Setiap tanggal 23 Juli kita memperingati Hari Anak Nasional. Ada baiknya bila kita sejenak merenung, sebagai orang tua, sudahkah kita memenuhi hak-hak si kecil?
Mengacu pada Konvensi Hak Anak yang diberlakukan secara internasional oleh PBB sejak 1990, ada 4 hak dasar anak yang wajib dipenuhi orang tua, yaitu hak untuk hidup (survival), hak berkembang (development), hak mendapat perlindungan (protection), dan hak berpartisipasi (participation).
Indonesia pun sudah meratifikasi keempat hak dasar itu, namun masih saja banyak orang tua yang tak memahaminya, sehingga pelanggaran terhadap hak-hak anak pun kerap terjadi. Sayangnya, perangkat hukum di negeri kita masih lemah. Bahkan, undang-undang perlindungan anak saja, masih dalam bentuk rancangan. Tak heran bila kasus pelanggaran hak anak baru diperkarakan setelah menelan korban.
Tapi sebagai orang tua, kendati kita tak hapal secara persis apa saja hak-hak anak, toh, kita punya perasaan, naluri, dan akal sehat. Jadi, tanpa harus lebih dulu ada aturan hukumnya, sudah seyogyanya kita memberikan yang terbaik untuk anak. Bukan begitu, Bu-Pak? Nah, berikut ini jabaran keempat hak dasar anak seperti yang dipaparkan Rahmitha P. Soendjojo, konselor pada DIA/YKAI, Jakarta dan Irwanto, Ph.D, peneliti senior di PKPM Unika Atma Jaya, Jakarta.
1. HAK PANGAN
Minimal anak diberi makanan bergizi 3 kali sehari, bukan sekadar makan atau jajan junk food hanya lantaran orang tua tak mau repot masak. Bahkan sejak di kandungan, pun anak" berhak mendapatkan makanan bergizi, terlebih setelah lahir. Penting diketahui, bayi berhak mendapatkan ASI karena ASI merupakan makanan terbaik. Kecuali kondisi ibu memang benar-benar tak memungkinkan untuk memberi ASI semisal sakit, tak ada alasan apapun untuk tak memberi ASI pada bayi. Apalagi ASI tak pernah habis karena payudara punya "pabrik" ASI, namun banyaknya ASI yang keluar tergantung dari rangsangan bayi.
Jadi, kalau bayi jarang menyusu ASI, otomatis produksi ASI akan berkurang; sebaliknya bila bayi sering menyusu, produksi ASI pun meningkat. Kala anak sulit makan, jangan orang tua malah heboh menjejalinya dengan berbagai vitamin yang dikatakan bisa menambah nafsu makan. Bujuklah dan cari tahu mengapa ia tak mau makan; mungkin ia bosan dengan makanan yang itu-itu saja atau ia tengah sakit semisal radang tenggorok. Bukankah penyakit tersebut kerap membuat anak ogah makan lantaran sakit saat menelan?
2. HAK SANDANG
Tentunya sandang yang layak. Bukan berarti harus baju bermerek, mahal, dan mewah, lo. Tak guna mahal bila baju itu kesempitan, misal, karena akan membuat anak tak leluasa bergerak. Bukankah di usia balita anak tengah aktif-aktifnya? Nah, kalau geraknya terhambat, tentu akan menghambat perkembangannya pula. Yang penting, utamakan kerapihan dan kebersihan. Biasakan pula agar anak selalu mengenakan pakaian secara sopan dan pantas.
3. HAK TEMPAT TINGGAL
Maksudnya, tempat tinggal yang layak. Sayang, sistem perumahan untuk masyarakat kalangan bawah masih sangat memprihatinkan; sumpek, kumuh, dan bahkan tanpa kamar hingga orang bisa bebas keluar masuk. Idealnya, anak lelaki dan perempuan dipisah kamar tidurnya. Minimal, untuk mengajarkan nilai-nilai privasi. Jika tak memungkinkan, entah dari ruang atau lahan maupun kemampuan ekonomi, minimal pisahkan tempat tidurnya saja, deh.
4. HAK PELAYANAN KESEHATAN
Setiap anak berhak mendapat prioritas dalam pelayanan kesehatan dan memperoleh standar pelayanan kesehatan medis berupa imunisasi untuk pencegahan dan rehabilitasi untuk pengobatan/penyembuhan. Bahkan, sejak di kandungan dengan calon ibu memeriksakan kehamilannya minimal 4 kali. Setelah lahir, kebersihan lingkungan harus dijaga agar jangan sampai jatuh sakit. Makanannya pun harus diperhatikan agar tak kekurangan gizi. Di tingkat yang lebih luas seperti RW dan kelurahan maupun rumah sakit, pemerintah bahkan wajib menyediakan sarana kesehatan dasar semisal Posyandu dan segala perangkatnya, hingga angka kematian bayi dan anak bisa ditekan serendah mungkin.
