dalang Topeng Losari. Namun, karena ibu saya bukan anak pertama, beliau tidak bertanggungjawab melanjutkan tradisi. Saya, cucu pertama dari keturunan Dewi, otomatis terpilih menjalankan tugas besar sebagai dalang Topeng Losari Cirebon. Ini yang membuat saya dipersiapkan sedari kecil untuk mengikuti jejak pendahulu, meski saat itu saya belum tahu tugas yang akan saya lakoni di masa mendatang.
Anda dikenal bukan sekadar penari tetapi sebagai juga dalang Topeng Cirebon. Apa beda keduanya?
Penari hanya menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik, sementara dalang lebih dari itu. Menjadi dalang tidak mudah, ada ritual yang harus dilakukan, berpuasa di antaranya. Puasa yang dilakukan pun tidak sedikit. Ada 11 jenis puasa yang mesti ditunaikan, di antaranya puasa weton, puasa daud, puasa muti, puasa ngasrep, puasa gedang, puasa pati ngeni, puasa nyepi, dan lainya. Keseluruhannya harus dilakukan selama 40 hari. Ritual ini yang tidak dilakukan oleh penari. Tarekat ini mulai saya kerjakan sejak mengenyam pendidikan kelas 5 SD dan menyelesaikannya ketika duduk di bangku kuliah semester 8. Berat memang tetapi ini pakem tari topeng yang tidak boleh diabaikan.
Apa arti Topeng Losari menurut Anda?
Tari ini nyawa saya. Dia membuat saya hidup karena bagi saya menari bukan sebatas menggerakkan tubuh tetapi berdoa, meritualkan sesuatu. Itu karena tari Topeng Losari media berkomunikasi antara tubuh saya dan Tuhan.
Apa yang membedakan tari Topeng Losari dengan tari topeng dari wilayah lainnya?
Tari Topeng Losari berbeda dari tari topeng di wilayah barat Jawa Barat lainnya. Gerakan misalnya, Topeng Losari memiliki gerakan galeyong dan gantung sikil yang tidak ada pada tari topeng lainnya. Galeyong adalah gerakan memutar badan ke belakang hingga nyaris seperti posisi kayang. Sedangkan gerakan gantung sikil adalah menari dalam posisi berdiri sambil mengangkat satu kaki. Gantung sikil ini bisa dilakukan sampai 10 menit lamanya tanpa henti. Secara menyeluruh, gerakan tari cenderung besar dan berbentuk elips atau memutar.
Perbedaan mencolok lain terlihat saat pertunjukan tari akan dimulai. Para penari duduk menghadap kotak tempat menyimpan topeng. Mereka nyambat atau berdoa agar tari yang akan dilakukan berjalan lancar. Doa ini selalu dilakukan setiap akan mulai dan setelah selesai menari.
Yang juga beda adalah lakonan, yaitu tarian yang mengandung cerita. Tari Topeng Losari mengambil lakonan dari cerita Panji Sutrawinangun. Semua tokoh yang dimainkan adalah tokoh lelaki, kecuali Dewi Candra Kirana. Itulah kenapa, gerakan tari topeng ini sangat gagah.
Yang lain adalah adanya kedok gelap. Kedok adalah topeng yang dikenakan penari Topeng Losari, dibuat dari kayu jaran. Umurnya sudah ratusan tahun. Topeng ini diwariskan secara turun-temurun. Uniknya, topeng Losari tidak punya lubang hidung dan lubang mata. Hampir tak ada celah untuk bernapas. Kostum dan historisnya juga tidak sama dengan tari topeng lainnya.
Apa tantangan Anda untuk mempertahankan tari topeng Losari Cirebon?
Dalam perjalanannya, tari Topeng Losari Cirebon mengalami naik turun. Di masa nenek saya, tari Topeng Losari Cirebon sempat dianggap tarian musyrik dan beraliran komunis. Seketika aktivitas tari topeng masa itu vakum. Namun, lambat laun label negatif itu hilang seiring pemahaman masyarakat bahwa tari topeng adalah tradisi yang harus dipertahankan. Di masa sekarang, rintangan yang datang berbeda. Modernitas memengaruhi sikap masyarakat. Kesenian tradisi dipojokkan dan berdampak pada sepinya permintaan manggung.
Masyarakat cenderung memanggil organ tunggal untuk mengisi perhelatan dari pada menampilkan tari Topeng Losari. Yang membuat sedih, mereka sanggup membayar mahal untuk organ tunggal, sementara maunya murah bila mengundang penari Topeng Losari, bahkan ada yang minta gratis.
Apa pengalaman menarik yang Anda temui selama berupaya melestarikan tari Topeng Losari Cirebon?
Di luar negeri, tari Topeng Losari sangat dihargai. Mereka rutin mengundang tari Topeng Losari Cirebon dalam misi kebudayaan. Sementara di kampung sendiri apresiasi pemerintah daerah belum maksimal.Tari Topeng Losari sering tidak dilibatkan pada event besar daerah karena gerak dan kostumnya berbeda. Ini seolah membatasi ruang dan kesempatan penari topeng losari untuk berkarya.
