Catherine Hindra Sutjahyo, Cheerleader Bagi Para Pegawai

By nova.id, Minggu, 21 Agustus 2016 | 05:01 WIB
Catherine Hindra Sutjahyo (nova.id)

Sempat bekerja di perusahaan konsultan manajemen, dara manis kelahiran Surabaya 33 tahun silam ini melompat ke bidang e-commerce. Setelah menjadi salah satu pendiri Zalora Indonesia dan bekerja di perusahaan e-commerce di Amerika, kini ia ditunjuk menjadi CEO Alfacart, e-commerce yang sebelumnya bernama Alfa Online.  

Sejak kapan bergabung dengan Alfacart?

Sejak 1 Maret 2016. Sebelumnya, saya memang pernah bertemu pihak Alfamart. Nah, waktu mereka berencana membesarkan Alfa Online yang kemudian berganti nama menjadi Alfacart dan membutuhkan Chief Executive Officer (CEO), saya dikontak. Proses pembicaraan berlangsung 3-4 bulan, sebelum akhirnya saya pindah ke Alfacart. 

Menurut Anda, apa yang membuat Anda dipilih?

Saya tidak tahu, tapi mungkin karena melihat pengalaman saya di e-commerce. Sebelumnya saya, kan, pernah “pegang” e-commerce dan punya background bekerja di perusahaan management consultant. I think mix of that.

Anda sendiri, mengapa tertarik untuk bergabung dengan Alfacart?

Saya melihat konsep Alfacart membawa sesuatu yang baru di dunia e-commerce, yang mungkin pemain lain tidak punya, yaitu sistem O to O atau Offline to Online atau Online to Offline, sama saja. Saya melihat, selama berkecimpung di bidang ini, e-commerce Indonesia membutuhkan dua hal. Pertama, lebih menyosialisasikan e-commerce di kalangan lebih banyak orang Indonesia. Sebab, meski saat ini pemainnya sudah banyak, sebenarnya prosentase orang yang berbelanja di e-commerce masih kecil sekali.

Nah, dengan memanfaatkan jaringan distribusi Alfamart dan kami membuat toko-toko Alfamart sebagai point O to O Alfacart, kami punya posisi yang lebih baik untuk merangkul orang-orang yang sebelumnya mungkin susah, tidak berani, atau bermasalah dengan trust level (tingkat kepercayaan) untuk mencoba e-commerce. We are trying to bridge that.

Kedua, karena kami juga melihat jaringan distribusi Alfamart sebenarnya jadi aset yang sangat berharga bagi sistem distribusi Alfacart, untuk fulfillment order, dan lainnya. Sebab, di Indonesia ini karena wilayahnya banyak berkepulauan, logistic cost is always one of the issue.

Tepatnya seperti apa sih O to O itu?

O to O adalah Offline to Online. Alfacart menggunakan sistem ini dengan memanfaatkan jaringan Alfamart yang jumlahnya mencapai hampir 12 ribu toko. Kami bisa menggunakan konsep O to O untuk beberapa hal.

Pertama, payment point. Jadi, orang bisa membayar pembelian di Alfacart lewat Alfamart, walaupun kami tetap menawarkan delivery service. Ini sangat convenient, ketimbang pakai kartu kredit atau mengantre di bank. Lagipula, Alfamart ada di mana-mana. Kedua, sebagai pick up point. Jadi, kita bisa memilih di toko Alfamart mana pesanan di Alfacart akan diambil. Kalau belanja online, biasanya malas menunggu kurir datang karena jadi enggak bisa keluar rumah. Atau, pas kita pergi, kurirnya datang.

Ketiga, sebagai return point. Artinya, ketika barang yang dipesan hendak ditukar, bawa saja ke Alfamart terdekat sebagai return point. Ini yang sedang kami kembangkan. Belum semua toko bisa melayani hal ini.