5. HAK PENDIDIKAN DAN MENGEMBANGKAN DIRI
Setiap anak berhak untuk sekolah, namun dalam mencari sekolah, jangan hanya mempertimbangkan gengsi atau kedekatan jarak. Carilah yang sesuai dan layak, terutama dari segi kualitas agar anak bisa mengembangkan semua potensi yang dimilikinya. Anak juga berhak mengikuti kegiatan di sekolah, termasuk les tambahan bila perlu. Orang tua pun harus memperhatikan keinginan, minat, dan bakat anak dalam menentukan sekolah.
Kalau tidak, jelas merupakan pelanggaran karena setiap anak berhak mengembangkan diri sesuai potensinya. Misal, orang tua yang berprofesi dokter lantas menuntut anaknya juga dokter. Jika hanya sebatas mengarahkan dan si anak akhirnya pun suka, ya, enggak apa-apa. Orang tua juga perlu mewaspadai ambisi pribadinya yang tak kesampaian di masa lalu, karena biasanya anaklah yang dijadikan sasaran. Misal, orang tua bercita-cita jadi atlet renang tapi enggak kesampaian, maka anaknya sejak dini sudah dikursuskan renang padahal si anak minatnya di bidang tarik suara. Nah, itu, kan, enggak betul.
Harus pula diperhatikan anak-anak gifted atau berbakat maupun anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti penyandang autisme, tunanetra, tunarungu, tunagrahita, ataupun anak-anak dengan kelainan dan penyakit tertentu. Tentu pemerintah pun punya kewajiban sama agar tak ada diskriminasi antara anak normal dan berkelainan. Ingat, setiap anak punya hak mendapatkan pendidikan, tak peduli ia normal atau berkelainan. Begitu pun dalam hal perbedaan gender, ras dan agama.
Makanya, anak harus diajarkan mengenai nilai-nilai dan sistem kebudayaan hingga ia bisa mengerti dan menghayati perbedaan-perbedaan tersebut. Salah besar jika orang tua mengajari anak bersikap eksklusif atau memisahkan diri dari temannya yang bersuku bangsa dan beragama lain atau berlatar belakang ekonomi beda. Anak harus bisa bergaul dengan siapa saja dan harus bisa respek terhadap perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Pembedaan menurut gender laki-laki dan perempuan dalam urusan segala bidang juga harus dikikis. Harus ditumbuhsuburkan bahwa seluruh pekerjaan tak membedakan jenis kelamin. Jadi, tak benar bahwa anak lelaki yang mencuci, memasak, atau pergi ke pasar itu kelak memiliki kepribadian menyimpang. Baik anak lelaki maupun anak perempuan mempunyai hak yang sama, bukan?
6. HAK MENDAPAT PERLINDUNGAN
Ada 4 jenis hak anak untuk mendapatkan perlindungan, yaitu fisik, emosional, seksual, dan penelantaran.
* Perlindungan Fisik Jangan pernah memukul apalagi menganiaya anak. Bahkan, menjewer dan mencubit dengan alasan menegakkan disiplin pun tak dibenarkan. Justru disiplin akan efektif bila menggunakan sistem reward dengan memberi respon positif pada setiap hal baik yang sudah dilakukan anak.
* Perlindungan Emosional Jangan memaki-maki anak, menjulukinya dengan sebutan-sebutan negatif, ataupun ungkapan verbal lain yang bersifat melecehkan. Apalagi di usia balita, anak belum paham perilakunya tak benar di mata orang dewasa. Jangan pula menjadikan kemarahan yang meluap, kondisi fisik yang lelah luar biasa, ataupun hubungan yang tak harmonis dengan pasangan/mertua sebagai alasan "memusuhi" anak. Dampaknya buruk sekali, lo, Pak-Bu, buat si kecil. Lama-lama anak akan merasa dirinya tak berguna dan jadi beban.
* Perlindungan Seksual Jangan memperlakukan tubuh anak seperti barang mainan, sekalipun hal itu dilakukan dengan maksud bergurau. Ingat, tubuh adalah bagian penting yang masuk kategori wilayah pribadi. Jadi, harus dijaga dan dihormati. Anak pun sejak kecil harus diajarkan untuk menghormati dirinya sendiri hingga ia bisa belajar menghormati orang lain. Beberapa cara untuk memberikan perlindungan secara seksual, yakni: 1) ajarkan cara-cara menolak perlakuan buruk terhadap tubuhnya, termasuk sentuhan-sentuhan pada daerah-daerah tertentu seperti alat kelamin dan payudara; 2) jangan biarkan ia keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang, minimal ditutup rapat dengan handuk; 3) jelaskan batas nyaman-tak nyaman dan aman-tak aman, misal, hanya boleh cium tangan dan pipi tapi lainnya tidak; 4) jelaskan pula perbedaan ciuman dan pelukan sebagai ungkapan kasih sayang, persahabatan, ekspresi kebanggaan, atau justru nafsu; 5) biasakan tidur di kamar dengan gorden tertutup rapat dan pintu terkunci, ajarkan mengenakan piyama atau selimut yang tak memungkinkannya mengumbar paha atau dada; 6) ajarkan untuk menyebut alat kelaminnya dengan nama yang benar, penis untuk lelaki dan vagina untuk perempuan.
