Rupanya, gatot dan tiwul sudah bermetamorfosa dari makanan yang identik dengan kelas bawah menjadi jajanan berkelas. Tiwul juga sudah mendapat sentuhan dengan berbagai varian rasa seperti nangka dan cokelat. "Bahkan, kami sediakan juga tiwul dengan toping keju," ujar Ratminingsih (37), sang pengelola usaha.
Menurut Ratmi, seiring makin banyaknya wisatawan yang mengunjungi tempat wisata pantai dan Gunung Pindul, penjualan gatot dan tiwul juga meningkat.
"Pembeli terus berdatangan. Kalau dihitung, dalam satu bulan kami butuh bahan baku tiwul dan gatot sebanyak 2 ton sampai 2,5 ton tepung gaplek. Menjelang liburan bisa 3,5 ton. Rata-rata per hari kami butuh 1 kuintal gaplek dan 1 kuintal tepung singkong. Akhir pekan bertambah 1,5 kuintal."
Ratmi menjelaskan, gatot terbuat dari irisan gaplek yang dikukus bersama air gula merah dan disantap dengan kelapa parut. Tiwul rasa asli terbuat dari tepung singkong yang dikukus, lalu ditambahkan gula merah. Juga disajikan dengan campuran kelapa parut dan garam. "Belakangan saya tambah dengan variasi buah nangka dan cokelat," katanya.
Varian Rasa
Ratmi mengisahkan, pada masanya gatot dan tiwul adalah makanan sehari-hari masyarakat Gunung Kidul yang dikenal berlahan tandus itu. Seiring semakin makmurnya masyarakat, beralihlah mereka mengonsumsi beras. Gatot dan tiwul hanya menjadi makanan tambahan atau selingan.
Nah, ibunda Ratmi bernama Tumirah yang akrab disapa Yu Tum tetap gigih berjualan gatot dan tiwul. Ia menjajakannya keliling desa dan masuk kantor-kantor pemerintahan. Itu sebabnya, Yu Tum dikenal masyarakat, termasuk pegawai instansi pemerintahan
Seiring usia yang semakin menua, akhir tahun 2000-an Yu Tum tak lagi berkeliling. Kala itu, ia berjualan di rumah kontrakan di kawasan Jl.Pramuka. Rupanya penggemar gatot dan tiwul terus memburu. "Tahun 2003 saya dan suami, Slamet, berhenti bekerja dari pabrik di Bekasi. Saya menggantikan ibu jualan tiwul. Kasihan, kan, ibu sudah berkurang kekuatannya," terang anak ke-5 pasangan Tumirah dan Warso Suwito (80)
Dengan tenaga yang fresh, Ratmi dan Slamet bahu-membahu menjajakan gatot-tiwul. Waktu itu, harga sebungkus tiwul masih Rp1.000. "Saya jualan di warung, suami sempat jualan di Pasar Beringharjo, kemudian memilih jualan keliling dari kantor ke kantor."
Dibantu dua karyawan, Ratmi dan Slamet yang asal Sokaraja (Jateng), terus bertahan dengan dagangannya. Keduanya harus bertarung melawan zaman, dimana makanan instan terus menggempur jajanan tradisional. Beruntung, masyarakat masih terus menyukai gatot-thiwul, sehingga dagangannya bisa bertahan.
"Tahun 2005 kami meminjam rumah kakak yang ada di samping warung kontrakan untuk memperluas warung tiwul. Kami juga sudah bisa menambah dua karyawan lagi untuk melayani pembeli yang kebanyakan pegawai kantor.
Ratmi dan Slamet mendapatkan angin segar ketika mendapat pelatihan manajemen dagang dan cara mengembangkan produk dari Disperindag tingkat provinsi. "Kami senang dan langsung ikut saja. Kami juga diajak pameran, dilatih teknis pembuatan tiwul yang baik. Bahkan dibantu alat-alatnya. Intinya kami terima pembinaan dari Pemda DIY termasuk BPOM hingga sertifikasi halal MUI."
Dari ajang pelatihan, timbul ide untuk memberi sesuatu yang baru pada dagangannya agar bisa berkembang. "Kami membuat varian rasa tiwul dengan mencampurkan buah nangka segar atau membubuhi meises ke dalam tiwul saat masih panas. Jadilah, tiwul rasa nangka dan cokelat. Ternyata pembeli banyak yang suka. Bahkan, wiasatawan ada yang minta dikasih toping keju."
Tiwul Instan
Ketekunan dan konsistensi Ratmi dan Slamet berdagang tiwul berbuah manis. Ia mampu mengubah warungnya menjadi toko pusat oleh-oleh khas Gunung Kidul. Selain sajian utama gatot dan tiwul, Ratmi juga menyediakan aneka jajanan berbahan singkong. Sebagian dagangannya merupakan kerja sama dengan perajin makanan kecil warga setempat.
Bukan itu saja, ia mampu membeli rumah kakak yang dipinjamnya itu. Kini, selain menjadi tempat produksi, di lantai atas dibuat area resto gatot-tiwul. "Tamu-tamu yang datang bisa menyantap gatot-tiwul hangat di lantai atas. Per porsi Rp15.000. Kebanyakan keluarga dan tamu yang datang rombongan dengan mobil pribadi. Ada juga rombongan wisatawan yang baru pulang wisata. Bahkan, ada yang minta dibungkus untuk dibawa pulang."
