TabloidNova.com - Krisis paruh baya, atau yang kerap disebut sebagai puber kedua, adalah fenomena di mana terjadi perubahan pada laki-laki saat memasuki usia tertentu. Krisis paruh baya ini tak hanya dialami laki-laki semata, melainkan juga perempuan di usia 37 sampai 50 tahun.
Menurut Evans Garey, S.Psi., M.Si., psikolog dari Ukrida, krisis paruh baya biasanya disebabkan oleh tiga perubahan. Yaitu, perubahan karena banyaknya waktu luang setelah anak dewasa, perubahan fisik atau hormon, dan perubahan sosial yang mencakup perubahan struktur keluarga, seperti kematian anggota keluarga.
Namun, berbagai perubahan yang memicu krisis paruh baya ini sebenarnya merupakan hal yang normal. Lelaki harus menyadari bahwa lambat laun fisiknya akan berubah, dan itu adalah hal wajar karena hidup juga berubah. "Yang terpenting, bagaimana menjalani arus dan menciptakan perubahan, serta mampu membuat inovasi dalam kehidupan," paparnya.
Yang perlu Anda perhatikan, perubahan ini bisa saja berdampak negatif dan menyebabkan stres cukup tinggi. "Bisa jadi penyebabnya berkaitan karena tidak mampu melihat peluang yang ada, tidak bisa melakukan sesuatu, atau mau melakukan sesuatu tapi sumber dayanya tidak mendukung karena tidak punya uang."
Jika sudah terjadi demikian, tetaplah fokus pada hubungan dengan pasangan. "Itulah pentingnya membangun kebahagiaan dalam kehidupan suami istri. Agar banyak kenikmatan yang diperoleh baik secara fisik atau mental," ujar Evans.
Pada perempuan yang mengalami krisis seperti menopause, tidak semua merasakan sakit, kaku, dan dingin terhadap pasangan. Banyak juga yang melewati masa tersebut dengan aman dan baik.
Hadapilah krisis paruh baya sebagai bagian dari kehidupan normal. Menurut teori psikolog asal Yale, Daniel Levinson, semua orang dewasa akan melalui serangkaian tahapan. Peristiwa ini adalah transisi yang normal untuk tahap lain dari kehidupan.
Pahami Pasangan
Terpenting, lanjut Evans, saat pasangan mengalami krisis paruh baya, kita harus bisa menerima perubahan tersebut. "Pasangan harus mampu memahami apa yang terjadi, tak perlu khawatir atau curiga, apalagi sampai menekan pasangan tidak boleh melakukan perubahan."
Perubahan yang terjadi juga jangan sampai menjadi mimpi buruk bagi pasangan. Istri harus bisa mengikuti keinginan suami selama yang dilakukan positif, wajar, dan perlu didukung. Ada baiknya membangun hubungan yang lebih baik lewat kegiatan positif itu.
Jika ada persepsi masa-masa tersebut kebahagiaan mulai menurun, tidaklah benar. "Justru seiring bertambahnya waktu luang, tidak mengurus anak kecil lagi, pasangan malah bisa melakukan hal-hal yang disukai bersama-sama. Masa-masa kebahagiaan pun kembali diraih seperti di awal pernikahan. Tentu saja harus menjalankan aktivitas bersama-sama sehingga kebahagiaan akan terwujud," pungkasnya.
Noverita K. Waldan
KOMENTAR