NOVA.id - Peristiwa berdarah berupa serangan teror penembakan di dua masjid kawasan Christchurch, Jumat (15/03) telah membawa duka mendalam di seluruh dunia.
Bahkan saking kejinya tindakan pelaku dari penembakan di Selandia Baru ini, dirinya sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah saat ditangkap!
Pertanyaannya kemudian, mengapa seorang warga Australia sampai tega dan pilih lakukan serangan teror yang keji ini di Selandia Baru?
Baca Juga : Berada di Reruntuhan Selama 6 Jam, Bayi 5 Bulan Ini Selamat dari Banjir Sentani
Belakangan terungkap, identitas pelaku penembakan di Selandia Baru itu diketahui bernama Brenton Tarrant.
Sebelum melakukan aksi brutalnya di dua masjid di Christchurch, pria asal New South Wales ini mengunggah manifestonya ke internet.
Menurut kantor berita Reuters—sebagaimana dikutip dari laman Kompas.com—dalam manifesto itu Tarrat awalnya tidak memilih Selandia Baru sebagai sasaran.
Baca Juga : Sudah Tahu Dua Moderator Debat Cawapres 17 Maret 2019? Yuk, Kenalan!
Namun pikirnya, serangan terhadap Selandia Baru akan menunjukkan bahwa tidak ada tempat di manapun di dunia ini yang aman.
Serangan terhadap Muslim di Selandia Baru ini pun seolah menunjukkan jangkauan global gerakan supremasi kulit putih yang menginginkan Eropa yang ideal.
Gerakan ini pada dasarnya menolak gelombang imigrasi dan kerap menyebarkan ancaman melalui internet.
Baca Juga : Selamat! Chua Kotak Melahirkan Anak Kedua, Si Kecil Sudah Tunjukkan Pose Gemasnya
Brenton Tarrant sendiri diketahui merupakan warga biasa, pernah bekerja sebagai pelatih kebugaran di Big River Gym di kota Grafton, New South Wales, Australia pada 2009-2011.
Pada 2011, Tarrant keluar dari pekerjaannya dan bepergian ke Asia dan Eropa.
Tarrant mengatakan, dia pernah bekerja sebentar sebelum menghasilkan uang dari Bitconnect, uang kripto seperti Bitcoin, lalu menggunakan uangnya untuk jalan-jalan.
Baca Juga : Ayahnya Meninggal, Eddies Adelia: Saya Malu Menjadi Anak, Kenapa?
Dalam perjalanannya, Tarrant berkunjung ke Eropa, Asia Tenggara, dan Asia Timur, bahkan ia pun sempat berkunjung ke Korea Utara, di mana dia berfoto bersama kelompok wisata di Monumen Samjiyon.
Tarrant kemudian tinggal di kota Dunedin, 350 kilometer dari Christchurch, sejak 2017.
Para tetangga menggambarkan Tarrant sebagai sosok pendiam tetapi gemar bercerita soal perjalanannya.
Baca Juga : Kondisi Zulfirmansyah, WNI Korban Penembakan di Selandia Baru, Lewati Masa Kritis Usai Paru-Paru Bocor
Tarrant juga dikonfirmasi sebagai anggota klub menembak Bruce Rifle Club di kota Milburn.
Wakil presiden klub Scott Williams menyebut, Tarrant menggunakan senapan semi-otomatis AR-15 dan senapan berburu saat berlatih di klub itu.
Sementara itu, dalam melakukan aksi kejinya di Christchurch, Tarrant dikabarkan menggunakan lima pucuk senjata berupa dua senjata semiotomatis dan dua shotgun.
Baca Juga : Tak Cocok Menjalin Cinta, 5 Pasang Zodiak Ini Justru Lebih Baik Jadi Teman! Hati-Hati Salah Ambil Keputusan
Tarrant, seperti diakui PM Jacinda Ardern, adalah pemilik sah lisensi kepemilikan senjata api.
"Saya mendapat informasi dia mendapatkan lisensinya pada November 2017," ujar PM Ardern.
Pria yang memproklamirkan diri sebagai rasialis itu menyerang dua masjid di Selandia Baru tepat saat ibadah salat Jumat berlangsung.
Baca Juga : Banjir Bandang Melanda Sentani, Ini Persiapan yang Perlu Dilakukan untuk Bertahan
Dia membunuh 50 orang dengan menggunakan sebuah senjata yang dilapisi graffiti supremasi kulit putih sambil mendengarkan lagu yang memuji penjahat perang Serbia, Radivan Karadzic.
Seluruh rincian ini menegaskan adanya sebuah keyakinan keliru yang menjadi motivasi pembantaian paling berdarah di Selandia Baru itu.
Baca Juga : Dikenal Sabar, Perlakuan Nagita Slavina pada Keponakan Asistennya Jadi Sorotan
Entah apa yang dipikirkan dan diharapkan sang pelaku, tindakan mengancam keamanan dunia dan dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang tentu tak akan bisa dibenarkan!
Turut berduka cita untuk semua korban penembakan di Selandia Baru. (*)
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Jeanett Verica |
Editor | : | Jeanett Verica |
KOMENTAR