Stop, Jangan Percaya Lagi dengan 5 Mitos Seputar Vaksin Ini

By Dionysia Mayang, Selasa, 15 Agustus 2017 | 03:06 WIB
Stop, Jangan Percaya Lagi dengan 5 Mitos Seputar Vaksin Ini (Dionysia Mayang)

NOVA.id - Ada beberapa orangtua menolak untuk memvaksin anaknya karena berbagai alasan.

Salah satunya, karena mereka menganggap vaksin tidak efektif mencegah penyakit, bahkan bisa menyebabkan gangguan mental seperti autis dan penyakit kronis.

Tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di Amerika Serikat.

Menurut National Committee on Quality Assurance (NCQA), jumlah anak-anak peserta vaksin tahun kemarin turun 3,5 persen dari tahun sebelumnya.

(Baca juga : Awas! Jangan Salah Lagi, Ini Bedanya Paprika Hijau, Merah, dan Kuning)

Benarkah vaksin berbahaya untuk anak-anak? Yuk, kita luruskan anggapan-anggapan negatif tersebut di sini.

1. Mitos: Vaksin tidak memberantas penyakit.

Satu-satunya penyakit yang jauh berkurang, bahkan di beberapa tempat tidak lagi ditemukan adalah cacar.

Penyakit lainnya datang dan pergi seperti batuk rejan dan campak. Atau polio, di negara-negara berkembang.

Jika kita berharap vaksin bisa memberantas semua virus selamanya, itu tidak akan terjadi.

Soalnya, vaksin adalah upaya perlindungan untuk kita atau anak kita secara pribadi - bukan untuk memberantas keberadaan virus di dunia ini selamanya.

(Baca juga : Mau Sarapan Praktis? Coba Enaknya Pasta Saus Sarden)

2. Mitos: Jadwal vaksin yang diberikan dokter terlalu berlebihan banyaknya untuk anak-anak.

Vaksin adalah tantangan sepele jika dibandingkan apa yang dihadapi anak-anak setiap hari.

Udara dan lingkungan sekitar anak-anak mengandung bakteri, mikroba dan virus dalam jumlah yang sangat banyak.

Anak-anak terpapar olehnya dan kebanyakan mereka baik-baik saja, kata Paul Offit, Kepala Divisi Penyakit Infeksi dari Rumah Sakit Anak Philadelphia.

(Baca juga : Wow, Ternyata Begini Cara Mudah Hilangkan Kerak pada Peralatan Masak)

Para pakar imunologi di University of California, San Diego, pernah mengadakan percobaan untuk melihat seberapa banyak tantangan imunologi yang bisa dihadapi oleh seseorang yang sehat dalam satu waktu.

Setelah mengevalusi berbagai senyawa dalam vaksin, termasuk bakteri protein, bakteri polisakarida dan berbagai virus, mereka menemukan bahwa anak-anak dapat dengan aman merespon sebanyak 100.000 vaksin dalam dosis terukur, sekaligus.

CDC merekomendasikan anak-anak mendapat hanya 14 jenis vaksin dalam waktu dua tahun.

(Baca juga : Ternyata Foto Instagram Gaya Begini Merupakan Tanda Depresi, Loh!)

3. Mitos: Vaksin MMR menyebabkan autis.

Mitos ini dimulai tahun 1998 oleh studi tim Dr. Andrew Wakefield dan dipublikasikan dalam jurnal The Lancet.

Studi tersebut mengevaluasi 12 anak, delapan di antaranya dikatakan oleh orangtua masing-masing, mendapat gangguan perilaku setelah vaksin MMR.

Studi ini menyebabkan kepanikan, angka vaksinasi turun, dan angka penyakit naik.

Awal tahun ini, para editor Lancet secara resmi menarik publikasinya dan mengatakan bahwa itu semua berdasar informasi yang diragukan.

(Baca juga : Luapan Hati Bahagia Mieke Amalia Sambut Tora Sudiro Bebas Setelah Sempat Ditahan Karena Dumolid)

Banyak penelitian lain, termasuk yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association dan British Medical Journal, menunjukkan peningkatan angka autisme tidak terkait dengan vaksin MMR.

Salah satu studi jangka panjang terbesar diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada tahun 2002.

Studi itu mengevaluasi 537.000 anak-anak dan menemukan tingkat autisme yang sama di antara anak-anak yang telah divaksin dan yang tidak divaksin.

Setelah ulasan yang luas, Institute of Medicine, American Academy of Pediatrics, Organisasi Kesehatan Dunia dan otoritas medis utama lainnya menyimpulkan hal yang sama: Vaksin MMR tidak menyebabkan kenaikan kasus autisme.

(Baca juga : Mengenal Lebih Dekat Sindrom Tourette yang Diderita Tora Sudiro, Bisa Bermula di Umur 2 Tahun Loh!)

4. Mitos: Vaksin tidak 100 persen aman.

Ini benar, tapi menghindari vaksin juga tidak aman. Hampir semua vaksin diberikan lewat suntikan.

Suntikan ini menyebabkan rasa sakit dan sedikit luka sementara. Efek samping lainnya adalah demam, anak rewel, dan alergi.

Komplikasi yang lebih serius, jarang terjadi. Misalnya vaksin rotavirus zaman dulu yang sekarang sudah dilarang beredar, pernah diduga terkait dengan masalah penyumbatan usus.

(Baca juga : Jangan Takut, Ini 5 Alasan Mengapa Kita Perlu Datang ke Pernikahan Mantan)

Di Amerika Serikat, ada lebih dari sejuta anak sempat mendapat vaksin ini. Seratus di antaranya menderita gangguan usus dan satu meninggal dunia.

Vaksin rotavirus yang baru tidak ditemukan terkait dengan gangguan penyumbatan usus dalam bentuk apapun.

Rotavirus adalah penyebab paling umum diare berat pada anak-anak.

Rotavirus membunuh 20-100 anak setiap tahunnya di AS, 55-100 ribu anak dirawat di rumah sakit tiap tahunnya, menurut National Institute of Allergy and Infectious Disease.

Secara global, diperkirakan ada tiga juta anak meninggal setiap tahun karena rotavirus.

(Baca juga : 6 Hal Yang Sering Dilupakan Saat Menjadi Orangtua Generasi Millennials)

5. Mitos: Vaksin tidak mempan melawan penyakit.

Karena beberapa vaksin telah ada selama lebih dari 50 tahun, sebagian besar orangtua muda tidak akrab dengan penyakit yang mereka coba cegah. 

Misalnya, sebelum vaksin tersedia pada tahun 1963, hampir semua orang pernah menderita campak sebelum usia 15 tahun.

Di Amerika Serikat, penyakit ini pernah menewaskan rata-rata 450 orang tiap tahun, sebagian besarnya adalah anak-anak.

(Baca juga : Mam dan Pengasuh Beda Cara Asuh? Ini Bahayanya)

Setelah vaksin diperkenalkan, kasus campak pernah mencapai titik terendah yaitu 37 kasus pada 2004.

Tapi dua tahun lalu, jumlah itu naik menjadi lebih dari 130, menurut CDC. Diduga penyebabnya adalah banyak anak tidak divaksinasi karena orangtuanya tidak mau.

Di Inggris dan Wales, menurut Badan Perlindungan Kesehatan setempat, kecenderungan yang sama juga terjadi. Kasus campak naik dari 56 kasus di tahun 1998 menjadi 1.348 kasus pada tahun 2008. Sekarang ini, campak kembali dianggap sebagai penyakit endemik.(*)

(Lily Turangan/Kompas.com)