NOVA.id – Mencapai sumber daya manusia yang unggul bukanlah pekerjaan mudah bagi Indonesia, terutama melihat masih banyak anak menderita stunting atau gizi buruk.
Presiden Joko Widodo menegaskan target yang perlu dicapai bersama pada 2045 adalah menjadikan Indonesia maju dengan sumber daya manusia yang unggul, pintar dan berbudi pekerti luhur.
Salah satu kuncinya adalah memenuhi hak kesehatan, terutama ibu hamil dan bayi.
Baca Juga: Didiagnosis Idap Autoimun, Ashanty Beberkan Gejala Awalnya: Tak Bisa Tidur hingga Pelupa
Pemenuhan hak kesehatan ibu dan bayi adalah dengan mendapatkan kemudahan dalam akses kesehatan antara lain pelayanan kesehatan, pemenuhan gizi dan juga informasi soal kesehatan.
Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, yang menunjukan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia, di antaranya proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%.
Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%.
Meski demikian, WHO masih mengategorikan Indonesia sebagai Negara darurat gizi buruk.
Sebab ambang batas toleransi stunting yang ditetapkan WHO adalah 20% dari jumlah keseluruhan balita.
Secara umum, Provinsi Kepulauan Riau menduduki posisi terbaik dalam hal penanganan gizi buruk di Indonesia, dengan angka kurang dari 13%.
Baca Juga: Suami Dhawiya Kembali Tertangkap Kasus Narkoba, Elvy Sukaesih Menerima dengan Lapang Dada
Namun, Kota Batam memiliki prevalensi stunting 23,5%.
Pada semester pertama 2019, penderita stunting kota Batam juga terlihat mengalami peningkatan, yaitu sebesar 5,61%.
Sedangkan prevelensi tahun 2018 hanya 1,35 persen.
Penyebabnya adalah kurangnya asupan nutrisi pada anak.
Selain itu, faktor geografis, akses terhadap pelayanan kesehatan serta rendahnya pengetahuan ibu menjadi pemicu kondisi stunting pada anak-anak.
Fakta pengetahuan masyarakat yang rendah terlihat dari banyaknya kasus gizi buruk akibat kesalahan orang tua memberi asupan makanan pada anak.
Di tengah kemajuan teknologi, arus informasi diterima masyarakat tanpa filter.
Masyarakat juga setiap saat terpapar iklan yang belum teruji kebenarannya.
Jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang tepat, maka masyarakat akan menjadi konsumen tanpa mengetahui baik buruk produk yang dikonsumsinya.
Ketua Harian YAICI Arif Hidayat mencontohkan iklan susu kental manis (SKM) sebagai salah satu iklan yang telah sekian abad menyesatkan persepsi masyarakat.
“SKM yang sejak jaman kolonial hingga milenial, diiklankan sebagai minuman susu untuk bayi dan pertumbuhan anak, telah membentuk persepsi masyarakat bahwa SKM adalah susu bernutrisi,” jelas Arif Hidayat.
SKM memiliki kandungan gula yang tinggi yaitu 20 gram persekali saji/1 gelas dengan nilai protein 1 gram, lebih rendah dari susu lainnya.
Padahal, peruntukan SKM hanyalah sebagai bahan tambahan makanan dan minuman atau topping.
Baca Juga: Kembali Digelar, Raisa hingga Padi Reborn Jadi Guest Stars Fortals 2019
Karena itu, perlu pengawasan terhadap promosi dan penggunaan SKM oleh masyarakat
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengatur label dan iklan SKM melalui PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, pada pasal pasal 54 dan 67 huruf W dan X.
Pasal 54 memuat kewajiban produsen untuk mencantumkan tulisan pada label yang berbunyi:
Perhatikan!
Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu
Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan
Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi.
Sementara pasal 67 butir W memuat larangan berupa pernyataan/visualisasi yang menggambarkan bahwa susu kental dan analognya disajikan sebagai hidangan tunggal berupa minuman susu dan sebagai satu-satunya sumber gizi.
Butir X memuat larangan pernyataan/visualisasi yang semata-mata menampilkan anak di bawah usia 5 (lima) tahun pada susu kental dan analognya.
Sebelumnya, pada 2018, YAICI bekerjasama dengan Yayasan Peduli Negeri (YPN) Makassar dan Stikes Ibnu Sina Batam melakukan survey tentang Persepsi Masyarakat tentang Susu Kental Manis.
Baca Juga: Kirim Surat Terbuka pada Orang yang Memakinya, Cita Citata: Saya Datang Bukan untuk Dicaci Maki!
Survey yang dilakukan terhadap 400 ibu di Kelurahan Mandonga, Kota Kendari dan 300 ibu di Kelurahan Sagulung Kota, Sagulung, Kota Batam yang memiliki anak usia 7 tahun.
Hasil survey itu menunjukan sebanyak 97% ibu di Kendari dan 78% ibu di Batam memiliki persepsi bahwa susu kental manis adalah susu yang bisa di konsumsi layaknya minuman susu untuk anak.
SKM memiliki kandungan gula yang tinggi yaitu 20 gram persekali saji/1 gelas dengan nilai protein 1 gram, lebih rendah dari susu lainnya.
Baca Juga: Masalah dengan Jerawat? Jangan Pernah Memencetnya Sekali pun Kalau Tidak Ingin Hal Buruk Ini Terjadi
Dalam rangka memberikan edukasi gizi dan cara bijak menggunakan susu kental manis kepada masyarakat, Yayasan Abhiparaya Insan Cendikia Indonesia (YAICI), bersama Pengurus Pusat Muslimat NU menjalin kerjasama melaksanakan edukasi bijak mengkonsumsi susu kental manis di sejumlah kota di Indonesia diantaranya Lampung, Surabaya, Semarang, dan Makassar.
Edukasi diadakan dalam bentuk talkshow dan kreasi makanan sehat bergizi. Di Batam, edukasi dilakukan pada Kamis 3 Oktober 2019.
Kepala Sesi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat, Dinkes Prop. Kepri Aniesa Putri Junita, SKM, MPH menyebutkan, secara nasional penangana gizi buruk di wilayah Kepri sudah cukup baik.
Hal itu terlihat dari data Riskesdas yang menempatkan Propinsi Kepri berada pada urutan ke 4 dengan prevalensi stuntigng terendah. Hanya saja, ia mengakui di wilayah kepulauan masih banyak ditemui masalah gizi anak.
“Di pulau-pulau, ibu-ibu masih menggunakan SKM sebagai minuman dan diberikan untuk anak. Ibu sudah teredukasi bahwa ASI adalah yang terbaik, namun terkadang ibu-ibu tidak sabar, karena anak menangis, akhirnya dikasihlah SKM atau susu lain-lain yang rasanya enak. “ jelas Aniesa Putri.
Kepala Balai Besar BPOM Prop. Kepri Yosef Dwi Irwan, S.Si., Apt pada kesempatan itu memaparkan fakta susu kental manis dan bagaimana cara tepat menggunakannya.
“SKM memang produk susu, namun yang perlu dilihat adalah peruntukannya. Perlu diingat bahwa SKM bukan untuk pemenuhan gizi, melainkan hanya untuk pelengkap sajian. Ini yang salah kaprah, dan salah satunya adalah pengaruh iklan,” jelas Yosef.
Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU, dr. Erna Yulia Soefihara mengimbau agar ibu sebagai pendidik utama di keluarga harus sehat dan juga cerdas. (*)
Penulis | : | Tentry Yudvi Dian Utami |
Editor | : | Alsabrina |
KOMENTAR