Seandainya kalian terpaksa harus berutang, pertanyaan selanjutnya yang perlu kalian jawab adalah untuk keperluan apa kalian berutang.
Apakah untuk memenuhi keinginan kalian menjaga kehidupan lifestyle yang selalu mengikuti perkembangan terkini? Misalnya untuk membeli handphone yang terbaru sementara yang lama masih bisa dipakai, untuk berlibur ke luar negeri karena diajak teman main, membeli sepatu terbaru karena ada undangan nikah dari sahabat dekat, mengganti mobil setiap tahun dan lain-lain.
Semua keinginan tersebut sebetulnya bukan merupakan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi dengan cara berutang, karena masih bisa ditunda pembeliannya saat kalian mendapatkan rejeki di kemudian hari.
Oleh karena itu, sangat disayangkan sekali apabila pola hidup konsumtif seperti ini didukung dengan pola pembiayaan berutang yang melebihi kemampuan kalian untuk melunasinya di kemudian hari.
Pola kehidupan yang konsumtif sudah semestinya kalian hindari, terlepas apakah kalian memiliki dukungan keuangan yang berlebihan atau tidak.
Bagi kalian yang hidupnya pas-pasan jangan sampai memiliki pola kehidupan konsumtif yang ditopang dengan cara berutang.
Andaikan kalian di kemudian hari memang sudah memperoleh komitmen ataupun kepastian akan mendapat uang dalam jumlah besar, sebaiknya penghasilan yang akan diperoleh tersebut jangan digadaikan saat ini untuk meminjam uang guna keperluan konsumtif.
Meminjam uang untuk memenuhi keinginan konsumtif bisa menjadi kebiasaan buruk yang pada akhirnya akan menjerumuskan kalian pada pola hidup yang tidak sehat.
Oleh sebab itu, kalian sedapat mungkin jangan berhutang untuk mencukupi keinginan konsumtif kalian.
Caranya, i). jangan ikut-ikutan mengikuti gaya hidup orang lain kalau memang tidak mampu secara finansial, ii). jangan menjadikan harta dan uang sebagai obyek utama dalam kehidupan kalian, iii). hidup kalian jangan mau diperbudak dengan harta selamanya, iv). jangan pernah berpikir bahwa kalian harus mempunyai segala-galanya kalau memnag tidak mampu.
Baca Juga: Dalam 4 Situasi Darurat Kita Boleh Utang, Apa Saja? Yuk Simak!
Berutang untuk kebutuhan yang produktif memang sangat dianjurkan, namun kembali lagi tergantung pada kesanggupan dan kemampuan kalian untuk melunasinya. Utang produktif sangat dibutuhkan, antara lain untuk membeli rumah, kendaran operasional untuk usaha, membiayai pendidikan anak, membesarkan kegiatan bisnis, dan lain-lain.
Sebagai contoh, untuk membeli rumah dengan cara bayar tunai sekaligus sangat sulit dilakukan untuk kebanyakan orang.
Bisa jadi uang yang kalian miliki hanya cukup dipakai sebagai uang muka saja, sehingga perlu dukungan pinjaman dari bank untuk membelinya.
Setelah berjalannya waktu, nilai rumah yang kalian beli dengan pinjaman bank tersebut kemungkinan besar akan terus naik, dan angsuran yang kalian bayar setiap bulannya terasa semakin kecil karena penghasilan kalian juga ikut bertambah.
Rumah yang kalian beli saat ini misalnya masih berharga Rp 100 juta, namun sepuluh tahun kemudian nilainya melambung menjadi Rp 500 juta.
Disinilah kehebatan dari utang produktif yang dapat membantu menumbuh kembangkan aset atau kekayaan kalian di kemudian hari dengan cara terukur, terencana dan sesuai dengan kemampuan keuangan kalian.
Tanpa disadari dengan berjalannya waktu nilai kekayaan atau aset kalian terus meningkat dengan bantuan utang produktif.
Jika kalian menunggu waktu untuk membeli rumah seharga Rp 100 juta tersebut, mungkin baru terkumpul sekitar sepuluh atau lima belas tahun kemudian.
Di saat uang kalian sudah terkumpul Rp 100 juta, ternyata harga rumah tersebut sudah melambung beberapa kali, sehingga tidak lagi terkejar.
Membesarkan kekayaan melalui utang produktif sangat dianjurkan bagi kalian yang bekerja dengan pendapatan tetap, seperti pegawai, buruh, guru, dan lain-lain. Utang produkti mampu mewujudkan mimpi kalian untuk memperbesar harta dan kekayaan kalian secara perlahan dan bertahap.
Tanpa dukungan htang produktif rasanya sulit bagi kalian untuk membesarkan kekayaan kalian di kemudian hari. (*)
Penulis | : | Dr. Agus Sugiarto |
Editor | : | Tiur Kartikawati Renata Sari |
KOMENTAR