Empat bulan lamanya aku dirawat di RS. Sebagian waktu di antaranya, di ruang isolasi. Luka bakar dan serpihan bom membuat siku, telinga, punggung hingga pinggangku hangus serta terasa sakit. Bukan hanya fisik yang sakit, tapi juga bathinku.Bayangkan saja, rencana pernikahan yang hanya dalam hitungan hari, terpaksa buyar seketika. Undangan yang sudah dibagikan, dibatalkan. Benar-benar jadi mimpi terburuk bagiku. Rencana nikah pun sampai terbawa mimpi. Rasanya benar-benar syok. aku juga terus berpikir, apakah Sari masih mau menerimaku. Akankah ia mau melanjutkan hubungannya denganku atau tidak mengingat kondisiku sudah tak sama seperti dulu.Kukembalikan semua jawaban itu ke Sang Pencipta. Aku hanya bisa berdoa mendapatkan yang terbaik. Rupanya doaku terjawab. Suatu pagi, Sari datang membawa foto, sementara Ibu dari luar ruang isolasi membacakan puisi melalui telepon. Puisi itu rupanya buatan Sari yang intinya berisi kesediaannya menerimaku apa adanya.Hatiku lega. Aku menangis gembira. Bayangkan saja, ia masih mau menerimaku dan selalu setia merawat dan menjagaku. Sejak itu, aku makin terpacu untuk segera bangkit dari kesedihan dan ingin segera sembuh. Perkembangan kondisiku pun meningkat drastis. Selang infus boleh dilepas, aku bisa jalan, dan makan sendiri.Tibalah hari bahagia itu. Atas izin dokter, aku boleh keluar dari ruang isolasi untuk melaksanakan akad nikah, 20 September 2003. Upacara yang mengharukan sekaligus membahagiakan itu, berlangsung di aula RS. Usai akad nikah, aku harus kembali ke ruang isolasi. Untunglah sebulan kemudian aku boleh meninggalkan RS dan cukup berobat jalan. Baru 15 Desember diadakan resepsi pernikahan di gedung. Aku bahagia sekali.
nova.id
Puisi Indah Pembangkit Semangat 2
"Kebahagiaanku makin bertambah ketika lahir bayi kembar dari rahim istriku. (Foto: Repro/Nove/NOVA) "
Dapat KembarKendati Sari mau menerimaku apa adanya, di sisi lain timbul rasa was-was, bisakah aku memberikan keturunan? Alhamdulillah, Mei 2004 istriku positif hamil. Aku tambah senang ternyata telurnya kembar. Tanggal 1 Februari 2005, si kembar Abigail (2,6 kg) dan Daud (1 kg), lahir. Lengkap sudah kebahagiaanku.Perkembangan Abigail sangat bagus, sementara Daud harus ikut terapi. Dia bukan mengalami keterbelakangan, tapi karena lahirnya kecil, perkembangannya telat. Aku tidak mau mencari kambing hitam, gara-gara bom anakku jadi begitu. Justru aku merasa mendapat sentilan dari Tuhan karena kurang bersyukur dan ibadah. Tidak boleh takabur, apa pun yang Tuhan berikan harus disyukuri. Ada dan tidak ada bom pasti terjadi sesuatu pada aku.Kalaupun ada yang membuatku sedih dan menyesali peristiwa bom itu adalah aku tidak bisa menggendong anakku dengan leluasa. Aku harus memakai sarung tangan karena jika tidak, anak-anak tidak mau. Coba kalau tanganku normal, anak-anak pasti mau sama aku. Tiap kali aku berkata begitu, istriku pasti marah. "Jangan diingat-ingat lagi!"Aku memang sangat beruntung memiliki Sari. Istriku sungguh luar biasa. Bayangkan, mulai dari mengurus anak, bekerja, memberi yang terbaik buat keluarga, dilakukannya dengan sabar dan telaten. Kalau orang lain, mungkin tidak tahan menghadapi hal ini. Paling ia hanya mengeluh capek, tapi begitu ketemu anak-anak, ia langsung tertawa lagi.
Rencana selanjutnya? Memang pernah terlintas di benakku untuk melakukan bedah kosmetik. Bukan ingin menutupi kekurangan yang kini menempel di tubuhku. Kalau soal itu, biarlah aku ingin tetap seperti apa adanya. Justru itu yang membuatku tak lupa diri dan selalu mengingatkanku agar senantiasa berterima kasih pada Sang Pencipta. Noverita K. Waldan
PROMOTED CONTENT
REKOMENDASI HARI INI
Ini Rekomendasi Outfit Minimalis Tapi Stylish ala Nicholas Saputra dari UNIQLO
KOMENTAR