Wah, Ternyata di Desa Tenun Ini Pria Tak Boleh Ikut Menenun, Kenapa?

By Healza Kurnia, Jumat, 3 Agustus 2018 | 10:00 WIB
Di depan rumah, perempuan desa biasa menenun kain sambil duduk berselonjor dan bercengkerama dengan wisatawan (Wida/NOVA)

Sejak kecil, mereka terbiasa dengan aturan tak tertulis yang mengharuskan mereka untuk belajar menenun.

Seperti yang dirasakan oleh Sumi (35) yang telah belajar menenun sejak usianya 9 tahun.

Saat itu, ibunya yang mengajarinya memintal benang, mewarnainya dengan pewarna alami, hingga menenunnya jadi satu kain tenun yang cantik.

Motif yang dia buat pun bermacam-macam rupanya, tergantung imajinasi dan suasana hati.

Sumi (35), salah satu pengrajin tenun di Desa Sukarara, Lombok (Wida/NOVA)

Dengan cekatan, jari-jarinya terlihat menari di sela benang, menggoyanggoyangkankayu yang berbunyi seiring dengan gerakan tangan.

“Karena dibuat berdasarkan imajinasi masing-masing, setiap penenun tidak bisa membuat motif yang sama dengan orang lain. Meski sedikit, pasti terlihat bedanya. Itu jadi ciri khas karena kami membuatnya dengan tangan,” tutur Sumi.

(Baca juga: Ini Alasan Putri Charlotte dan Pangeran George Bersekolah di TK Berbeda, Yuk Intip Sekolah Mereka!)

Tenun khas Lombok sendiri terdiri dari tenun ikat dan tenun songket.

Namun, yang paling dikenal masyarakat adalah tenun rangrang yang bercirikan motif segitiga dan belah ketupat dalam berbagai warna cerah.

Selain itu, ada pula motif bulan dan bintang, tokek, orang-orangan, sampai motif subhanale yang memiliki nilai jual paling tinggi karena kerumitan motifnya.

Motif yang diambil dari bahasa Arab, Subhanallah, itu memiliki bentuk segi enam yang di dalamnya dihiasi bunga remawa, kenanga, atau bunga tanjung.