NOVA.id - Ragam berita palsu atau hoaks seputar Covid-19 saat ini masih banyak bertebaran di dunia maya. Berita-berita tersebut tersebar melalui beragam kanal, mulai dari aplikasi percakapan seperti Whatsapp hingga media sosial.
Menurut data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), setidaknya terdapat 2.298 konten hoaks tentang Covid-19 yang beredar sepanjang tahun 2020. Diketahui, 34 persen dari berita tersebut berasal dari media sosial seperti Youtube.
Memasuki awal 2021, hoaks masih terus bermunculan. Mafindo menemukan setidaknya terdapat 121 hoaks yang beredar selama Januari hingga 15 Februari 2021. Bedanya, hoaks yang beredar kini didominasi oleh isu seputar vaksin Covid-19.
Untuk mengatasi masifnya persebaran hoaks, Tim AIS Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga terus berupaya untuk mengedukasi masyarakat sekaligus memberikan klarifikasi. Salah satunya dilakukan dengan cara pemblokiran dan pencabutan konten, serta cek fakta melalui laman Covid19.go.id.
Baca Juga: Tips Masak Cepat 30 Menit Membuat Tempe Penyet Sambal Petis yang Gurih
Berikut Nova rangkumkan sederet disinformasi seputar vaksin Covid-19 yang sebaiknya tidak dipercaya masyarakat.
1. Masyarakat Indonesia dijadikan kelinci percobaan vaksin
Pada Juli 2020 lalu, beredar kabar di media sosial Facebook yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia menjadi kelinci percobaan uji klinis dari vaksin Sinovac yang berasal dari Tiongkok. Berita tersebut juga mengungkapkan bahwa kandungan vaksin terdiri atas zat yang tidak halal dan belum bisa dipastikan keamanannya.
Tim AIS Kemenkominfo menyatakan berita tersebut murni hoaks. Soal uji coba, vaksin Sinovac sudah melalui uji klinis tahap 1 dan 2 untuk mengetahui tingkat keamanan dan dosis yang ideal untuk disuntikkan. Uji klinis tersebut dilakukan di Tiongkok. Pengujian dilakukan oleh para tenaga ahli dengan bantuan 500 sukarelawan di negara tersebut.
Uji klinis tahap 3 dilakukan di negara calon penerima vaksin. Menurut pemberitaan Kompas.com (26/7/2020), ahli biologi molekuler Indonesia Ahmad Utomo menerangkan bahwa terdapat dua negara lain yaitu Brasil dan Bangladesh yang juga ditunjuk untuk melaksanakan uji klinis tahap 3 selain Indonesia.
Baca Juga: Diperingati setiap 17 Mei, Begini Sejarah Hari Buku Nasional
Menurutnya, alasan mengapa ketiga negara tersebut dipilih adalah tingginya angka penyebaran virus.
"Area-area yang tinggi (penyebaran virus) seperti ini (Indonesia), justru malah ideal untuk menguji vaksin. Karena nanti kita bisa bandingkan, kelompok yang diberi vaksin dengan kelompok yang diberi plasebo (cairan kosong)," ujar Ahmad.
Vaksin dibuat dengan prinsip keamanan dan kehati-hatian. Begitu pula dengan uji klinis yang dilakukan. Adapun fungsi dari uji klinis yang dilakukan juga mendukung dua prinsip itu. Meski dalam keadaan darurat, vaksin yang didistribusikan pemerintah kepada warga negaranya harus aman.
Di Indonesia, penggunaan vaksin juga memerlukan izin dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Vaksin yang didistribusikan di Indonesia pun sudah dinyatakan suci sehingga tidak mungkin vaksin yang diberikan kepada masyarakat belum teruji dan belum terbukti kehalalannya.
Baca Juga: Merger Gojek dan Tokopedia, Grup GoTo Hadirkan 3 Layanan Berbeda
2. Vaksinasi mengubah gen manusia
Pada 20 Maret 2021, beredar sebuah potongan gambar dari film I Am Legend yang berisi tulisan bahwa kegagalan kinerja vaksin Covid-19 di dalam tubuh akan mengubah manusia menjadi mutan atau zombie.
