Saat akan memasuki dunia pernikahan, banyak pasangan yang lebih fokus mengurusi stamina fisik, acara pertunangan, resepsi pernikahan, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Mereka melupakan sesuatu yang sebenarnya lebih penting, yaitu kesiapan mental.
Padahal menurut Lucia Indrakusuma, konselor pernikahan dari Eagle Eye, kesiapan mental sangat ideal untuk mengurangi risiko kegagalan dan mengurangi gesekan-gesekan dalam pernikahan.
Redakan Konflik
Menyiapkan mental bisa dibantu dengan konseling pranikah. Maka, sebelum menolak tawaran dari pasangan atau keluarga yang mengajak Anda mengikuti konseling pranikah, pahami dulu hasil akhirnya. Di antaranya adalah membantu pasangan mengurangi dan menyelesaikan gesekan-gesekan dalam rumah tangga. "Konflik dalam pernikahan itu tidak terelakan. Apakah masalah itu bisa selesai atau tidak, tergantung dari kepribadian pasangan tersebut," ujar Lucia.
Bagaimana caranya? Di konseling pranikah terdapat tes temperamen (kepribadian) yang dilakukan agar mereka mengetahui karakter pasangannya. Konselor pun tak berdiam diri, ia akan memberitahu strategi apa yang bisa mereka terapkan ketika diperhadapkan pada masalah rumah tangga. Misalnya masalah pola pikir, keuangan, mertua, kematangan emosi, dan lain-lain.
Padukan Kepribadian
Dalam konseling pranikah, ada beberapa jenis kepribadian yang biasa ditemukan Lucia, yaitu:
- Beruang: Ingin menyenangkan pasangan, tapi tujuan dia tidak tercapai. Untuknya, "Yang penting orang lain senang".
- Ikan hiu: Orang yang dominan dan kepribadiannya kuat. Baginya, "Yang penting tujuan saya tercapai, saya enggak peduli pasangan saya hancur atau tidak."
- Kura-kura: Orang yang penakut. Ibarat kura-kura, jika tidak merasa aman ia tidak akan mengeluarkan kepalanya, sehingga tujuan dan hubungan relasinya tidak tercapai.
- Serigala: Bisa diandalkan untuk melakukan komunikasi dua arah (ada kompromi), sehingga relasi dan tujuan dirinya dan pasangan berhasil.
- Burung hantu: Bijaksana dan matang dalam hal emosi (relasi dan tujuan sama-sama tercapai).
Penting sekali bagi pasangan mengenal karakter pasangannya dan mengetahui solusi atau strategi apa yang akan dilakukan ketika menghadapi masalah. Misalnya, jika Anda berkarakter kura-kura dan pasangan bersifat seperti beruang. Jika dilihat dari karakternya, kedua pasangan ini akan sulit sekali menyelesaikan masalah di antara mereka. Nah, dengan adanya konseling, pasangan dapat mengantisipasi dan mengatur strategi untuk menyelesaikan.
Beda Tahun, Beda Masalah
Berikut tahapan-tahapan yang biasa dilewati pasangan menikah:
Romantic Love (0-4 tahun)
Menurut Lucia, tahun rawan pernikahan dimulai dari tahun keempat. Persoalan lebih dititikberatkan pada masalah kepribadian yang tidak muncul di saat pacaran. "Saat masih pacaran, keduanya masih berada di tahap romantic love, semuanya masih serba romantis. Ilustrasi, bayangan, dan konsep pasangan tentang pernikahan masih berkutat di keindahan relasi saja, yang sebenarnya tidak sesuai dengan realita kehidupan pernikahan itu."
Saat masuk dalam pernikahan, keduanya mulai menunjukkan karakter yang sesungguhnya. Pasangan mulai kaget dan menyadari kalau kebiasaan pasangan tidak sesuai dengan ekspektasinya. Misalnya saja, istri jengkel karena suaminya selalu menekan pasta gigi dari tengah, bukan dari ujung seperti kebiasaannya. Atau, suami mulai kesal dengan kebiasaan istri yang selalu mandi dengan kondisi becek di kamar mandi kering mereka.