* Perlindungan Dari Penelantaran Hak yang satu ini kerap diabaikan orang tua dari masyarakat marginal dimana anak-anak dan bahkan bayi dieksploitasi jadi pekerja semisal pengemis/pengamen jalanan. Sementara di kalangan masyarakat berada, penelantaran terjadi dalam bentuk, misal, membiarkan bayi bermain sendiri di boksnya, tak disapa, apalagi diajak bermain. Bahkan, saat disuapi pun disambi dengan keasyikan membaca atau menonton TV.
7. HAK BERMAIN
Setiap anak berhak untuk bermain dan menikmati leisure time-nya. Anak-anak korban ambisi orang tua atau yang tereksploitasi karena kondisi ekonomi harus bekerja pada usia dini hingga tak sempat bermain dengan teman-teman sebayanya adalah contoh anak-anak yang kehilangan hak bermain. Padahal, dengan bermain tak hanya menyenangkan anak, juga mengembangkan sosialisasi, kreativitas, dan potensinya.
8. HAK BERPARTISIPASI
Hak yang satu ini paling sering diabaikan orang tua karena menganggap anak kecil tak tahu apa-apa. Padahal, meremehkan anak sama dengan melecehkan. Ingat, pelecehan adalah pelanggaran hak anak untuk mendapatkan perlindungan secara emosional. Sudah seharusnya sejak kecil anak diperkenalkan dengan haknya untuk berpartisipasi; dari menawarkan atau memberikan pilihan makanan dan pakaian sampai aktivitas yang ingin dilakukannya.
Orang tua harus belajar menghargai pilihan anak, sekalipun pilihannya keliru/salah. Namanya juga anak, kan, sedang dalam proses belajar. Tugas orang tualah untuk mengarahkannya. Jadi, jangan pernah mendudukkan anak sebagai objek, melainkan subyek. Bila kita sudah belajar melihat seperti itu, kita juga akan peka apakah yang sedang saya bicarakan ini merupakan keinginan saya atau keinginan anak saya. Pendeknya, Bu-Pak, dalam membesarkan anak, kita harus selalu menempatkan diri pada posisi anak. Bila sesuatu kita lakukan memang benar-benar untuk kepentingan anak, maka lakukanlah. Kalau tidak, ya, jangan, dan jelaskan kepadanya mengapa hal tersebut tak kita lakukan. Dengan begitu, kecil sekali kemungkinannya kita akan mengabaikan hak-hak anak dan anak pun bisa berkembang optimal.
MAMA NYESEL, DEH, NGELAHIRIN KAMU."
Pernah, kan, mendengar ungkapan tersebut kala orang tua begitu putus asa menghadapi anaknya yang rewel atau menangis terus-menerus? Kendati diucapkannya tanpa sengaja, namun tetap merupakan pelanggaran hak anak. Sama halnya dengan ungkapan, "Dasar kamu anak yang enggak tahu diuntung. "Ingat, lo, anak pada hakekatnya tak pernah minta dilahirkan dan sudah menjadi kewajiban orang tua untuk membesarkannya," tutur Rahmitha. Sekalipun orang tua sejak awal tak pernah menginginkan sang anak, entah lantaran "kebobolan" atau ada sebab lain, namun jangan pernah menjadikan anak sebagai korban. Kasihan, kan, si kecil yang tak salah apa-apa.
KEWAJIBAN ANAK
Anak bukan cuma punya hak, tapi juga kewajiban. Jadi, ia bukan hanya dipenuhi haknya, tapi juga harus melaksanakan kewajibannya. Misal, kewajiban terhadap makanan, ia tak boleh mengacak-acak makanan atau membuang-buang makanan hingga tak jadi barang mubazir; cuci tangan sebelum tangan, kewajibannya menjaga kesehatan; wajib menjaga kebersihan rumah; wajib belajar dan menunjukkan prestasinya di sekolah; dan sebagainya. Nah, tugas orang tualah untuk mengajari anak tentang apa saja kewajibannya.
ORANG TUA PAMRIH
Ada, lo, orang tua yang menuntut balas budi setelah si anak dewasa dan bekerja, entah dengan terang-terangan mengharuskan anaknya memberikan sejumlah uang setiap bulan ataupun melontarkan kata-kata bernada sindiran ketika si anak tak memberikannya. "Ini jelas pelanggaran hak!" tegas Rahmitha. "Lain hal bila pemberian tersebut merupakan bentuk apresiasi anak kepada orang tua," lanjutnya. Jadi, Bu-Pak, ingat-ingat, ya, kala sang buah hati nanti sudah jadi "orang", jangan pernah menuntutnya mengembalikan "modal" yang telah Ibu-Bapak keluarkan untuk membesarkan dan menyekolahkannya.
Julie/Th. Puspayanti
KOMENTAR