Keempat, sebagai drop off point. Kalau kita baru bisa mengurus pengiriman barang sepulang kerja, jasa kurir yang buka sampai larut malam, kan, sulit dicari. Nah, dengan cara ini, pukul 21.00 pun orang masih bisa mengantar barang yang akan dikirim ke Alfamart terdekat. Ini juga sedang kami kembangkan.

Terakhir, sebagai purchase point. Mulai banyak orang Indonesia berbelanja online, tapi masih lebih banyak lagi yang belum dengan berbagai alasan. Bingung caranya, tidak percaya, dan lainnya. Nah, dengan menawarkan purchase point di toko Alfamart, ketika orang merasa khawatir atau ragu, ada toko yang bisa didatangi. Untuk orang Indonesia, hal itu sangat penting. Touch and feel are still very important for Indonesian.  

Bagaimana Anda memandang Alfacart?

Kami baru launching Alfacart sejak 30 Mei lalu. Memang Alfa Online sudah dimulai hampir tiga tahun lalu, tapi waktu itu hanya sebagai online channel-nya Alfamart, jadi hanya menjual barang-barang Alfamart. Nah, sejak menjadi Alfacart yang menandai kami sebagai full-fladged e-commerce, barang-barang yang ditawarkan bukan hanya barang-barang grocery. Kami juga membuka market place.

Jujur, memang banyak pemain di luar sana yang lebih dulu dari Alfacart. Kami tahu siapa saja mereka dan kami harus banyak belajar dari mereka. Namun, pada saat yang sama, saya melihat kami punya sesuatu yang berbeda dari yang lain, yaitu konsep O to O. Mudah-mudahan meski masih terbilang muda, kami bisa berkembang cukup pesat. Jumlah karyawan sekarang sekitar 270 orang. Jumlahnya berkembang pesat seperti ini setelah menjadi Alfacart.

 Seberapa besar keyakinan Anda Alfacart bisa berkembang pesat?

Saya sangat optimis dan kami punya plan. Target kami, setidaknya menjadi top three e-commerce Indonesia. Untuk mewujudkan hal itu, ada banyak hal yang kami lakukan. Dari sisi offering, misalnya, kami sangat agresif untuk mendapatkan berbagai brand yang dicari orang. Dari sisi marketing, kami juga sangat agresif baik secara offline maupun online, supaya orang mulai tahu apa sih, Alfacart itu.

Mudah-mudahan dengan O to O dan berbagai kemudahan yang kami tawarkan bisa membuat kami dilihat konsumen sebagai pemain yang menawarkan sesuatu yang lebih. Kami lebih luwes, karena kalau hanya menawarkan online saja, enggak cocok untuk masyarakat Indonesia. Sistem ini kami bangun benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.   

Apa tantangannya?

Yang pertama, meyakinkan orang Indonesia untuk mencoba belanja online. Kalau hanya menarget konsumen yang sudah biasa berbelanja online, nanti e-commerce Indonesia enggak kunjung besar. Jadi, kami harus mulai merangkul semakin banyak orang untuk mulai belanja online. Kedua, e-commerce Indonesia berkembang dengan sangat cepat. Talent yang bagus untuk e-commerce sangat susah dicari.

Bagaimana meyakinkan konsumen bahwa apa yang mereka pesan, itulah yang mereka dapatkan?

Meski kami market place, approval untuk supplier dan barang yang bisa dijual tetap ada pada kami. Jadi, orang mendaftar, menjelaskan produknya, lalu kami seleksi. Kami punya merchandising team yang akan menyeleksi, disetujui atau tidak. Kalau disetujui, baru bisa naik ke website. Kami memang repot dan menambah tenaga untuk itu, tapi tujuan kami adalah menjamin bahwa yang dijual di Alfacart tidak ada barang palsu atau KW dan bukan barang ilegal. Memang butuh waktu sedikit lebih lama, tapi kami ingin menjamin konsumen.  

Ada berapa item yang ditawarkan di Alfacart?

Ratusan ribu, itu pun masih banyak yang belum tersedia. Kami masih ngebut. Jumlah supplier sendiri ribuan dari seluruh Indonesia.

