TabloidNova.com - Setidaknya, sudah ada dua menteri perempuan di Kabinet Jokowi yang didesak untuk diganti. Awalnya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang didemo puluhan nelayan dari berbagai daerah di Jatim di depan Gedung DPRD Jatim di Surabaya, Rabu (25/2/2015). Mereka meminta Presiden Jokowi memecat Menteri Susi karena dinilai sudah tidak pro kepentingan nelayan.
Kini, giliran Barisan Relawan Jokowi for Presiden (Bara JP) yang mendesak Presiden Joko Widodo mengganti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise. Menteri asal Papua itu dianggap tak menunjukkan kinerja yang positif.
Ketua Srikandi Bara JP Vivi Evilia mengatakan, desakan pihaknya bukan tanpa alasan. Ada sejumlah indikator yang menunjukkan bahwa Menteri Yohana nihil prestasi sejak dilantik Presiden Jokowi menjadi menteri di dalam Kabinet Kerja.
"Indikator pertama, Yohana terlalu banyak menghabiskan waktu ke Papua. Bahkan untuk menerima tamu saja di Papua," ujar Vivi dalam siaran pers, Rabu (11/3/2015).
"Selama bulan November-Februari, Yohana tidak kurang dari sepuluh kali ke Papua. Padahal, Indonesia ini bukan hanya Papua, dan Yohana itu bukan menteri urusan Papua," lanjut dia.
Indikator kedua, Menteri Yohana mengangkat sejumlah staf ahli dari kalangan keluarganya. Pada dasarnya, lanjut Vivi, pihaknya tidak soal jika prestasi para staf ahli itu baik. Namun, persoalannya yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan, di kalangan pegawai Kementerian PPPA, situasi itu menjadi bahan olok-olok.
Sekretaris Jenderal Bara JP Carlin Siregar menambahkan, indikator ketiga yakni seringnya muncul keluhan dari sejumlah pihak tentang ketidakfokusan program Yohana di bidang perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.
"Pernah satu kali dalam rapat di Menko PMK, pembahasannya masalah A, Yohana bicara Z. Yohana tampak tidak memahami topik bahasan, banyak pegawainya bilang bahwa Yohana tidak fokus," ujar Carlin.
Meski meminta Yohana diganti, lanjut Carlin, Bara JP menganggap bahwa keterwakilan sosok asal Papua dalam Kabinet Kerja harus tetap diperhatikan. Menurut dia, keterwakilan sosok Papua dalam kabinet adalah bukti bahwa Jokowi mengakomodasi segala kepentingan.
Aksi protes sebelumnya dilontarkan puluhan nelayan dari berbagai daerah di Jatim terhadap kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tentang larangan menangkap ikan dan pemakaian alat tangkap ikan.
Mereka meminta Presiden Jokowi memecat Menteri Susi karena dinilai sudah tidak pro kepentingan nelayan. Peraturan yang dikeluarkan Menteri Susi dinilai sangat memberatkan nelayan dan membatasi hak-hak nelayan sebagai warga negara.
"Ini sudah menyangkut soal hak hidup warga negara. Kalau nelayan tak bisa makan maka kami pun siap melawan sampai titik darah penghabisan," ujar Agus, perwakilan nelayan asal Lamongan, saat berorasi di depan Gedung DPRD Jatim di Surabaya, Rabu (25/2/2015).
Dalam Peraturan No 1 Tahun 2015, Menteri Susi melarang penangkapan lobster (Panulirus), kepiting (Scylla), dan rajungan (Portunus pelagicus) dalam kondisi bertelur, serta Kepmen KP No 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets).
Agus menegaskan, para nelayan yang mencari ikan di laut itu bukan pencuri. Namun, gara-gara peraturan yang dibuat Menteri Susi, nelayan dianggap pencuri sehingga harus berhadapan dengan aparat hukum.
"Teman kami sudah ada yang ditangkap aparat dan juga tak bisa menjual lobster dan kepiting hasil tangkapan," tegasnya.
Senada dengan hal itu, perwakilan nelayan asal Malang, Fuad, juga prihatin atas kebijakan Menteri Susi soal larangan menggunakan alat tangkap tertentu.
"Alat pukat tarik yang sudah turun-temurun digunakan nenek moyang nelayan, jika dilarang, akan ada jutaan nelayan di Jatim yang kehilangan pekerjaan," ujarnya.
Fuad mengatakan, peraturan yang dikeluarkan Menteri Susi sangat kontroversial karena dibuat tanpa melibatkan pihak terkait dan tanpa melalui kajian ilmiah. Hampir sejam berorasi di depan Gedung DPRD Jatim, perwakilan nelayan pun diterima anggota DPRD Jatim untuk diterima aspirasinya.
Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado/Achmad Faizal
KOMENTAR