Sulit untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam jangka pendek karena semua orang tidak bisa memprediksikan kapan pandemi akan berakhir.
Oleh sebab itu, investor harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa instrumen keuangan ataupun barang yang dibeli sebagai investasi di saat pandemi dengan harga yang murah, pelan-pelan akan meningkat nilanya dalam jangka panjang.
Dengan keyakinan seperti itu, maka investor tidak boleh panik atau kaget kalau dalam jangka pendek atau jangka menengah nilai investasinya mengalami fluktuasi naik turun sebagai dampak dari perubahan ekonomi yang terjadi pada saat itu.
Baca Juga: Marak Kasus Investasi Bodong, Rey Utami dan Pablo Benua Beri Bantuan Gratis untuk Korban
Saham
Saham merupakan salah satu bentuk instrumen keuangan yang lebih tepat dipakai untuk tujuan berinvestasi dalam jangka panjang.
Membeli saham secara langsung ataupun dalam bentuk reksadana saham merupakan salah bentuk investasi yang sangat menjanjikan apabila kita membelinya di saat harganya sedang turun.
Saham tersebut tetap kita pegang sampai kondisi normal kembali atau kita lepas pada saat harganya mencapai titik tertinggi.
Namun demikian, tidak semua saham memiliki peluang yang sama untuk “rebound”, sehingga investor perlu berhati-hati dalam memilih saham yang akan dibeli.
Pemilihan saham harus didasarkan atas riwayat kinerja perusahaan sebelum terjadinya pandemi, kondisi fundamental perusahaan itu sendiri dan prospek ke depan seperti apa.
Sebagai gambaran, sebelum krisis tahun 2008 muncul, saham Astra Internasional (ASII) mencapai puncaknya di harga Rp30.250 pada tanggal 15 Januari 2008, dan pada saat krisis terjadi harganya anjlok menjadi Rp7.100 pada tanggal 29 Oktober 2008.
Kalau kita beli saham ASII tersebut di kisaran harga Rp7.000-8.000an saat itu dan kita jual kembali di tahun 2010, maka harganya sudah mencapai Rp40.000an, dan kalau kita pegang sampai awal tahun 2012 harganya sudah di kisaran Rp68.000-70.000an.
Penulis | : | Dr. Agus Sugiarto |
Editor | : | Tiur Kartikawati Renata Sari |
KOMENTAR