Saat ini Anda memimpin Law Ladies Associaties. Kenapa namanya Law Ladies?
Law Ladies itu law firm yang didirikan mendiang ibu saya, Hj. Mar'at Hindasih Syafarudin, SH. Beliau mantan hakim di PN Istimewa (Jakarta Pusat). Tahun 60-an ibu mengundurkan diri karena ikut ayah, Drs.H.Mohammad Syafarudin, yang pindah ke Padang. Ayah seorang direktur sebuah bank. Ketika ayah pensiun dan kembali ke Jakarta, ibu mendirikan Law Ladies bersama dua temannya sesama perempuan. Ibu tipe perempuan tak bisa diam.
Saya mengagumi keberanian ibu dalam setiap kasus yang ia tangani. Tak gentar oleh ancaman atau teror. Sepanjang fakta hukumnya kuat, ibu tidak akan mundur. Karena pemberani, dia dapat julukan "Macam Betina". Tahun 2006 ibu meninggal. Saat itu ibu tengah menangani kasusnya artis sinetron Revaldo. Orang mengira ibu saya omanya Revaldo.
Lalu?
Saya meneruskan Law Ladies. Tahun 1984 saya sudah mengantongi izin atvokat. Di kantor ini saya meneruskan visi yang sudah dirintis ibu saya. Cuma namanya ditambah saja, jadi Law Ladies and Associaties. Sebab partner kerja saya suami sendiri, Erick Antariksa. Dulu dia kerja di advertising dan entertainment. Setelah melihat kerjaan saya, dia kuliah lagi. Kini kami menekuni bidang yang sama. Saya juga meneruskan obsesi ibu dengan mendirikan LSM AKAR.
Apa itu?
Ini sebuah LSM yang mengadvokasi anak dan remaja miskin yang terlibat masalah hukum. AKAR sekarang memiliki 26 anak asuh. Mereka kami sekolahkan dengan dana yang saya ambilkan dari keuangan Law Ladies Associaties. Tidak ada dana dari luar. Tapi bila klien saya mau menyumbang, boleh saja.
Cerita perjalanan karier Anda di bidang hukum ?
Saya sebanarnya ingin kerja di bidang public relation, di Deplu atau presenter, seperti Mutia Hafis atau Najwa Shihab. Tapi ibu ingin saya kuliah di Fakultas Hukum. Dari enam anaknya, dua mendalami ekonomi mengikuti ayah. Lalu ada yang ke bidang pendidikan. Kakak saya yang kelima waktu itu sudah kuliah di Kedokteran. Nah, yang terjun ke bidang hukum belum ada. Jadi sayalah yang diceburkan.
Jadi, terpaksa?
Awalnya sulit menyatu dengan masalah-masalah hukum. Apalagi dosen-dosen saya di Universitas Pancasila kala itu, rata-rata profesor dari UI. Ujiannya streng. Selama kuliah, saya sering ke kantor ibu untuk diskusi. Saya seperti magang di sana. Setelah lulus saya kuliah lagi. Saya ambil dua gelar S2 sekaligus di Australia. MBA saya dari Edith Cowan University. Sedangkan title LLM saya peroleh dari University of Master of Law Western.
Saat itu sudah menikah?
Sudah. Saya kuliah di Australia sambil bawa anak saya Muhammad Ridhwan Syafiq. Setiap kuliah, anak saya titipkan ke teman-teman bule di sana. Sebagian teman kuliah, sebagian lagi tetangga. Alhamdulillah anak saya aman. Selama di Australia, saya sengaja tinggal di town house, biar dekat dengan tetangga. Sore, kami sering bertemu di taman. Jadi selain dapat teman, saya punya tujuan ingin melancarkan bahasa Inggris.
Sekarang, apa menariknya menekuni bidang hukum?
Ibu saya dulu selalu bilang. Hukum itu luas. Ada di semua bidang, ternyata benar. Kenapa? Karena hukum mengatur hidup. Saya sering sekali diminta menangani kontrak kerja beberapa artis, misalnya, Ririn Dwi Aryani, Shelomita. Klien saya mulai dari anak jalanan hingga istri pejabat, perusahaan asing, bank ternama sampai artis.
Kasus pertama yang Anda tangani?
Ada seorang direktur yang dijebloskan ke penjara oleh saudara tirinya. Direktur ini dianggap memalsukan dokumen surat wasiat ayahnya. Saat itu saya masih berstatus pengacara yang mendampingi ibu. Kami menang dalam kasus ini.
Sebagai perempuan atvokat sering "melawan" atvokat pria di pengadilan, perlu persiapan ekstra?
