Yang penting, jangan lupa bawa cadangan obat. Namun kalau mau aman, tunggu sampai imunisasinya komplet dulu. Ingat, bayi masih rentan terhadap penyakit.
Menurut Dr. H.M.V. Ghazali, MBA, MM, jika tak mendesak sekali, sebaiknya bayi tak usah diajak bepergian. "Tunda saja dulu sampai bayi mendapat vaksinasi lengkap," ujar spesialis anak di Kids World ini. Lain hal bila keadaannya mendesak semisal harus mengunjungi nenek yang sakit keras dan si kecil tak bisa ditinggal karena menyusu ASI, "ya, boleh-boleh saja."
Soalnya, bayi masih rentan terhadap penyakit. Terlebih bila ia diajak pergi di hari raya, Belum lagi saat berada di kendaraan umum, entah kereta api atau kapal laut, misal, ia ketemu banyak orang yang kita tak tahu bagaimana kondisi mereka. Nggak bisa dipastikan, kan, kalau mereka sehat semuanya? Belum lagi sesampainya di tempat tujuan pasti si kecil diboyong sana diboyong sini, dicium sana dicium sini; sementara kita tak tahu apakah orang yang mencium si kecil itu sehat atau tidak. Nah, bila si kecil belum divaksin, kan, jadi repot.
Jadi, Bu-Pak, relatif lebih aman bila si kecil sudah komplit vaksinnya. Paling tidak, sebelum mengajak si kecil bepergian, kita buka lagi catatan imunisasinya; apa saja vaksin yang sudah diperolehnya. Misal, Lebaran tinggal 2 bulan lagi. Berarti usia si kecil pada saat itu sudah 7 bulan, misal. Nah, pada usia ini, imunisasinya sampai di mana. Dengan demikian, kita bisa mengira-kira si kecil akan tahan terhadap penyakit apa. "Minimum, bila sudah divaksinasi, daya tahan tubuhnya sudah ada," tegas Ghazali.
PREDIKSI PENYAKIT
Namun sebelum pergi, anjur Ghazali, sebisa mungkin prediksikan segala sesuatu yang menyangkut kesehatan si kecil. Sayang, kan, Bu-Pak, bila tujuan pergi ingin bersenang-senang ternyata buyar di tengah jalan karena tiba-tiba si kecil kurang sehat. "Ada dua kriteria penyakit yang perlu diwaspadai, yaitu penyakit umum dan penyakit spesifik."
* Penyakit Umum
Salah satu penyakit umum yang bisa diprediksi adalah diare. Soalnya, perlakuan terhadap si kecil selama bepergian tak akan sebersih dengan apa yang dilakukan di rumah. Misal, kita biasanya mencuci botol/dot dengan air panas. Nah, di perjalanan belum tentu tersedia air panas. Belum lagi selama di perjalanan biasanya si kecil juga sulit memperoleh makanan seteratur seperti biasanya, hingga berat badannya mungkin turun sepulang dari bepergian.
Kemudian saat di kendaraan umum, si kecil pasti ada kontak dengan banyak orang hingga bisa terkontaminasi. Bukankah kita tak tahu bagaimana kondisi orang-orang dalam kendaraan; apakah sehat semua atau tidak? Namun biasanya bayi mudah terserang penyakit yang gampang ditularkan melalui udara seperti batuk, pilek, atau flu. Selain itu, karena capek saat pergi, biasanya dalam perjalanan banyak bayi yang menderita panas.
Hal ini berarti, kita perlu membawa cadangan obat diare, obat batuk pilek, dan obat kejang yang dilengkapi anti step.
* Penyakit Spesifik
Kita pun harus tahu penyakit si kecil yang spesifik semisal ada turunan alergi, asma, atau gangguan saluran cerna, hingga kita bisa menyediakan obatnya. Jadi, walaupun sama-sama naik kereta, misal, namun ibu A tahu anaknya ada asma hingga sudah membawa obat cadangan asma; sedangkan ibu B tidak karena anaknya enggak asma. Dengan demikian, pengetahuan kita terhadap si kecillah yang akan membedakan risiko yang dihadapi.
Namun apa obatnya, tentu yang paling tahu adalah dokter yang biasa menangani si kecil. Jadi, kita perlu berkonsultasi pada si dokter sebelum pergi. Bila tidak, kalau ada apa-apa di jalan, belum tentu dokter lain dapat memberikan jenis obat dengan dosis yang sama persis dan langsung cocok pada si kecil.