Masalahnya memang kecil, tapi jika bertubi-tubi dan tertimbun itu bisa memicu konflik di antara keduanya. Jika di masa empat tahun ini pasangan bisa melalui semua masalah, diperkirakan pernikahan mereka akan bisa stabil ke depannya. Namun jika sebaliknya, ketika mereka tidak bisa melaluinya dengan adaptasi yang baik, rumah tangga mereka akan bermasalah terus seumur pernikahan itu sendiri.
Realistic Love (4-8 tahun)
Di tahap ini, kedua pasangan mulai belajar lagi untuk menerima karakter pasangan mereka yang sesungguhnya, sadar akan perbedaan yang tak mereka perhatikan sebelumnya, memperdalam kemampuan komunikasi, belajar memahami dan mengungkapkan keinginan, kebutuhan, dan perasaan, mengembangkan strategi untuk berurusan satu sama lain, serta saling memberi dan menerima. Sudah ada negosiasi dan akomodasi.
Struggle Love (8-13 tahun)
Masuk dalam tahap di mana pasangan merasakan kebosanan dalam rumah tangga, karena ternyata usaha yang mereka lakukan di tahap sebelumnya tidak terlalu memenuhi harapan masing-masing.
Secara tak sengaja, mereka berusaha saling mengecewakan dan menyakiti karena perbedaan di antara mereka semakin jelas. Yang terjadi adalah sama-sama berusaha mengatur strategi untuk dapat mengendalikan suasana realistic love dalam rumah tangga, berusaha agar rumah tangga tidak hancur, dan banyak berkorban untuk pasangannya. Di sisi lain, mereka kerap saling menilai satu sama lain, mengkritik, membela diri sebagai yang paling benar, dan mereka juga mulai membuat kubu (otonomi) yaitu kubu kanan-kiri, baik-buruk, atau salah-benar.
Discovery Love
Usia kedua pasangan sudah tak muda lagi. Anak-anak pun sudah semakin besar dan dewasa. Kondisi ini membuat pasangan mulai mengonstruksi ulang tujuan mereka menikah, juga mulai melepaskan kemarahan dan rasa sakit hati. Mereka mulai menciptakan ikatan koneksi yang baru dengan kembali memperdalam komunikasi, kejujuran, dan mengembalikan kepercayaan pasangannya.
Dari semua masalah yang sudah dilalui, mereka belajar mengenal kekuatan dan kerentanan pasangan, mengidentifikasi dan berbicara tentang ketakutan mereka. Tidak ada lagi saling menghakimi atau menyalahkan, dan mereka menerjemahkan keluhan mereka ke dalam permintaan untuk perubahan. Ada keteguhan dalam hati mereka untuk menjadikan pasangan sebagai teman hingga akhir hayat. Konflik menjadi hal 'percuma' untuk dilakukan.
Mereka juga melihat pasangannya dengan cara yang baru dan menemukan keseimbangan baru dari keterpisahan dan kebersamaan, kemandirian, dan keintiman. Pikiran mereka menjadi lebih luas dan inklusif.
Dari tahapan di atas, kita menjadi tahu bahwa pernikahan merupakan proses yang kontinu, sama seperti ketika manusia mencari Tuhan, tidak pernah sampai. Berhasil atau tidaknya pernikahan itu, tergantung dari pasangan itu sendiri, mau atau tidaknya mereka belajar atau, "Mau make it work atau punya komitmen untuk mensukseskan pernikahan itu enggak? Kalau enggak ada komitmen pasti susah. Konfliknya tidak akan selesai dan akan terus membuat relasi pernikahan antar pasangan terganjal. Yang pasti, konflik itu bagus dan perlu dalam pernikahan, karena konflik memaksa pasangan untuk bertumbuh (ke arah yang baik) satu sama lain."
Ester Sondang
KOMENTAR