NOVA.id - Bagi anak-anak, main game barangkali memang menyenangkan.
Tapi kita sebagai orangtua perlu lebih dulu melihat jenis game atau permainannya.
Kalau saja game itu mengandung unsur kekerasan, kita jelas wajib melarang.
Baca Juga : Pertama Kalinya dalam Monarki, Kaisar Jepang Akihito Mengundurkan Diri dari Jabatannya dan Disiarkan Live
Pasalnya game kekerasan—jangankan hanya untuk anak-anak—bahkan untuk orang dewasa pun bisa berefek buruk.
Aksi teror di Christchurch, Selandia Baru, pertengahan Maret lalu, misalnya, diduga terinspirasi dari misi penembakan di video game, termasuk game PUBG.
Namun masalahnya, bagaimana kalau si kecil tercinta kita doyan sekali main game kekerasan?
Baca Juga : Demi Anak Sehat dan Cerdas, Mereka Butuh Duduk Lebih Sedikit dan Bermain Lebih Banyak
Jelas mengkhawatirkan, nih, Sahabat NOVA!
Psikolog Adib Setiawan dengan tegas menyatakan, game kekerasan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif anak.
Hal ini sesuai dengan teori psikolog asal Kanada, Albert Bandura (2008), yang terkenal dengan teori belajarnya—bahwa seorang anak yang melihat video kekerasan akan meniru melakukannya.
Baca Juga : Merasa Lelah Saat Bangun Meski Telah Tidur Nyenyak, 7 Penyakit Ini Bisa Menjadi Alasannya
“Kasus yang sedang saya tangani juga sesuai dengan teori Albert Bandura ini.
Ketika seorang anak sering bermain game kekerasan, maka ia akan mempraktikkannya, ia cenderung menjadi agresif, baik terhadap diri sendiri, orangtua atau orang lain,” papar lulusan psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang merampungkan S2-nya di Universitas Tarumanagara Jakarta.
Tak hanya itu, game kekerasan, tambah psikolog pendidikan dan anak ini, juga bisa membuat anak malas belajar, kurang percaya diri, sampai mengalami gangguan kejiwaan yang sifatnya permanen, seperti schizophrenia.
Baca Juga : Air Matanya Tumpah Saat Sungkeman, Momen Sakral Nagita Slavina Ini Dulu Sempat Diprotes Tetangga!
Kalau sampai begitu, tidakkah kita sayang dengan masa depannya?
“Jadi, pengaruh positifnya tidak ada, karena game kekerasan ini menyebabkan adiksi atau kecanduan sehingga merusak masa depan anak,” tandas Adib.
Perlu diingat, jangan sampai pun kita sampai melarang anak memainkan seluruh game yang ada.
Baca Juga : Curhat Ibunda Hacker Pembobol Situs NASA: Makanan Kesukaannya Telur Ceplok
Barangkali sekadar menghilangkan rasa bosan, main game sah-sah saja dilakukan, terutama game yang tidak memuat unsur kekerasan.
Namun Adib tetap menyarankan anak-anak kita untuk mencoba alternatif lain untuk mengisi rasa bosan.
Misal, dengan membaca buku atau berita terkait informasi yang positif.
Baca Juga : Duh, Miss V Kering Juga Bikin Suami Tak Puas Saat Bercinta!
Voir cette publication sur Instagram
Lagi-lagi, karena mudaratnya lebih banyak ketimbang manfaatnya, Adib menyarankan orangtua dan pemerintah untuk melarang anak memainkan game kekerasan.
Baca Juga : Paranormal Ungkap Mendiang Suzzanna Dikabarkan Sambangi Pantai Selatan
Dengan begitu, kekerasan yang dilakukan oleh generasi saat ini dapat semakin berkurang.
Selain itu, “Anak-anak yang tidak bermain game akan lebih berpotensi di sekolah. Fisik juga lebih kuat karena banyak gerak, dan lebih mandiri serta lebih produktif,” tukas Direktur Yayasan Praktek Psikolog Indonesia (www.praktekpsikolog.com) ini.
Dan kalau kita sebagai orangtua sudah bisa mengontrol atau bahkan melarang anak memainkan game kekerasan, semoga si anak benar-benar menjadi lebih produktif, ya.(*)
Julie Erikania
Penulis | : | Jeanett Verica |
Editor | : | Alsabrina |
KOMENTAR