Misal, si kecil alergi terhadap makanan A. Dokter akan menyiapkan cara pencegahan yang perlu dilakukan sampai memberikan obat yang cocok. Contoh lain, asma merupakan penyakit sangat individual. Maksudnya, walaupun seseorang sama-sama punya bakat asma tapi obatnya bisa berbeda-beda. Dokter yang sudah biasa menangani si kecil akan meresepkan obat asma yang cocok dengan dosis yang pas.
Begitu pun bila si kecil punya masalah saluran cerna. Kalau ketemu zat makanan tertentu, ia mengalami diare. Ini juga butuh penanganan tertentu, misal, makanannya harus khusus. Bila sampai diare, obatnya juga harus khusus.
KONSULTASI KE DOKTER
Tentunya, untuk memperoleh cadangan obat bagi penyakit-penyakit umum pun, sebaiknya si kecil dibawa berkonsultasi ke dokter, ketimbang membeli obat bebas. Soalnya, terang Ghazali, tiap berat badan dan usia bayi punya dosis sendiri. "Bila kita beli obat yang sudah bebas dijual tentu istilahnya seperti membeli baju kodian, ukuran yang ada hanya L, M, dan S." Namun bila kita datang ke dokter dan memintanya membuat resep cadangan untuk panas, misal; dia akan menghitung berapa usia dan berat badan si kecil, lalu dihitung berapa obat penurun panasnya, berapa anti stepnya, yang kemudian digabung menjadi puyer atau sirop. "Jadi, obat itu dibuat sesuai si bayi. Ibaratnya bila kita membuat baju tailor made." Selain itu, kalau membeli obat demam yang dijual, belum ada obat anti step, misal.
Jangan lupa berterus terang pada si dokter bahwa obat tersebut akan digunakan sebagai cadangan saat bepergian, hingga dokter bisa tahu apakah cadangan obat batuk dan panas, misal, dapat digabung. "Bila tak diterangkan, nanti bisa saja ada komponen yang di obat panas juga ada di obat batuk. Misal, pada obat panas mengandung komponen A, padahal itu juga ada di obat lain, karena dokter tak tahu bahwa nanti akan dipakai secara bersamaan." Ini berati, kita pun harus menanyakan apakah obat-obat itu dipakai bareng atau tidak, ya, Bu-Pak.
Tak kalah penting, informasikan juga kapan kita dan si kecil berangkat agar dokter bisa menghitung usia si kecil saat menghitung racikan obat. Beri tahu juga berapa lama kita dan si kecil pergi, agar dokter tahu jumlah cadangan obat yang mesti disediakan; apakah 10, 20, atau 30 bungkus.
PIKIRKAN KENDALANYA
Jangan lupa, Bu-Pak, tanyakan kapan cadangan obat tersebut perlu dibeli; sebelum berangkat atau nanti sewaktu kejadian. Dengan kata lain, apa perlu kita hanya membawa resep saja lalu dibeli di tempat tujuan bila si kecil sakit. Semua ini harus dipertimbangkan benar-benar.
Bila kita memutuskan menebus resep di tempat kejadian, perlu dipikirkan kendala yang akan dihadapi. Misal, kita ingin pergi ke luar negeri. "Kalau hanya membawa resep, belum tentu resep itu akan laku di sana. Jadi, percuma, kan?" bilang Ghazali. Atau sebaliknya, kita mau pergi ke suatu desa yang agak terpencil di dalam negeri, "belum tentu obat yang dibuat si dokter ada di desa kecil tersebut karena obatnya spesifik." Misal, dokter membuat obat yang spesifik, katakanlah karena si bayi punya bakat epilepsi, hingga obat demamnya ada anti epilepsinya. Nah, ini, kan, agak khsusus; ada enggak obatnya di sana?
"Jadi, belum tentu semua resep bisa dibeli di tempat kejadian." Kecuali bila kita pergi ke Surabaya, menurut Ghazali, bisa saja resepnya ditebus di sana. "Surabaya dan Jakarta, kan hampir sama Surayaba karena juga kota besar." Dengan demikian, kita juga perlu memberi tahu dokter, kota tujuan pergi. Biasanya dokter mengetahui kota-kota mana yang relatif lengkap obat-obatannya dan kota mana yang relatif sulit.
Lain hal bila dokter menulis resep obat umum yang pasti ada di mana-mana, barulah kita bisa hanya membawa resep saja.
Untuk mempermudah bila di tempat kejadian terjadi kendala, tanyakan pada dokter, apakah ia bisa ditelepon sewaktu-waktu. Namun harus diketahui juga, tak semua dokter ketika dihubungi ada di tempat. Jikapun ada handphone, tak semua handphone bisa lancar dihubungi. lo.
