Pada 25 Maret lalu, Jakarta Green Map ulang tahun ke 10. Apa agendanya?
Kami mengadakan tur ke Hutan Kota Senayan untuk mengamati serangga. Serangga, kan, jadi indiksi ekosistem kota. Di Jepang, malah indikasinya kunang-kunang. Indikasi pabrik di Jepang berhasil melakukan penghijauan jika ditemukan kunang-kunang.
Acara ini bertepatan dengan setahun bencana Situ Gintung. Kami juga sudah membuat peta hijau situ di Jakarta yang hasilnya sudah disebar di halte Trans Jakarta. Tujuannya agar warga mau mengunjungi situ-situ yang ada di Jakarta. Setelah berkunjung, mereka tahu manfaat situ dan peduli. Jika warga tak peduli, situ diurug pun, mereka tak akan protes.
Anda selalu bersuara keras terhadap pemerintah?
Ya, yang saya lakukan itu sebagai wakil dari masyarakat yang tidak mau kota ini hancur.
Selain kritik, Anda juga menawarkan gagasan-gagasan untuk pemerintah kota?
Ya, salah satunya pembangunan taman Ayodia. Konsep saya ada 4. Pertama, membeli lahan untuk dijadikan taman kota. Kedua, merefungsi lahan hijau yang sudah beralih fungsi, dijadikan lahan hijau.
Ketiga, penanaman pohon di kawasan Jakarta. Dan keempat, mulai April mendatang kami akan memelopori penanaman pohon sesuai karakter dan ciri khas kawasan.
Jakarta, kan, sebenarnya punya kawasan yang diambil dari nama pohon. Kami punya 10 proyek menanam pohon berdasarkan nama kawasan. April mendatang akan menanam 100 pohon kemang di kawasan Kemang.
Kemang akan jadi pilot project untuk kawasan lain seperti Kebayoran yang namanya diambil dari pohon bayur, sejenis angsana yang batangnya untuk bahan bangunan. Pohon itu kini malah banyak tumbuh di Sumatera.
Kami juga mendorong pihak swasta untuk membuat taman-taman kota karena keterbatasan dana dari pemerintah.
Sebenarnya, apa profesi Anda?
Selain sebagai pengajar di Trisakti, saya juga konsultan lansekap perkotaan.
Kenapa memilih jurusan itu?
Sekitar tahun 84, di Jakarta banyak sekali penebangan pohon-pohon besar di Jl Gatot Subroto untuk pelebaran jalan. Tapi, tak ada satu pun masyarakat yang protes. Begitu pula penggusuran makam yang disulap jadi hotel. Saya juga tak berani protes karena situasinya tak memungkinkan. Nah, sejak itulah saya ingin belajar tetang ilmu tata kota.
Di dalam keluarga, Anda juga menerapkan green life?
Rumah saya kecil, cuma 74 m2. Tapi, ada banyak tanaman dalam pot. Saya juga merapkan cara mengelola sampah rumah tangga. Dalam kegiatan sehari-hari, saya selalu naik kendaraan umum, meski di rumah ada mobil. Saya melakukan itu secara konsisten.
Bagaimana dengan anak-anak?
Ya, kedua anak saya selalu diajak kalau ada tur peta hijau. Agar mereka bisa belajar.
Omong-ngomong, kok, Anda dipanggil Yudi?
Ha ha ha. Itu karena orangtua tidak mau repot saja. Kakak saya, kan, namanya Nirwono Yudo, dipanggil Yudo. Sementara saya, Nirwono Joga, biar gampang dipanggil Yudi.
Sukrisna
KOMENTAR