NOVA.id - Polemik soal susu kental manis memang masih meninggalkan kebingungan di masyarakat karena itu bisa mengancam kesehatan anak.
Dari penyakit stunting hingga obesitas ternyata bisa disebabkan akibat, karena salah penempatan label pada minuman kemasan.
Sebagaimana diketahui, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) baru saja menandatangani PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Baca Juga : Patung Jenderal Sudirman Pindahkan Mobil Warga Jakarta! Kok Bisa?
Di dalamnya terdapat 2 pasal yang mengatur tentang susu kental manis, yaitu pasal 54 dan 67 huruf W dan X.
Sementara pasal 67 butir W memuat larangan berupa pernyataan/visualisasi yang menggambarkan bahwa susu kental dan analognya disajikan sebagai hidangan tunggal berupa minuman susu dan sebagai satu-satunya sumber gizi.
Butir X memuat larangan pernyataan/visualisasi yang semata-mata menampilkan anak di bawah usia 5 (lima) tahun pada susu kental dan analognya.
Baca Juga : Tak Kalah Cantik, Ini Dia Sosok yang Kencani Richard Kyle Sebelum Jedar
Kehadiran kedua pasal tersebut dalam regulasi yang dikeluarkan oleh BPOM seharusnya dapat langkah preventif sejumlah persoalan kesehatan masyarakat seperti diabetes, obesitas dan penyakit tidak menular lainnya.
Namun, yang harus diwaspadai adalah apabila dalam penerapannya tidak ada pengawasan dan ketegasan dari pemerintah.
Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) Arif Hidayat khawatir produsen memiliki interpretasi lain dalam memahami kedua pasal tersebut.
Baca Juga : Telan Empedu hingga Sate Ular Kobra, Begini Rasanya Menurut Barbie Kumalasari, Enak?
Apalagi saat ini pemerintah terlihat masih belum optimal mengatasi persoalan-persoalan kesehatan di masyarakat.
“Salah satu peran penting pemerintah dalam perlindungan kesehatan masyarakat adalah melalui kebijakan atau perundang-undangan. Namun sejauh ini, kami melihat masih terdapat celah-celah pelanggaran yang berpotensi merugikan masyarakat. Salah satunya terlihat pada upaya pemerintah mengatasi persoalan susu kental manis,” jelas Arif Hidayat.
Sebagaimana diketahui, polemik susu kental manis menjadi pembahasan publik setelah ditemukan sejumlah balita menderita gizi buruk akibat mengkonsumsi susu kental manis.
Satu diantaranya, balita asal Kendari meninggal dunia di usia 10 bulan.
Baca Juga : Bantah Pacaran, Faye Malisorn dan Ivan Gunawan Masih Berhubungan Baik?
Ketidaktahuan masyarakat serta persepsi yang sudah terbentuk di masyarakat melalui cara beriklan produk sehingga masyarakat beranggapan bahwa produk tersebut adalah susu yang dapat diberikan kepada anak menjadi penyebabnya.
Langkah BPOM menerbitkan kebijakan tersebut seharusnya menjadi langkah awal bagi edukasi kesehatan masyarakat, terutama mengatasi persoalan gizi ganda tersebut, stunting dan obesitas.
Namun, hal itu akan terwujud bila ada kesadaran penuh dari produsen untuk segera menaati serta tidak lagi mempromosikan produk kental manis sebagai minuman susu.
Baca Juga : Penampilan Berubah, Aliando Syarief: Gua Enggak Mikirin Image
Produsen harus dengan tegas mengatakan bahwa susu kental manis adalah produk yang hanya dapat digunakan untuk bahan tambahan dalam makanan atau topping.
“Jika regulasi sudah ada, namun produsen masih berpromosi semaunya, apalagi ada pembiaran, maka edukasi pola hidup sehat untuk masyarakat tidak akan optimal dan target pemerintah mewujudkan Generasi Emas 2045 juga tidak akan tercapai,” jelas Arif Hidayat.
Sebelumnya, dalam peringatan Hari Kesehatan Nasional pada 12 November kemarin, masalah gizi ganda masih menjadi perhatian.
Baca Juga : Tak Berniat Nikahi Jessica Iskandar, Ini Alasan Richard Kyle yang Sudah Dipanggil Daddy oleh El
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang baru saja di rilis oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia.
Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%.
Namun yang perlu menjadi perhatian adalah adanya tren peningkatan proporsi obesitas sejak tahun 2007 sebagai berikut 10,5% (Riskesdas 2007), 14,8% (Riskesdas 2013) dan 21,8% (Riskesdas 2018). Riskesdas 2018 juga menunjukkan kenaikan prevalensi Penyakit Tidak Menular.
Baca Juga : Cantik dan Berhijab, Ini Pesona Mantan Istri Vicky Prasetyo yang Nikah Siri dengan Sandy Tumiwa
Berbagai upaya telah jamak dilakukan dalam rangka perbaikan status gizi tersebut.
Edukasi pola hidup sehat gencar dilakukan, baik oleh Kementerian Kesehatan maupun pihak swasta dan komunitas masyarakat yang aktif mengedukasi.
Kampanye gerakan masyarakat sehat (GERMAS), isi piringku serta batasi konsumsi gula garam lemak (GGL) aktif di gaungkan.
Namun kenyataannya, persoalan gizi seolah jalan ditempat dengan menurunnya angka stunting namun meningkatkan prevalensi diabetes.(*)
Penulis | : | Tentry Yudvi Dian Utami |
Editor | : | Alsabrina |
KOMENTAR