PERTIMBANGAN EKONOMIS
Sebaliknya, bila kita memutuskan membeli obat sebelum pergi, ada pertimbangan ekonomisnya. "Mungkin obat tak akan terpakai. Memang bisa, sih, disimpan, tapi apakah dosisnya masih benar karena mungkin dalam jangka waktu itu berat badan si bayi sudah tak sesuai lagi. Usianya juga sudah berbeda. Jadi, sudah enggak tailor made lagi hingga harus dipikirkan juga bahwa obat ini ada risiko tak terpakai yang akhirnya harus dibuang juga," papar Ghazali.
Jadi, secara ekonomi ada kemungkinan kita cuma buang-buang uang jika membeli obat sebelum pergi. Namun bila tak dibeli, kita perlu pikirkan berapa risiko yang akan ditanggung. Bila si kecil tiba-tiba sakit, lalu malam-malam kita harus keluar, belum tentu ada apotik yang buka, kan? Jikapun buka, apotiknya belum tentu bagus dan belum tentu juga ada obat yang dibutuhkan si kecil. Atau, bila harus cari dokter untuk minta resep, belum tentu obatnya cocok. Kenyamanan akan terganggu, bukan? Kita juga rugi karena sudah mengeluarkan uang untuk pergi, tapi tujuannya enggak tercapai. Jadi, hitung saja cost-nya, mana yang lebih kecil. Jika semuanya meragukan, "beli saja sebelum berangkat," saran Ghazali.
Bagaimanapun, semuanya terpulang kepada kita sendiri sebagai orang tua si bayi karena kitalah yang seharusnya lebih tahu akan kondisi si kecil. Bukan begitu, Bu-Pak? Hingga kita tak perlu memaksa diri membawa si kecil bepergian bila memang tak betul-betul penting. Atau, bila kita tetap mengajaknya, kita pun jangan sampai keliru memilih hanya gara-gara pertimbangan ekonomis semata hingga tak membeli obat cadangan sebelum pergi.
KENDARAAN YANG AMAN
Menurut Ghazali, sulit untuk menentukan jenis kendaraan yang paling aman buat si kecil. Misal, kita memutuskan naik kereta api. "Bila jaraknya pendek, maka waktu tempuhnya akan sebentar. Namun bila jaraknya jauh, tentu waktu tempuhnya juga lama. Ini berarti bayi punya risiko terterpa penyakit juga."
Begitu pun bila naik kapal laut, misal. Kalau sampai kehabisan karcis hingga si kecil harus ramai-ramai di kapal laut, "kan, berisiko terterpa penyakit juga." Lain hal bila kebagian karcis, kita bisa punya kamar sendiri. Hingga, kendati perjalanan makan waktu 3 hari, misal, namun aman buat si kecil karena suasananya seperti di rumah. Jadi, Bu-Pak, semakin si kecil terisolir di perjalanan akan semakin baik.
Akan halnya pesawat terbang, "sama saja dampaknya jika bayi tak terisolir." Penting pula diperhatikan gendang telinga si kecil agar tak sakit saat pesawat landing ataupun take off. "Buatlah agar saluraan dari rongga telinga tetap terbuka." Caranya gampang, kok, Bu-Pak. Biarkan si kecil mengedot atau mengenyot sesuatu.
BILA KE LUAR NEGERI
* Pilih kemasan obat yang praktis; bisa berbentuk puyer atau sirop, yang penting cocok untuk si kecil dan mudah membawanya. Bila memilih sirop, jangan pilih kemasan dari botol kaca karena mudah pecah.
* Perhatikan negara mana yang jadi tujuan. Soalnya, terang Ghazali, tak semua negara membolehkan masuknya obat-obatan. "Biasanya kita akan terjegal di imigrasi." Ada, lo, negara yang memuat peraturan, obat tak boleh dibawa masuk tapi harus ditinggal di imigrasi, misal.
Ini juga berlaku dalam hal susu. Misal, si kecil cocok dengan suatu merek susu yang ada di Indonesia, lalu kita membawa sejumlah susu yang disesuaikan dengan lamanya di sana. Namun ada negara yang tak mau dimasuki produk luar agar tak terkontaminasi, hingga mereka minta agar susu tersebut diganti dengan merek yang ada di negaranya. Kalau sudah begini, kan, repot. Bukankah bayi tak mudah berganti-ganti susu?
Faras Handayani
KOMENTAR