Bagaimana mengontrol supplier yang nakal, misalnya mengirim barang yang tidak sesuai dengan pesanan?

Kami selalu memonitor supplier dan kami punya rapor mereka. Bukan hanya soal kualitas barang, melainkan juga soal kecepatan dia mengirim barang. Mungkin tidak langsung dipinalti, melainkan kami ingatkan lebih dulu atau apa yang bisa kami bantu. Sebab, banyak juga dari mereka yang masih belajar. Nah, peran kami juga mengedukasi mereka.

Sebagai CEO, Anda kan, terbilang masih sangat muda. Bagaimana menghadapi anak buah yang lebih senior atau lebih tua?

Bagaimana ya? The way I look at it is the same. Selama kita men-treat semua orang sama tanpa melihat umur, saya rasa itu bukan masalah. Mau umurnya lebih muda atau tua, posisinya di atas atau di bawah, we have to treat everyone the same. Harus ada respect dan trust. Kalau enggak, enggak mungkin dengan pegawai yang jumlahnya kurang dari 300 orang kami bisa mencapai mimpi. So we have to work as a solid team. Lagipula, kami berkembang sangat cepat, jadi enggak sempat memikirkan hal seperti itu. Ha ha ha. Yang lebih penting adalah kami sedang membangun budaya perusahaan, karena kami masih sangat baru. 

Sebagai perempuan yang terjun ke dunia e-commerce yang saat ini kebanyakan ditekuni pria, pernah dipandang sebelah mata soal kemampuan Anda?

Hmm… saya orangnya cuek kali ya, jadi enggak merasa dipandang sebelah mata atau enggak. I’m sure ada beberapa orang yang bertanya-tanya apakah saya sudah pantas berada di posisi ini. Tapi buat saya, biarlah pekerjaan kita saja yang nanti akan membuktikan.

Bisa diceritakan latarbelakang karier Anda?

Sejak lahir sampai lulus SMA saya di Surabaya, lalu kuliah di Nanyang Technological University, Singapura mengambil jurusan banking finance. Lulus kuliah tahun 2004, saya bekerja di perusahaan konsultan manajemen McKinsey di Singapura selama dua tahun. Setelah itu, saya bekerja di sebuah small venture capital di Singapura dan India. Lalu, saya kembali lagi bekerja di McKinsey, tapi yang di Jakarta, selama dua tahun. Setelah itu saya jadi salah satu pendiri Zalora Indonesia.

Mengapa terjun ke e-commerce?

Saya melihat Indonesia akan membutuhkan e-commerce. Contohnya enggak usah jauh-jauh. Saya, kan, dari Surabaya. Ketika tinggal di Jakarta, pilihan brand baju untuk orang Jakarta banyak banget. Begitu pindah ke Surabaya yang notabene kota terbesar kedua di Indonesia, misalnya, pilihannya sudah lebih sedikit. Nah, untuk kota-kota yang lebih kecil lagi, tentu pilihannya semakin sedikit. Nah, saya melihat e-commerce bisa menjadi solusinya dan mengisi kesenjangan itu. Jadi, e-commerce bisa memberikan akses dan pilihan barang, harga yang tidak berkali lipat seperti halnya kalau kita melihat barang yang sama di Jakarta dan Papua, misalnya. Ini salah satu alasan utama yang akhirnya membuat saya memutuskan, let’s jump to e-commerce.

Dibandingkan Amerika, seperti apa perkembangan e-commerce di Indonesia?

Perbedaan sebetulnya terletak pada keberadaan e-commerce Indonesia yang masih sangat baru. Jadi, effort e-commerce di Indonesia banyak dihabiskan untuk mengedukasi tentang apa itu e-commerce. Apalagi, saat Zalora didirikan 4-5 tahun lalu, e-commerce masih sangat sedikit. Kalau sekarang, setidaknya orang Jakarta dan Surabaya pasti tahu lah. Nah, pe-er kami sekarang “keluar” Jakarta dan Surabaya untuk mengedukasi orang.

