NOVA.id – Isu plagiarisme kembali mencuat di dunia seni Indonesia, kali ini berkaitan dengan crypto art.
Twisted Vacancy, seniman Indonesia yang sedang bersinar di medan crypto art, dituduh menjiplak karya seniman Indonesia lainnya, Kendra Ahimsa atau Ardneks.
Ardneks, sebagaimana disiarkan Jakarta Post, 24 Maret 2021, menuduh Twisted Vacancy telah mencuri seluruh identitas artistiknya—bukan hanya palet warna, melainkan juga pola, estetika, dan cara menggambar pohon misalnya.
Baca Juga: Yuk, Kunjungi Oppo Art Jakarta Virtual 2020 Buat Melepas Rindu dengan Galeri Seni
Sebelumnya, tuduhan semacam itu disuarakannya dalam wawancara dengan sejumlah media lain, sehingga memantik diskusi publik tentang plagiarisme.
Bahkan, muncul perundungan massa kepada Twisted Vacancy sebagai tertuduh plagiarisme.
Tapi benarkah? Apa itu plagiarisme? Adakah ukuran pasti sebuah karya, terutama karya ilustrasi dianggap menjiplak karya lain?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiarisme/pla•gi•a•ris•me/ adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta.
Baca Juga: Digelar Virtual, SOAFest Suguhkan Talkshow dan Berbagai Konten Seni Budaya
Pertanyaannya: apa yang dimaksud melanggar hak cipta? Apakah bentuk, teknik, atau ide karya seorang seniman yang terinspirasi karya seorang seniman lainnya termasuk melanggar hak cipta?
Menurut Wahyudin, kurator seni rupa dari Yogyakarta, perkara hak cipta di dunia seni rupa kontemporer adalah perkara yang kompleks yang lebih banyak berpusat pada aspek hukum ketimbang estetika.
Sementara itu, tentang plagiarisme, ia berpendapat, “Plagiarisme adalah praktik pengatasnamaan, dengan tanda tangan, karya seorang seniman, misalnya lukisan pemandangan S. Sudjojono, padahal S. Sudjojono tak pernah membuat lukisan itu.”
Baca Juga: Doa dan Amalan yang Dianjurkan untuk Dilakukan pada Malam Nisfu Syaban
Itu sebabnya, masih menurut Wahyudin, terbilang sulit untuk membuktikan perkara plagiarisme dengan perspektif asli atau palsu.
Apalagi, dalam seni rupa kontemporer, ada sebuah metode artistik yang memungkinkan seorang seniman mencuri bentuk, teknik, dan ide karya seniman lainnya, yaitu apropriasi.
Dengan kata lain, apropriasi adalah plagiarisme yang sah.
Baca Juga: Dukung UMKM, BI Gelar Pameran Produk Bali Nusra di Grand Indonesia
Karena itu, mempermasalahkannya akan dianggap sebagai tindakan menggelikan, kalau bukan konyol.
Sebutlah, misalnya, lukisan Mona Lisa Leonardo da Vinci dari abad ke-16.
Entah berapa banyak seniman yang mengapropriasinya, di antaranya yang paling terkenal adalah Marcel Duchamp.
Baca Juga: Indomobil Finance Indonesia Menghadirkan Pameran Virtual, Simak Jadwalnya!
Pada 1919, Duchamp mengapropriasi lukisan Mona Lisa dengan menambahkan kumis dan jenggot tipis sebagai elemen parodi.
Yang mencengangkan, lukisan berjudul L.H.O.O.Q Mona Lisa with Moustache itu terjual di Paris dengan harga fantastis, Rp10 miliar.
Adakah yang menuduh Duchamp melakukan plagiarisme atas Da Vinci? Tak ada!
Baca Juga: Bangga Buatan Indonesia, Kemenperin Sasar Industri Kecil dan Menengah
Oleh karena itu, tidak sedikit pula seniman di Indonesia yang mempraktikkan apropriasi dalam proses kreatif mereka.
Salah satunya yang dikenal luas adalah perupa dari Yogyakarta, Agus Suwage.
Pada tahun 2006, Agus Suwage mengapropriasi Mona Lisa Leonardo da Vinci dengan menambahkan gestur merokok.
Adakah yang menuduh Agus Suwage mencuri dari Da Vinci? Tidak ada!
Baca Juga: Virtual Event, Solusi bagi Para Event Organizer Hadirkan Acara Online
Terkait isu Twisted Vacancy dan Ardneks, Wahyudin menanggapi, “Berdasar pengalaman di dunia seni rupa kontemporer, apa yang dilakukan oleh Twisted Vacancy bukanlah plagiarisme, melainkan apropriasi.”
Medium yang dihadirkan Twisted Vacancypun dalam bentuk bergerak, berbeda dengan Ardneks.
“Yang saya lihat, Twisted Vacancy memiliki kecenderungan artistik yang sama dengan Ardneks. Akan tetapi, tak ada seorang pun yang bisa melarang itu. Jadi, saya heran dengan isu plagiarisme ini, khususnya yang menimpa Twisted Vacancy.”
Baca Juga: Gandeng Shopee, Kickfest Hadirkan Pameran Clothing Lokal Online Pertama di Indonesia
View this post on Instagram
Selanjutnya, menurut Wahyudin, isu ini terkesan mengada-ada, terutama lantaran popularitas karya Twisted Vacancy di dunia crypto art, karena tak ada seorang pun yang bisa membuktikan karya Twisted Vacancy mencuri apple to apple, bentuk, teknik, ide, dan tanda tangan, dari Ardnekskemudian ketahuan menjualnya atas nama Ardneks.
“Jadi, kalau masalahnya karya siapa yang lebih dulu populer, apalagi laku, dibandingkan karya yang memiliki keserupaan artistik seniman sebelumnya, janganlah mengheboh-hebohkannya sebagai perkara plagiarisme,” tandas Wahyudin.
Pendeknya, apropriasi itu sudah lazim dan legal di dunia seni rupa kontemporer.
Bukankah karya seni tercipta berdasarkan apa yang dilihat, apa yang didengar, dan kebiasaan sehari-hari? Inspirasi bisa datang dari mana saja, kan?
Penciptaan karya seni terus berkembang dalam bentuk, teknik, atau ide.
Banyak hal baru yang perlu dikaji dan dipahami sebelum memberikan label tertentu, apalagi tuduhan tak beralasan, pada suatu karya seorang seniman, seperti plagiarisme.
Baca Juga: Mulai dari Kisah Sungai Emas Papua Hingga Banjir Jakarta, Srihadi Suguhkan Karya Terbaiknya
Dengan begitu, kita akan terhindar dari sesat pikiran, klaim kebenaran (truth claim), dan sikap semena-mena kepada sesama pekerja seni.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Penulis | : | Dionysia Mayang Rintani |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR