Cerita perjalanan karier Anda di bidang hukum ?
Saya sebanarnya ingin kerja di bidang public relation, di Deplu atau presenter, seperti Mutia Hafis atau Najwa Shihab. Tapi ibu ingin saya kuliah di Fakultas Hukum. Dari enam anaknya, dua mendalami ekonomi mengikuti ayah. Lalu ada yang ke bidang pendidikan. Kakak saya yang kelima waktu itu sudah kuliah di Kedokteran. Nah, yang terjun ke bidang hukum belum ada. Jadi sayalah yang diceburkan.
Jadi, terpaksa?
Awalnya sulit menyatu dengan masalah-masalah hukum. Apalagi dosen-dosen saya di Universitas Pancasila kala itu, rata-rata profesor dari UI. Ujiannya streng. Selama kuliah, saya sering ke kantor ibu untuk diskusi. Saya seperti magang di sana. Setelah lulus saya kuliah lagi. Saya ambil dua gelar S2 sekaligus di Australia. MBA saya dari Edith Cowan University. Sedangkan title LLM saya peroleh dari University of Master of Law Western.
Saat itu sudah menikah?
Sudah. Saya kuliah di Australia sambil bawa anak saya Muhammad Ridhwan Syafiq. Setiap kuliah, anak saya titipkan ke teman-teman bule di sana. Sebagian teman kuliah, sebagian lagi tetangga. Alhamdulillah anak saya aman. Selama di Australia, saya sengaja tinggal di town house, biar dekat dengan tetangga. Sore, kami sering bertemu di taman. Jadi selain dapat teman, saya punya tujuan ingin melancarkan bahasa Inggris.
Sekarang, apa menariknya menekuni bidang hukum?
Ibu saya dulu selalu bilang. Hukum itu luas. Ada di semua bidang, ternyata benar. Kenapa? Karena hukum mengatur hidup. Saya sering sekali diminta menangani kontrak kerja beberapa artis, misalnya, Ririn Dwi Aryani, Shelomita. Klien saya mulai dari anak jalanan hingga istri pejabat, perusahaan asing, bank ternama sampai artis.
Kasus pertama yang Anda tangani?
Ada seorang direktur yang dijebloskan ke penjara oleh saudara tirinya. Direktur ini dianggap memalsukan dokumen surat wasiat ayahnya. Saat itu saya masih berstatus pengacara yang mendampingi ibu. Kami menang dalam kasus ini.
Sebagai perempuan atvokat sering "melawan" atvokat pria di pengadilan, perlu persiapan ekstra?
Enggak tuh. Buat saya pembelaan yang saya lakukan demi kepentingan klien seluas-luasnya. Misalnya untuk kasus Cici Paramida. Di Pengadilan Agama saya benar-benar "melawan" tujuh pengacara pria. Saat saya belum selesai bicara, salah satu dari tujuh pria itu sudah berdehem atau memotong pembicaraan. Tapi bagi saya di situlah tantangan. Setiap kali melihat situasi sudah mengkhawatirkan klien, saya harus mencari perlindungan dan mengambil langkah hukum yang lain. Misalnya, bicara ke media. Untuk kasus Cici, awalnya saya enggak mau bicara ke media. Tapi karena klien terus dipojokkan oleh suaminya, akhirnya kami bicara ke media. Bagaimana pun, membentuk opini publik itu penting.
KOMENTAR