NOVA.id - Jika Sahabat NOVA pernah ke kawasan Sungai Kapuas, kelurahan Tanjung Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat tentu akan mendengar sebuah makanan bernama Sungkui.
Sungkui sendiri merupakan hidangan makanan khas Melayu Sanggau.
Sungkui dibuat dari beras.
Setelah dicuci bersih, lalu dibungkus dengan daun sungkui.
Kemudian direbus selama kurang lebih 6 jam.
Setelah matang, sungkui disajikan dengan lauk pauk yang terdiri dari opor ayam, kerupuk ikan, dan sambal nanas.
(Baca juga: Tak Disangka! Mentega Bisa Buat Kulit Wajah Lebih Bercahaya)
Salah satu pemilik kantin Pacuna, Puspa Sari (43) di pinggir sungai Kapuas, kelurahan Tanjung Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat selalu setiap hari menyediakan sungkui.
Puspa bukan hanya memenuhi hasrat sebagian masyarakat sana yang teryata menyukai sungkui.
Tapi lebih dari itu, bisa jadi ia menyelamatkan penganan Bumi Daranante yang nyaris punah.
Tambahan lagi, seingat Puspa, di sekitar Sanggau tidak ada yang menjual sungkui setiap hari.
“Di tempat saya setiap hari,” ucap Puspa.
Puspa memulai usahanya beberapa bulan lalu.
Dia mengolah satu ekor ayam yang dibagi 8 porsi.
Meski seharga Rp25.000, tapi peminat makanan ini santai saja merogoh saku untuk mendapat seporsi sungkui.
Selama ini sungkui biasanya hanya disajikan di hari-hari besar.
Semisal hari raya Idul Fitri, Idul Adha, di tempat resepsi perkawinan, atau khitanan.
Kini, Puspa mengajak siapa saja untuk menikmati sungkui kapan pun dia mau.
“Tidak perlu menunggu lebaran,” candanya.
Penikmat sungkui di Kantin Pacuna berasal dari berbagai kalangan.
Mulai dari kalangan biasa sampai pejabat daerah.
“Bupati Sanggau beserta rombongan, dan camat beserta rombongan sudah ke sini. Fotomereka saya pajang,” katanya bangga.
Wajar Puspa bangga karena suksesnya, benar-benar hasil kerja sendiri.
Selama membuat sungkui, dia tidak dibantu orang lain.
“Saya masak sendiri, menyajikan sendiri,” tegasnya.
Pesanan pun kini datang dengan sendiri.
Jika ada acara besar di Sanggau, dia mendapatkan pesanan untuk membuat makanan khas Melayu itu.
“Saya sampai kewalahan,” katanya.
Kini sungkui identik dengan Puspa Sari.
Masyarakat sudah tahu yang namanya sungkui.
Dari kerja kerasnya, Puspa bisa meraih keuntungan hingga Rp200 ribu per hari.
Karenanya ia bertekad tidak akan meninggalkan sungkui.
Bukan melulu soal keuntungan yang diperolehnya, tapi juga soal menjaga ciri khas dan tradisi daerah tempatnya tinggal.
“Kalau tidak saya, siapa lagi?” kata Puspa.
Apalagi dia sudah bertanya tentang kearifan lokal masakan ini pada tetua masyarakat.
“Marwahnya harus dijaga, kata mereka,” pungkas Puspa tegas.(*)
(Aceng Mukaram)