Kreasi lainnya, Ratmi dan Slamet membuat tiwul dan gatot yang dikeringkan dengan kemasan menarik. Mereka menyebutnya tiwul dan gatot instan. Per kemasan isi setengah kilo harganya Rp18.000. Di bagian kemasan tertulis cara memasak dan penyajiannya.
Kendati demikian, Ratmi tak keberatan menerima titipan produk serupa dari pabrik tiwul instan milik perusahaan berskala besar yang ada di Gunung Kidul. "Sejak tahun 2004 pabrik tiwul itu menitipkan produknya di toko saya."
Atas ketekunan memihak jajanan khas rakyat Gunung Kidul, Tiwul Yu Tum pada tahun 2013 mendapatkan penghargaan dari Pemda DIY. Bagi Ratmi , "Sepanjang masyarakat masih mau makan tiwul, itu sudah penghargaan yang berarti bagi kami," tegas Ratmi.
Menurut Ratmi, ibunda tercinta sempat melihat perkembangan usahanya hingga tahun 2013. "Ibu saya meninggal 7 Desember 2013 dalam usia 76 tahun. Ketika masih hidup beliau menyatakan senang usahanya bisa berkembang di tangan saya dan suami. Bahkan sempat berpesan kepada saya supaya hati-hati mengembangkan usaha."
Untuk melengkapi tokonya, Slamet juga membuat getuk goreng Sokaraja seperti tempat asalnya. "Bedanya, getuk kami lebih krispi dan tidak terlalu manis. Kami jual per besek, isi 0,5 kilo seharga Rp13.000. Peminatnya semakin bertambah dari hari ke hari," terang Ratmi.
Jual Online
Ratmi pantas bangga, gatot dan tiwul buatan Yu Tum juga disukai pemimpin negeri ini. "Di masa Presiden Soeharto, ibu saya sering diminta menyajikan tiwul untuk beliau. Baik saat Pak Harto berkunjung ke Gunung Kidul maupun ketika di Istana Gedung Agung, Yogyakarta. Pak Harto memang penyuka tiwul."
Raja Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga gubernur DIY Ngarsadalem Sultan HB X, kata Ratmi, juga menyukai tiwul Yu Tum. "Pak Sultan juga sering kok. Kalau ada acara di Gunung Kidul, kami menyajikan tiwul untuk Pak Sultan," jelas Ratmi yang kini sering diminta Disperindag melatih pembuatan tiwul di beberapa tempat.
Beberapa bulan belakangan, Dinas Pariwisata Gunung Kidul juga mengajak Ratmi terlibat dalam berbagai kegiatan. Ke depan Tiwul Yu Tum masih ingin mengembangkan produk tiwul instan. "Banyak peminatnya. Apalagi musim libur. Saya juga berjualan tiwul instan secara online," ujar Ratmi yang kini memiliki dua cabang toko lagi di Jl Siyono dan kios di Pantai Baron.
Tiwul Yu Tum benar-benar sudah naik kelas.
Dua Jam Langsung Habis
Di jantung kota Yogyakarta, tepat di pinggir jalan AM Sangaji, sebelah utara Tugu, Bu Hadi juga menjual gatot dan tiwul. "Pembeli gatot-tiwul buatan saya berasal dari beragam kalangan. Mulai masyarakat biasa sampai Ngarsadalem. Sering juga dapat pesanan dari berbagai isntansi untuk acara rapat," ujar Bu Hadi.
Artis ibu kota saat menyambangi Yogya juga sempat mencicipi gatot dan tiwul buatannya. "Antara lain Eddies Adelia, Tina Toon, Didi Petet, lainnya lupa," timpal Rita, anak Hadi.
Hadi mengaku mengikuti jejak neneknya. Sejak tahun 1975, kala masih remaja, Hadi sudah ikut membantu neneknya. "Usaha nenek dilanjutkan ibu, kemudian saya sendiri yang jualan. Saya menempati lokasi ini sejak nenek jualan," kisah Hadi yang jualan di pinggir trotoar selebar kurang lebih 1,5 m X 3 m.
Dagangan yang dijajakan sejak pukul 17.00 laris luar biasa. Hanya dalam waktu dua jam, dagangan sudah habis. Larisnya gatot-tiwul olahan ibu 7 anak ini sudah terkenal di Yogya. "Olahan gatot-tiwul ini sama seperti zaman nenek. Saya tidak ada rahasia. Rasa manisnya terbuat dari gula merah asli," ujar Hadi yang kerap menerima pesanan untuk berbagai acara.
Hidup berkecukupan dari gatot dan tiwul juga dirasakan oleh Martini, yang berjualan di Pasar Ringin, Bugisan. Dari hasil jualan ia berhasil mengantarkan tujuh anaknya mengenyam pendidikan. Ada yang menjadi anggota TNI AU ada juga yang berhasil meraih sarjana. Ia juga hidup layak, bisa membeli rumah dan mobil.
Tak cuma pandai memasak gatot-tiwul yang enak, Martini juga terampil membuat lopis, cenil, serta ketan bubuk kukus. Jualannya pun bervariasi. Berkat tiwul pula, Martini mengaku sudah beberapa kali masuk tayangan teve.
Rini Sulistyati
KOMENTAR