Terbayang sudah hal-hal menyenangkan seperti mandi di sungai, turun ke sawah, dan menggiring kerbau ke kandang.
Apa yang terjadi di dunia sastra anak mungkin tidak sedramatis di dunia musik anak. Ada puluhan, bahkan ratusan penulis yang dengan senang hati menyebut dirinya penulis cerita anak.
Namun jelas kita kehilangan sosok seperti Toha Mochtar, Trim Sutedja, Abdul Hadi W.M, Leila S. Chudori, Julius Siyaranamual, Mohamad Sobary, atau Arswendo Atmowiloto dan lain-lain yang pernah menumpahkan kreativitas sastranya untuk dunia kecil yang sarat imajinasi dan rasa ingin tahu itu pada 1980-1990an.
Di tangan mereka dongeng itu menjadi sastra. Dan mereka sadar, usia 6 – 11 tahun merupakan sebuah golden periode.
Masa yang bakal menentukan apakah si anak akan menjadi manusia yang produktif atau konsumtif, kreatif atau pasif, imajinatif atau mekanistis, punya sensitivitas yang tinggi terhadap pelestarian alam atau meletakkan faktor komersil di atas segalanya.
Memang sudah saatnya kita membicarakan masalah lingkungan hidup. Tatkala pembabatan hutan kemudian menerbitkan banjir yang tak terbayangkan, dan sisa-sisa penambangan menciptakan danau-danau buatan di Kalimantan, sastra pun layak berwarna hijau.
Termasuk sastra anak yang, misalnya, berkisah tentang seorang raksasa vegetarian –tubuhnya setinggi tugu Monas, dan sepatunya seukuran bus kota-- yang sekonyong-konyong masuk kota.
Dia terpaksa turun gunung karena pohon-pohon pinus yang merupakan makanan kegemarannya, digusur-ditebang pengembang yang berencana mendirikan villa.
Tentu saja dongeng yang mengandung pesan hijau dan disampaikan dalam tata bahasa yang apik dan narasi indah itu sangat diperlukan.
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
Penulis | : | Widyastuti |
Editor | : | Widyastuti |
KOMENTAR