Masak Langsung di Hutan, Begini Kisah Haru Chef Chato dari Papua

By Healza Kurnia, Sabtu, 14 Juli 2018 | 19:00 WIB
Charles Toto atau yang akrab disapa Chef Chato, chef yang menyajikan makanan khas Papua, langsung da (Eng Naftali/NOVA)

NOVA.id - Chef yang satu ini menawarkan pengalaman yang unik dan sangat berbeda dari rekan-rekan seprofesinya.

Keinginannya untuk menggali dan mempertahankan makanan tradisional Papua mendorongnya membuat Papua Jungle Chef.

Di dalam hutan, ia mendampingi para tamu asing selama berbulan-bulan untuk menyajikan makanan khas Papua, langsung dari dalam hutan.

Nama aslinya Charles Toto, tapi lebih akrab disapa Chef Chato.

Baca juga: Wow, Ini Buktinya Kedokteran Kecantikan Indonesia Juga Berkualitas

Meski hanya mengenyam pendidikan formal tentang boga di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Tata Boga di Jayapura, Papua, kecintaannya pada dunia kuliner membuatnya terus menekuni bidang ini demi menyelamatkan makanan tradisional Papua.

Chato sendiri mulai mengenal dunia boga setelah mengenyam pendidikan di SMKK.

Setelah beberapa lama belajar, ia merasa banyak ilmu yang didapat.

Setahun Chato masuk SMK, ia menggantikan ibunya memasak di rumah.

Lulus sekolah 1996, tahun berikutnya Chato memulai kariernya di dunia kuliner dengan bekerja di sebuah hotel bintang satu di Jayapura.

Sembilan bulan pertama dilaluinya dengan menjadi pencuci piring di sana.

Baca juga: Jadi Ini Alasan Meghan Markle Selalu Gunakan Sepatu Hak Tinggi

Selama bekerja, ia melihat setiap hari banyak turis asing yang baru pulang dari hutan Papua dan meletakkan barang bawaan mereka yang banyak di depan hotel.

Mereka rata-rata melakukan perjalanan bisa sampai berminggu-minggu, bahkan beberapa bulan di dalam hutan untuk keperluan pekerjaan, misalnya syuting film dokumenter, penelitian, dan sebagainya.

“Dalam hati saya penasaran, mereka makan apa di dalam hutan?” ujar Chato yang kemudian mulai bertanya pada teman-temannya yang mendampingi turis-turis itu ke hutan, untuk mencari jawaban.

“Ternyata mereka memasak makanan instan, yang mereka bawa dalam jumlah banyak. Itu sebabnya, porter yang dibutuhkan untuk mengangkut bawaan juga banyak. Saya heran, apakah para tamu yang sudah membayar mahal itu tidak komplain soal makanan, ketika terjadi kondisi darurat di hutan?” tuturnya.

Baca juga: Setelah Nasi Bakar, Entrepreneur Muda Ini Sukses Berbisnis Nasi Kotak

Dari cerita teman-temannya, Chato tahu bahwa ternyata memang tamu terkadang komplain lantaran tak ada makanan cadangan ketika kondisi darurat.

Padahal, mereka harus bertahan lebih lama dari waktu dan persediaan makanan yang diperkirakan.

Dari situlah, Chato berpikir untuk memanfaatkan peluang itu.

Ia memilih keluar dari “pakem” lulusan SMKK jurusan Tata Boga, yang biasanya memiliki usaha kuliner sendiri, bekerja di restoran, kafe, atau di hotel.

“Saya ingin orang tahu, memasak tidak harus di hotel atau dapur. Memasak juga bisa dilakukan di alam terbuka,” tandas aktivis lingkungan ini.

Kariernya menjadi chef dalam hutan dimulai pada 1997 itu, dengan melakukan tur panjang dari Lembah Baliem sampai Raja Ampat.

Baca juga: Syuting dengan Prilly Latuconsina, Rossa Merasa Ada Chemistry, Kenapa ya?

Selama 1,5 bulan, Chato mendampingi 5-6 turis asing yang merupakan sebuah keluarga asal Amerika.

Chef Chato saat menunjukkan bahan-bahan masakan yang biasa ia olah (Eng Naftali/NOVA)

Ketika ditawari memasak untuk mereka, ia siap walaupun tak punya ilmu dasar yang kuat untuk menghadapi kondisi darurat.

Namun, ia merasa para tamu asing ini harus diservis dengan baik karena sudah membayar mahal.

Sementara, sebelumnya tamu-tamu yang akan berangkat ke hutan mempekerjakan orang-orang yang tidak punya latar belakang di dunia kuliner.

Jadi, makanan yang disajikan apa adanya.

Sejak menerima tawaran itu, Chato keluar dari pekerjaannya di hotel.

Ia siap melakukan hal baru ini meski bertolak belakang dengan pekerjaan chef di dapur.

Baca juga: Ironis, Bocah 3 Tahun Meninggal Akibat Overdosis di Tangan Sang Dokter

Sementara di dapur bisa duduk-duduk dan pekerjaan terkesan monoton, menurutnya menjadi chef di hutan sangat menantang.

Sebab, tak hanya memasak dan harus mampu berinovasi menyusun menu, ia juga harus melakukan perjalanan yang membutuhkan fisik yang baik.

Saat tur perdana, ia sempat berniat membawa daging mentah sebagai bekal ke hutan.

Namun, ia kemudian memilih menggunakan bahan makanan segar dan mentah seperti daging, dan lainnya yang tersedia di hutan.

Menurutnya, makanan itu lebih higienis dan organik.

Sebab, perjalanan yang ditempuh lama dan jauh, sehingga ia harus meminimalisir beban bawaan selama perjalanan, baik di dalam hutan maupun obyek wisata di Papua yang masih tradisional.

Itu sebabnya, ia dan timnya memanfaatkan sumber daya alam yang ada di hutan sebagai bahan makanan.

Baca juga: Non Stop Shopping, Ini Lokasi Belanja Favorit dan Terbesar di Dubai

Dalam sehari, ia dan rekan-rekannya hanya tidur tiga jam.

Di luar itu, ketika tidak sedang bekerja, ia dan timnya menghabiskan waktu untuk melakukan perjalanan.

Pada hari-hari pertama, tamunya bingung dengan makanan yang ia sajikan karena menunya monoton.

Beruntung, ia langsung sadar dan mengubah strategi.

Ulat sagu jadi salah satu bahan baku Chato dalam memasak (Eng Naftali/NOVA)

Menu yang keluar pada hari pertama, baru disajikan kembali pada hari kelima, bukan hari kedua.

Di sisi lain, Chato juga tetap mengeluarkan makanan kaleng agar tamu tidak bosan.

Untuk sajian para tamunya di hutan, Chato membuat standar menu pembuka, utama, dan penutup.

Baca juga: Seorang Nenek Warisi Harta Hampir 10 Miliar, Hal Ini yang Malah Dilakukannya

Menu pembuka biasanya berupa sup, yang bisa berbahan apa saja, misalnya sup pohon mibun dan kerupuk.

Ini berguna untuk mengembalikan stamina.

Menu utama biasanya dari sagu.

Bila tidak ada, sagu digantikan beras atau makanan lain untuk mendapatkan karbohidratnya.

Sedangkan untuk protein bisa dari ikan, dengan catatan tergantung kondisi medan.(*)

(Hasuna Daylailatu)