Kalau bicara soal cucu, kakek dan nenek nyaris selalu punya citra negatif. Mereka dianggap "merusak" disiplin yang ditanamkan orangtua. Padahal, tak selalu begitu, lo.
"Cuma segitu saja, kok, ndak boleh. Kasihan, dong, ini ndak boleh itu ndak boleh," begitu biasanya ungkapan para kakek-nenek kala orangtua sedang menerapkan aturan pada si buyung. Alhasil, tak jarang orangtua si anak dibuat jengkel oleh "campur tangan" sang eyang pada para cucunya. Para eyang pun kerap dituding sebagai "perusak" disiplin yang ditanamkan orangtua pada anak-anaknya. Tapi betulkah citra kakek dan nenek seburuk itu?
"Banyak juga, kok, positifnya. Pemanjaan berlebihan para kakek-nenek terhadap cucunya, tak semuanya negatif," kata psikolog Ieda Poernomo Sigit Sidi.
Bahkan menurut Ieda, di Jakarta, di mana pasangan suami-istri kebanyakan bekerja, "Justru kakek-nenek bisa menjadi alternatif. Mereka bisa jadi pelabuhan, penyeimbang dari kekosongan yang dihadapi anak karena orangtuanya sibuk." Kasih sayang para eyang, jelas Ieda, juga bisa menjadi alat penetralisir jika kebetulan orangtua si anak bersikap amat keras dalam menerapkan disiplin.
Di sini, kakek dan nenek bisa menjadi penyeimbang yang menyejukkan. Dengan kata lain, anak punya peluang lain. "Capek, kan, terus-menerus ditekan, harus disiplin. Itulah mengapa saya katakan, pada saat-saat tertentu sikap kakek-nenek ini ada positifnya juga. Sebab, anak, kan, perlu keseimbangan. Kalau ia ditekan terus dengan kewajiban, maka hidupnya penuh beban."
Tentu saja, kakek-nenek harus bisa memilah kelonggaran yang diberikan. Yaitu, hanya pada sesuatu yang tidak prinsip. Misalnya, si buyung sesekali ingin tidur di depan teve. "Kalau itu bukan sesuatu yang prinsip, boleh-boleh saja diberi kelonggaran." Tentu saja sang nenek harus tetap mengingatkan, "Kamu tahu, kan, maksud ibumu melarang tidur di depan teve? Karena kamu, kan, punya kamar sendiri." Dengan demikin, peraturan dari orangtua tidak gugur.
ALTERNATIF
Kedekatan antara kakek-nenek dengan cucu, lanjut Ieda, sebetulnya bisa digunakan untuk memberi masukan ke orangtuanya bila si kecil tak berani mengungkapkan keinginan-keinginannya pada ayah dan ibunya. Kedekatan ini bisa berlangsung hingga si cucu dewasa. Terutama jika kakek-nenek bisa menjadi curahan hati si cucu. "Tapi kalau anak dekat dengan orantuanya, ia tak terlalu memerlukan eyangnya untuk tempat curahan hati. Lain jika ia tak dekat dengan orangtunya. Nah, di sini kakek-nenek bisa menjadi alternatif lain. Itulah segi positifnya."
Hal positif lain, kasih sayang dari kakek-nenek, bisa melatih si kecil akan arti kasih sayang. Untuk bisa menyayangi anak harus merasa disayangi dulu. "Ia perlu dilatih, barulah bisa membalas memberikan kasih sayang. Nah, kakek-nenek adalah orang yang pas. Bahkan bisa memberikan secara berlimpah."
Menurut Ieda Poernomo, campur tangan kakek-nenek yang dianggap negatif adalah bila mereka langsung membela si cucu sambil mendiskreditkan orangtua di depan si anak. Misalnya, "Kenapa, sih, enggak boleh? Kamu dulu lebih bandel dari itu!"
BEDA KEPENTINGAN
Mengapa sikap kakek-nenek kepada cucu berbeda dengan orangtuanya? Ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Sebagai orangtua, ayah dan ibu berkepentingan terhadap masa depan anaknya. Sedangkan kakek-nenek, kepentingan untuk menjadikan si cucu sebagai pribadi mandiri, tetap ada meski secara tak langsung. Pada para eyang, terdapat lebih banyak unsur kelegaan karena telah mengantar putra-putrinya hingga dewasa, menikah, dan memberinya cucu. "Bagi mereka, cucu ibarat simbol keberhasilannya mendidik anak. Itulah sebabnya kehadiran cucu dianggap lebih banyak sebagai kebanggaan dan kegembiraan sehingga kasih sayang pada si cucu amat besar bahkan cenderung berlebihan."
KOMENTAR