Dear Ibu Rieny,
Saya pembaca setia Ibu Rieny dan baru kali ini memberanikan diri berkonsultasi melalui NOVA. Saya ingin bertanya, sikap apa yang harus saya ambil dari keputusan untuk menerima kembali suami setelah tertangkap basah menikahi selingkuhannya.
Perselingkuhan suami dengan wanita lain berawal dari internet, Bu, di tahun 2006. Ia ketahuan dan terjadi pertengkaran kecil sampai besar. Di bulan Juni 2011, terkuak kalau dia sudah menikahi perempuan yang selama ini saya benci. Saya tidak bisa bercerita panjang lebar, Bu. Rasanya sakit, apalagi di dalam ingatan saya terekam kebohongan-kebohongan suami.
Mereka menikah siri di bulan November 2010. Tapi, mereka hanya bertemu selama lima bulan karena suami bukan laki-laki pemberani. Keluarga besar kami berdua tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan suami saya. Pasalnya, ia baik dan pendiam. Ia juga suami dan ayah yang bertanggung jawab.
Akhirnya, dia menyadari kesalahannya dan berjanji akan kembali kepada saya. Dia bersumpah atas nama Allah di hadapan orangtua saya untuk melanjutkan perkawinan ini. Orangtua dan saudaranya marah besar. Saya sendiri hanya bisa menangis dan sempat depresi hebat. Banyak yang bilang lebih baik saya minta cerai. Tapi, banyak juga yang menyarankan saya kembali menerima suami.
Bu, dengan keikhlasan hati dan berusaha tegar, saya pun ambil keputusan untuk menerima suami kembali. Dari luar, saya terlihat normal dan berusaha agar rumah tangga saya terlihat baik-baik saja. Ini semua demi anak-anak supaya mereka melihat bahwa orangtuanya bisa kembali rukun.
Tapi, kalau saya ingat pengkhianatan perkawinan yang sudah 16 tahun ini, hati sakit dan dada sesak. Akhirnya, emosi kembali bangkit dan saya kembali mengungkit masa lalu, kemudian terjadi pertengkaran. Saya trauma, Bu. Saya minta suami mengganti nomor handphone suami. Kalau dia bilang mau pulang terlambat, saya waswas.
Bu, meski suami berjanji tidak akan membuat masalah baru, mengaku ikhlas, dan rela melepaskan istri simpanannya, kenapa batin saya belum tenang?
Suami minta agar saya percaya akan apa yang dia lakukan dan memohon supaya saya tidak mengungkit masalahnya lagi. Tapi, saya berpikir, suami saya egois sekali. Dia yang telah berbuat dengan gampangnya berkata seperti itu. Saya tahu ia depresi atas perbuatannya karena dia bukan tipe laki-laki yang bisa bertahan di bawah tekanan. Malah, terkadang saya yang memberi suami semangat dan membesarkan hatinya.
Dengan sekuat tenaga, saya berusaha menerima permohonan maaf suami. Namun, saya sekarang juga berubah menjadi pemarah, kadang bersikap manis, kadang sedih. Itu bisa terjadi dalam hitungan menit. Apa yang sudah terjadi pada diri saya, Bu? Saya ingin kembali membina keluarga yang harmonis. Saya masih mencintai suami, mencintai anak-anak, dan keluarga saya. Meskipun kadang saya juga putus asa dan berpikir, apakah lebih baik saya tinggalkan suami, meski saya juga tahu itu bukan solusi yang baik.
Bu, saya tahu sakitnya dikecewakan dan dikhianati, saya juga pernah mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Red.). Mohon saran Ibu, bagaimana saya harus bersikap dan bagaimana menyadarkan suami agar segera bangkit. Bantu saya, ya, Bu. Terima kasih.
KOMENTAR