Informasi tersebut dapat dipastikan sebagai hoaks. Pasalnya, meski vaksin yang digunakan berasal dari RNA atau informasi genetik dari virus yang menyebabkan penyakit, rantai genetiknya sudah diputus terlebih dahulu.
Juru Bicara Vaksin Covid-19 PT Bio Farma Bambang Herianto menjelaskan, melalui RNA tersebut, tubuh akan belajar untuk mempelajari varian Covid-19 yang nantinya berfungsi untuk memancing kekebalan tubuh.
Para ahli juga sudah memperhitungkan kadar RNA yang aman untuk disuntikkan ke dalam tubuh manusia. Oleh sebab itu, tidak mungkin vaksin akan mengubah manusia menjadi mutan atau sejenisnya.
Baca Juga: Efek Aurel Hamil Muda, Atta Halilintar Mengaku Menjadi Lebih Sensitif
"RNA diambil kemudian dijadikan vaksin. Nggak mungkinlah mengubah manusia menjadi monyet," kata Bambang seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com (6/1/2021).
3. Hoaks peringkat keamanan vaksin berdasarkan merek
Hoaks ini juga muncul melalui media sosial Facebook pada Maret 2021. Unggahan hoaks berbahasa Inggris dan membahas tentang peringkat keamanan vaksin berdasarkan merek serta isu distribusi vaksin besar-besaran yang dilakukan Tiongkok ke seluruh dunia. Pengunggah mengatakan bahwa berita tersebut berasal dari artikel The New York Times.
Setelah lakukan penelusuran, akun Twitter resmi The New York Times mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menerbitkan daftar peringkat tersebut. Tautan lain yang menyebutkan bahwa Tiongkok telah mengekspor 550 juta vaksin ke seluruh dunia pun tidak terbukti kebenarannya.
Sebagai informasi, proses distribusi vaksin ke suatu negara tidak dilakukan layaknya proses impor pada umumnya. Sebab, vaksin yang digunakan harus melalui berbagai uji klinis serta melalui berbagai proses pendistribusian secara khusus.
Baca Juga: Minat Investasi Masyarakat Tinggi Tapi Tak Dibarengi Literasi yang Cukup? Apa yang Terjadi?
Selain itu, berbagai merek vaksin juga memiliki kandungan serta efektivitas tersendiri sehingga tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk menentukan peringkat kinerjanya.
4. Usai vaksin lebih mudah terinfeksi Covid-19 dan vaksin membuat sakit
Beberapa waktu lalu, sempat beredar video di media sosial yang memperlihatkan sejumlah santri yang mendadak sakit setelah menerima vaksin.
Berita serupa juga sempat beredar di media sosial Facebook yang memperlihatkan grafik penurunan sistem imun setelah proses vaksinasi pertama. Dengan adanya grafik tersebut, seseorang menjadi lebih mudah sakit dan terinfeksi virus Covid-19.
Menurut pemberitaan Kompas.id (2/3/2021), video para santri merupakan dokumentasi tahun 2018. Pada saat kejadian, para santri bukanlah sakit mendadak, melainkan mengalami dehidrasi akibat mendapatkan imunisasi difteri. Para santri kemudian dipulangkan setelah dirawat kurang dari sehari di rumah sakit terdekat.
Baca Juga: Putus dari Ariel NOAH, Sophia Latjuba Beberkan Kriteria Lelaki Idamannya
Sementara terkait dengan kabar menurunnya sistem imun setelah proses vaksinasi pertama, hal tersebut juga sudah dikonfirmasi tidak benar. Menurut dokter, edukator, sekaligus anggota Tim Penanganan Covid-19 Muhammad Fajri Adda'i, tidak mungkin antibodi seseorang akan berubah menjadi nol setelah divaksin.
Vaksin memang mengandung antigen virus yang menyebabkan penyakit. Namun, antigen pada vaksin telah dilemahkan sehingga pemberian vaksin tidak menyebabkan orang menderita penyakit seperti jika orang tersebut terpapar dengan antigen yang sama secara alamiah.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, alasan mengapa vaksin disuntikkan ke tubuh sebanyak dua kali tidak lain bertujuan agar tubuh bisa beradaptasi dan mengenali virus Covid-19 pada suntikan pertama.
Selama proses adaptasi, tubuh masih bisa terinfeksi virus Covid-19 karena kekebalan belum terbentuk sempurna. Jika penerima vaksin abai terhadap protokol kesehatan, kemungkinan terjangkit masih mungkin terjadi.