Bukan itu saja, gerak galeyong dan gantung sikil dianggap erotis sehingga tidak bisa ditampilkan di keraton. Belum lagi tak adanya dukungan moral dan material saat kami hendak pentas di luar kota. Tak jarang saya merogoh kantong sendiri untuk bisa ikuti padahal itu membawa nama daerah. Jujur saya miris tetapi saya tidak mau menyerah lalu berhenti melestarikan tari topeng Losari Cirebon.
Lalu, apa yang Anda lakukan untuk tetap bisa melestarikan tari Topeng Losari?
Tari ini sudah dikenal masyarakat, tidak terkecuali mancanegara. Masyarakat Eropa begitu mengapresiasi tarian sakral ini. Mereka bahkan mengagendakan tari topeng Losari untuk tampil di ajang bergengsi di sana setiap tahunnya. Hasil dari undangaan ke luar negeri ini yang digunakan untuk keberlangsungan tari Topeng Losari.Terkadang jika tidak ada dana untuk mengikuti pementasan di kota lain, saya menggadai barang milik pribadi.
Berapa jumlah murid di Sanggar Purwa Kencana milik Anda saat ini?
Saat ini, sebagian besar murid saya berasal dari desa tempat saya tinggal. Jumlahnya sudah mencapai 80 orang. Tadinya tidak sebanyak ini. Dalam berbagai kesempatan, saya mengingatkan warga untuk ikut ambil bagian melestarikan kesenian daerah ini. Selain itu, dengan mengetahui aktivitas saya menari hingga ke luar negeri, saya berharap mereka bisa percaya dan mengajak anak-anaknya menari. Ini yang akhirnya membuat sanggar saya ramai. Anak-anak desa antusias berlatih tari topeng. Saya senang melihat, setidaknya saya punya harapan akan keberlangsungan tari topeng Losari di masa mendatang.
Bagaimana masa kecil Anda dahulu?
Saya dari keluarga yang serba kekurangan. Sejak kecil saya sudah ikut membantu orangtua. Sebagai sulung dari lima bersaudara, saya bertanggung jawab menolong perekonomian keluarga. Saat ayah meninggal, kehidupan kami makin sulit. Di sela kegiatan menari, saya bekerja serabutan. Dari menjadi kuli hingga pembantu rumah tangga pernah saya lakukan. Meski hanya dibayar dengan upah murah, tetapi setidaknya saya dapat meringankan beban orangtua.
Lantas, bagaimana Anda bisa melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi?
Masa kecil saya prihatin. Untuk keperluan sehari-hari saya harus bekerja, termasuk untuk bersekolah. Bahkan seringkali saya minta pihak sekolah untuk meringankan biaya sekolah. Kompensasinya saya ikut perlombaan dan harus bisa menjadi juara atau menari di berbagai kegiatan di sekolah. Semua itu pernah saya jalani demi bisa mendapat pendidikan.
Sedari kecil saya memang bersemangat bersekolah. Nenek juga selalu memotivasi saya untuk tidak putus sekolah dan berharap suatu ketika saya dapat duduk di bangku perguruan tinggi. Katanya, keturunan Dewi dan Sawitri harus ada yang berpendidikan tinggi.
Ketika lulus SMA, nenek minta murid-muridnya membantu saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kebetulan,s eorang muridnya adalah dosen di STSI Bandung. Saya akhirnya melanjutkan pendidikan ke STSI Bandung dengan beasiswa. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Ini saya buktikan dengan menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan IPK memuaskan.
Apa harapan Anda di masa depan?
Saya ingin bisa memberi manfaat bagi banyak orang, mengabdikan diri untuk keberadaan tari Topeng Losari Cirebon dan menjadikan tari ini dikenal masyarakat.
Sejumlah penghargaan telah diraih Nur Anani, di antaranya Penghargaan Satya Lencana dari Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (2011), Penari Muda Terbaik dari Presiden RI Megawati Soekarno Putri (2004), mengikuti Word Dance Day 2016 di Solo (2012), Asia Japan 2015, Tokyo (November 2015), Frankfurt Book Fair 2015, OZ Asia Festival, Adelaide, Australia (2015).
Sarjana seni lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung Jurusan Seni Tari ini juga berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti Misi Kesenian Ke Tujuh Kota Di Jepang (Tokyo, Osaka, Okinawa, Narita, Fukuoka, Kyoto, dan Shibuya) dalam Rangka “Dancing Trough Time”, Kolaborasi Musik Dan Tari Tradsional Bersama Miroto Dance, Retno Maruti, Djaduk Ferianto, Sal Murgiyanto, serta Musisi dan Penari Jepang (November 1999)
Maya Dewi Kurnia