Enggak tuh. Buat saya pembelaan yang saya lakukan demi kepentingan klien seluas-luasnya. Misalnya untuk kasus Cici Paramida. Di Pengadilan Agama saya benar-benar "melawan" tujuh pengacara pria. Saat saya belum selesai bicara, salah satu dari tujuh pria itu sudah berdehem atau memotong pembicaraan. Tapi bagi saya di situlah tantangan. Setiap kali melihat situasi sudah mengkhawatirkan klien, saya harus mencari perlindungan dan mengambil langkah hukum yang lain. Misalnya, bicara ke media. Untuk kasus Cici, awalnya saya enggak mau bicara ke media. Tapi karena klien terus dipojokkan oleh suaminya, akhirnya kami bicara ke media. Bagaimana pun, membentuk opini publik itu penting.
Anda sering muncul di infotainment? Anda menontonnya?
He he he. Iya. Saya menonton bukan karena ingin melihat wajah saya. Tapi menyimak bagiamana kalimat saya yang ditayangkan. Kadangkala kalimat yang ditayangkan itu menurut saya bukan yang seharusnya ditayangkan. Saya juga perlu memantau pihak lawan bicara apa. Jadi menonton infotainment untuk strategi hukum.
Mengaca pada kasus Cici, kenapa perempuan seringkali jadi korban kekerasan?
Kekerasan terjadi bisa karena ada hubungan dengan masa lalu, pendidikan, dan budaya si suami atau pelaku. Mungkin suami tengah dalam tekanan atau dalam situasi yang tidak bisa mengontrol emosinya. Nah, kalau yang terakhir ini terjadi, istri harus mengingatkan suaminya agar tidak memukul atau memaki. Istri jangan menantang suami saat emosi tidak terkontrol. Menjauh dari suami atau keluar ruangan, itu lebih baik. Kalau kekerasan sudah terlalu, istri harus lapor segera ke RT, RW atau polisi.
Penegakan hukum kita masih amburadul. Bahkan, akhir-akhir ini populer sekali istilah makelar kasus (markus). Pendapat Anda?
Sebenarnya ini sudah lama. Tapi sekarang lebih open. Ini era demokrasi, orang bebas bicara, sayang sering kebablasan. Banyak kepentingan pribadi yang dimasukkan dalam penegakan satu kasus. Mudah-mudahan jadi tonggak baru. Orang yang berniat jadi "markus" atau merekayasa kasus akan berpikir.
Pernah ditawari oleh para "markus"?
Dulu, iya pernah. Kalau sekarang tidak. Mungkin banyak yang tahu saya ini orangnya tegas. Harus diketahui bahwa tidak semua pengacara itu "hitam". Makanya kalau saya terima kasus tidak sepenuhnya percaya dengan apa dibilang klien. Tapi itu hanya berlaku case by case, ya. Seperti pada kasus Cici. Saya melakukan napak tilas ke tempat-tempat di mana Cici mendapat kekerasan. Saya investigasi sendiri untuk memperjelas apa yang ingin saya tahu.
Sering dapat teror?
Sering. Pernah mobil saya ditabrak. Di gedung pengadilan pun, saya juga pernah diancam oleh preman yang dibawa lawan klien saya. Yang paling mengerikan, saat menemani ibu ketika akan eksekusi tanah. Waktu itu Ibu diancam akan ditusuk orang bila berani mengeksekusi tanah sengketa itu. Antara percaya dan tidak, ibu saya justru maju. Polisi sampai terkejut melihat perbuatan ibu. Dari sanalah saya mengerti bagaimana seorang pengacara seharusnya membela klien.
Pelan tapi pasti, keberanian Ibu sudah Anda warisi?
Sepertinya begitu.
Hobi dan aktivitas Anda di luar urusan hukum?
Jalan-jalan, window shopping, nonton film. Tapi saya bukan maniak belanja barang yang tidak diperlukan. Saya juga sering ikut arisan di kafe bareng teman lama.
Badan Anda tinggi sekali?
Tinggi badan saya 172 cm. Saya pernah, lho, jadi peragawati. Angkatan saya Astrid Dharmawan. Ketika itu saya masih SMA. Saya peragawati back street. Orangtua saya tidak merestui. Waktu itu image peragawati di mata orangtua saya buruk sekali. Pernah, suatu kali habis show saya pulang jam dua dini hari. Orangtua sengaja menunggu saya datang. Pas saya pulang, dapat sumpah serapah. Lalu saya berusaha berprestasi di bidang modeling. Saya ikut lomba dan jadi top model, dapat piala. Eh, pulang-pulang pialanya dihancurin. Nah, setelah kuliah, saya enggak jadi peragawati lagi.
RINI SULISTYATI
KOMENTAR