Kalau dilihat dari minat belanja, bagaimana?

Bisa dibilang, Indonesia masih awal. Prosentase penjualan online masih di bawah 1 persen dibanding dengan total konsumsi retail. Padahal di China, Jepang, Amerika, dan Korea, penjualan online di sana sudah di atas 10 persen. Kalau orang bilang persaingan e-commerce sudah ketat, mungkin melihatnya hanya di Jakarta. Namun, kalau kita melihat potensi berkembangnya e-commerce, masih besar sekali. Jadi, di Indonesia masih sangat besar pertumbuhannya. Ini yang membuat saya yakin Alfacart bisa tumbuh pesat.

Bagaimana caranya meyakinkan agar orang mau melirik e-commerce?

Kalau di Amerika, ibaratnya konsumen sudah tinggal ditawari mau beli yang mana, tapi kalau di sini e-commerce harus melakukan satu tahap sebelumnya lebih dulu, yaitu investasi berupa edukasi dan ajakan agar orang berbelanja online, mau bayar pakai cara apa, dan sebagainya.

Dari dulu saya selalu bilang, Indonesia e-commerce is too new and too big, kalau sebagai pemain semua perusahaan e-commerce tidak bekerja bareng-bareng. Sebab, it takes a lot untuk mengedukasi market ini. Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) termasuk salah satu caranya. Ada juga perkumpulan e-commerce yang membuat kita saling bertukar pendapat untuk membesarkan e-commerce. Sampai hari ini pun, kami masih berusaha meyakinkan orang untuk mencoba.   

Apa suka duka bekerja di bidang e-commerce?

Sukanya banyak, karena pada dasarnya kami berbisnis dengan konsep shipping. Dulu, pertama kali ada istilah cash on delivery (COD), masih banyak yang belum tahu. Sekarang, sudah pada tahu. Nah, hal-hal seperti inilah yang memuaskan hati. Dukanya, masih banyaknya trust issue. Masih banyak orang Indonesia yang belum percaya untuk berbelanja online. Ibaratnya, kami sudah empot-empotan berusaha, orang masih balik lagi ke pertanyaan, nanti barangnya sampai atau tidak. Ini memang pe-er buat kami. Kalau orang masih bertanya soal itu, berarti kami belum melakukan tugas dengan baik.

Bagaimana komentar orangtua melihat Anda terjun di dunia e-commerce yang waktu itu masih terbilang baru?

Orangtua saya, sih, sejak dulu supportive banget, tidak keberatan saya bekerja di bidang e-commerce. Saya mau ngapain aja, boleh. Kayaknya, prinsip mereka adalah selama sudah dibekali sesuatu dan sudah cukup cerdas untuk memutuskan sesuatu, biarkan anak-anak melakukan yang terbaik. Yang mereka lakukan adalah mendoakan dan mendukung. Orangtua saya sampai sekarang tinggal di Surabaya, mengelola usaha milik sendiri.

Tidak tertarik untuk meneruskan usaha orangtua di Surabaya?

Tidak, ha ha ha. Mungkin zamannya sudah berbeda, ya. Papa dan Mama memang punya usaha yang dibangun sebagai perusahaan keluarga kecil-kecilan saja. Sejak kami kecil, beliau selalu meng-encourage kami untuk “keluar” dan melakukan apa yang menurut kami terbaik untuk dilakukan. Jadi, support dari orangtua juga yang membuat saya bisa begini.

Adakah teman yang menganggap Anda masih terlalu muda sebagai CEO, padahal umur Anda sama dengan mereka?

Hahaha… Kalaupun ada, mungkin enggak akan ngomong. Enggak ada lah. Saya bersahabat erat dengan enam teman perempuan lain yang sudah akrab sejak kuliah sampai hari ini. Kami sering hang out bareng saat akhir pekan. We always support each other and happy for each other’s achievement.    

Apa hobi Anda saat senggang?

Nonton film. Kalau sedang punya waktu dan niat, saya juga hobi memasak.

Hasuna Daylailatu