NOVA.id - Masih ingatkah Sahabat NOVA dengan kasus Tora Sudiro yang pernah berurusan dengan pihak yang berwajib karena ditenggarai memakai obat jenis psikotropika.
Saat itu, Tora menggunakan obat itu karena menderita sindrom Tourette, meski belum diketahui benar apakah menderita sindrom tersebut.
Namun, banyak kalangan yang membenarkan bahwa Tora disebut-sebut menderita sindrom ini.
Walaupun keterkaitannya belum diketahui secara pasti, namun pada banyak kasus sindrom Tourette sering dikaitkan dengan gangguan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).
Baca juga: Ingin Anak Makin Betah di Kamar? Yuk, Intip Desain Imut nan Ceria InI!
Diketahui dalam sebuah penelitian bahwa kondisi ini dialami oleh 6 dari 10 anak dengan sindrom Tourette.
Penyakit lain yang ditemukan menyertai sindrom ini adalah OCD (Obsessive-Compulsive Disorder), yang dialami oleh 5 dari 10 anak penderita sindrom Tourette.
Oleh karenanya, untuk mendiagnosis sindrom Tourette, kita perlu mengetahui kapan gejala tersebut mulai muncul, seberapa sering sindrom Tourette muncul, apakah sindrom Tourette muncul karena pengaruh penggunaan obat-obatan tertentu, dan lain-lain.
Diagnosis juga bisa ditegakkan dengan melakukan serangkaian tes seperti MRI, CT scan, dan sebagainya.
Baca juga: Duh, Jari Tengah Istri Pangeran Charles Teriris, Ada Apa ya?
Sementara itu, dilansir dari laman Mayo Clinic, ada kriteria yang bisa digunakan untuk mendapatkan diagnosis sindrom ini, seperti:
1. Mengalami, baik tics motorik ataupun tics vokal, walaupun tidak dalam saat yang bersamaan.
2. Tics dialami beberapa kali dalam sehari, hampir setiap hari, atau berselang-seling, dan terjadi selama lebih dari satu tahun.
3. Tics dimulai sebelum usia 18 tahun.
4. Tics tidak dialami karena pengaruh obat-obatan, zat, atau kondisi medis lainnya.
Baca juga: Duh, Jari Tengah Istri Pangeran Charles Teriris, Ada Apa ya?
Rena Masri, M.Psi., psikolog dari Pion Clinician memaparkan salah satu cara menangani anak dengan sindrom Tourette adalah dengan melakukan terapi obat, terapi perilaku atau terapi psikologis, memberikan edukasi kepada anak yang mengalami sindrom Tourette tersebut, juga kepada keluarga atau lingkungannya.
Obat diberikan bukan untuk menyembuhkan sindrom ini, karena sindrom Tourette pada dasarnya tidak ada obat untuk menyembuhkannya.
Tujuan dari pemberian obat-obatan adalah untuk menekan gerakan-gerakan atau suara-suara yang tidak terkontrol.
“Pemberian obat juga tergantung keadaan, bila sindrom berat maka terapi obat kemungkinan juga lebih lama,” tambah Rena.
CBT (Cognitive Behavior Therapy) juga dapat diberikan kepada anak yang mengalami sindrom Tourette.
Baca juga: Tak Terlihat Kuno, Sanggul Ala Kekinian Ini Bisa Jadi Inspirasi, lho!
“Edukasi tentang penanganan sindrom Tourette untuk keluarga dan lingkungan sangat diperlukan untuk membantu seseorang yang mengalaminya dapat menjadi lebih percaya diri, tidak merasa malu, dan dapat mengembangkan fungsi sosialnya secara baik,” terang Rena.
Tujuan CBT adalah untuk mengubah mindset.
Atau alternatif lainnya adalah dengan konseling.
Konseling menjadi wadah untuk penderita sindrom Tourette mendiskusikan seperti apa yang dirasakan, bagaimana sebaiknya yang dilakukan, bagaimana supaya tahu bila sindrom akan menyerang, dan lain sebagainya.
Baca juga: Demi Lovato Dulunya Berkacamata, Yuk Intip Foto-Foto Transformasinya!
Sementara itu edukasi dan terapi perilaku juga menjadi fokus dalam penanganan sindrom Tourette ini.
“Bila penderita cukup kooperatif dan pemahamannya cukup baik, terapi perilaku bisa lebih cepat dibandingkan jika penderita kurang kooperatif atau ada gangguan penyerta lainnya," tutup Rena.(*)
(Dionysia Mayang Rintani)