Baca Juga: Putus dari Ariel NOAH, Sophia Latjuba Beberkan Kriteria Lelaki Idamannya
Setelah suntikan vaksin kedua, tubuh juga masih membutuhkan waktu sekitar 14 hari atau dua minggu lagi untuk membentuk antibodi terhadap infeksi Covid-19. Inilah alasan mengapa protokol kesehatan tetap harus dipatuhi oleh semua orang, tak terkecuali mereka yang mendapatkan vaksin secara menyeluruh.
Terkait dengan efek samping yang kerap dipermasalahkan, hal tersebut justru menandakan bahwa sistem kekebalan tubuh sedang bekerja. Menurut direktur medis pengendalian dan pencegahan infeksi di Ochsner Health di New Orleans Katherine L Baumgarten, MD, setelah menerima vaksin, sistem kekebalan tubuh akan mengembangkan kemampuan melawan virus yang sebenarnya.
"Rasanya memang tidak nyaman, tapi efek samping memberi tahu bahwa tubuh sedang membangun respons kekebalan,” kata Baumgarten seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com (9/5/2021).
Meski demikian, setiap orang akan mengalami reaksi berbeda setelah tubuh mendapat vaksin. Tidak mengalami efek samping bukan berarti vaksin tidak bekerja di dalam tubuh.
5. Sudah divaksin maka bisa percaya diri tanpa 3M
Berita hoaks lain yang masih sering dipercaya yaitu adanya kabar yang menyebut bahwa seseorang menjadi kebal Covid-19 setelah 14 hari menerima vaksin secara lengkap.
Hal tersebut tidaklah benar. Dikutip dari pemberitaan Kontan.com Senin (11/1/2021), Tim Komnas Peneliti Obat Jarir At Thobari menjelaskan bahwa vaksinasi tidak sama dengan obat. Artinya, vaksinasi dapat dilihat hasilnya melalui dampak populasi secara keseluruhan.
“Setelah melakukan program vaksinasi yang akan dilihat adalah efektivitas terjadi penurunan dari angka kejadian infeksi, angka penurunan hospitalisasi, angka penurunan kematian, dan seberapa banyak penurunan angka kejadian Covid-19 yang berat," paparnya.
Untuk itu, disiplin menerapkan protokol memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M) menjadi satu-satunya cara terbaik untuk melindungi diri.
Baca Juga: Tabloid NOVA Terbaru: Paula Verhoeven Lebih Pilih Jadi Artis Ketimbang Model, Cuma karena Bayaran?
Cara mengidentifikasi berita hoaks
Agar tidak mudah terjerat oleh berita hoaks, Sahabat NOVA lakukan perlu memverifikasi berita. Jangan langsung sebar berita tersebut ke grup Whatsapp dan media sosial.
Ada beberapa hal mengindikasikan sebuah berita adalah hoaks. Pertama yaitu dengan mengenali reaksi yang terjadi ketika membaca. Apakah muncul rasa cemas, emosi, atau justru perasaan gembira.
Pasalnya, berbagai berita hoaks kerap muncul untuk mengganggu pikiran rasional dengan daya tarik emosional. Kedua, perhatikan intonasi atau tata penulisan pada berita tersebut. Jika berita berasal dari sumber resmi, pola penulisan kalimat akan sesuai dengan kaidah ejaan bahasa dan biasanya tidak menggiring opini pembaca.
Ketiga, sebelum menyimpulkan suatu informasi, ada baiknya Anda mencari berita serupa melalui berbagai media online. Anda harus waspada jika artikel atau video berasal dari laman media sosial atau mengatasnamakan situs berita nasional sementara tidak memiliki tanggal dan lokasi lengkap.
Baca Juga: Pintar Atur Uang: Ini 4 Faktor yang Bisa Tingkatkan Penjualan di Marketplace
Selalu bersikap skeptis dan membiasakan diri untuk mengecek kebenaran merupakan hal yang bijak dilakukan untuk memutus rantai penyebaran hoaks.
Untuk mendapatkan fakta terbaru terkait berita terkini dan cek fakta tentang berita hoaks, Anda juga bisa mengunjungi laman resmi Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) melalui tautan berikut ini.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR