Jika cuma sekadar "cuci mata", tak perlu dirisaukan. Tapi jika sudah menjurus ke arah perselingkuhan, bisa mengancam keutuhan perkawinan.
Menurut Zainoel B. Biran, jika mata keranjangnya hanya sekadar kegemaran "cuci mata", tak bakalan mengancam keutuhan perkawinan. Malah, bisa dijadikan bahan guyon atau topik pembicaraan di antara suami-istri yang bersifat mengakrabkan hubungan. Misal, istri mancing dengan canda, "Tuh, cewek cakep di seberang jalan! Sini, biar aku yang pegang setir daripada kita celaka karena Papa meleng." Suami pun bisa dengan enteng membalas guyonan istrinya, "Mana? Mana?", sambil mencari-cari atau malah menimpali, "Selera Mama payah, ah! Masak, sih, segitu dibilang cakep?"
Namun untuk bisa bersikap santai seperti itu, kata Bang Noel, begitu sapaan akrab psikolog sosial dari Fakultas Psikologi UI ini, dituntut kematangan emosi dan jiwa alias mampu membangun kemampuan berpikir positif. "Jangan malah belum apa-apa sudah curiga duluan. Atmosfir penuh kecurigaan dalam keluarga hanya akan membuat suasana rumah jadi penuh ketegangan." Menurutnya, kalau hubungan pribadi antara suami-istri sudah ditandai dengan kecurigaan-kecurigaan, apa pun yang dilakukan suami atau istri pasti bakal mencurigakan pasangan. Tak heran bila perasaan-perasaan negatif yang justru mendominasi.
JANGAN UMBAR EMOSI
Meski relatif aman, tak berarti suami lantas bebas mengumbar perilaku mata keranjangnya, lo. Soalnya, perilaku ini umumnya justru mengundang kejengkelan/kemarahan istri. Terlebih bila dilakukan terang-terangan di depan umum. Hingga, bukan tak mungkin istri malah jadi "meledak".
Tentu sah-sah saja bila istri jengkel atau bahkan marah atas perilaku suaminya itu. Namun, saran Bang Noel, janganlah sampai mengumbar emosi. "Buat apa? Cuma buang-buang energi saja, kok!" Selain itu, sikap istri yang meledak-ledak, menurut ayah 2 putra dan kakek seorang cucu ini, justru mencerminkan ketakutan/kekhawatirannya. "Dia enggak yakin pada dirinya sendiri maupun mempercayai kesungguhan cinta suaminya. Padahal, bagaimana reaksi istri terhadap perilaku mata keranjang suaminya, amat tergantung dari hubungan suami-istri itu sendiri, yaitu seberapa jauh kepercayaan yang terbangun di antara mereka."
Kalau hubungan di antara suami-istri oke-oke saja dan tak ada masalah serius, menurut Bang Noel, perilaku mata keranjang begini malah akan jadi bumbu penyedap bagi perkawinan, lo. Sebaliknya, keadaan jadi tambah runyam kalau hubungan mereka diwarnai kecurigaan, yang lalu diperparah oleh cemburu buta, sikap posesif dan sejenisnya. Padahal, "apa mata keranjang itu suatu bentuk kesalahan yang tak termaafkan? Apakah juga semua lelaki mata keranjang lantas berpeluang jadi peselingkuh? Belum tentu, kan?"
Pasalnya, tutur Bang Noel, mata keranjang itu sendiri amat susah didefinisikan mengingat artinya bisa sangat luas. Selain ada gradasi atau tingkatan tersendiri, dari mata keranjang yang hanya gemar lihat sana-sini alias jelalatan, sampai kategori mata keranjang yang ingin berbuat lebih jauh. Mata keranjang pola terakhir inilah yang patut diwaspadai karena bisa membahayakan keutuhan perkawinan. "Biasanya istri mampu membedakan perilaku mata keranjang suaminya yang hanya sebatas menikmati 'pemandangan' dengan yang sudah menjurus. Hanya saja, seberapa jauh kemampuan si istri mengenali suaminya."
Sebabnya, yang bersangkutan bukan lagi sebatas menyimpan keinginan untuk menikmati pemandangan indah seperti halnya memandang bunga dan keindahan alam. Melainkan sengaja secara aktif terus mengejar, mendekati, bahkan kemudian memacari dan seterusnya. Kalau sudah kelewat jauh begini, tegas Bang Noel, harus dipertanyakan benarkah mata keranjang atau sudah tergolong "doyan". Sayangnya, orang kerap menggeneralisasikan mata keranjang sampai tingkat yang parah ini. "Padahal, kan, enggak selalu begitu."
CIPTAKAN KOMUNIKASI HANGAT
Untuk mengurangi ketegangan suami-istri, saran Bang Noel, tak ada salahnya si mata keranjang mencoba mengerti kejengkelan pasangannya. Caranya? Tak lain dengan mencoba mengerem dan setidaknya aware terhadap dorongan sesaat yang muncul seketika pada dirinya tiap kali melihat "pemandangan" indah tadi, termasuk bila istri terlihat adem ayem menanggapi perilakunya.
Soalnya, "Ini, kan, masalah kepantasan, ya, harap tahu diri sajalah. Dalam arti, renungkan berapa usianya, sedang berada di mana, dan apa statusnya. Kalau masih lajang, sih, enggak ada yang ngelarang,kok," bilang Bang Noel. Jangan malah berlagak munafik, berkilah 1001 alasan untuk menutupi perilaku buruknya, "Mama begitu saja, kok, cemburu? Papa enggak ngelirik cewek, kok, cuma lagi baca papan reklame di sebelah perempuan itu." Nah, kalau cara-cara kerdil semacam ini yang biasa digunakan, jangan heran bila masalah takkan pernah terselesaikan.
Tentunya, hubungan dalam keluarga pun harus dibangun secara terbuka dengan menciptakan komunikasi hangat. Di sinilah pentingnya kebersamaan dalam keluarga untuk menangkal segala bentuk kecurigaan dan pikiran negatif. Jadi, saran Bang Noel, jangan sampai keutuhan keluarga terkoyak hanya karena kesibukan masing-masing. "Sesibuk apa pun, pertemuan dan kebersamaan antar anggota keluarga harus tetap diupayakan, karena hanya keluarga yang bisa dijadikan pegangan sekaligus support di saat kita menghadapi kesulitan." Selain itu, keterbukaan dan kehangatan dalam keluarga memungkinkan masing-masing anggota mengutarakan sesuatu yang dirasa enggak sreg atau bahkan mengganggu.
Lain cerita, kalau si mata keranjang memang cenderung mengumbar dorongan sesaat hingga tak mampu menjaga perasaan pasangan, "boleh jadi ia tak sungguh-sungguh punya cinta pada pasangannya. Padahal, unsur cinta harusnya juga mencakup keintiman atau kedekatan hubungan secara psikologis, passion dan komitmen. Bila cintanya cuma sebatas passion tanpa diikuti komitmen, besar kemungkinan cintanya memang enggak mendalam." Tak heran kalau cinta tadi lantas tak diikuti komitmen berupa tindakan nyata untuk menjaga sekaligus meneguhkan hubungan mereka agar perkembangannya makin lama makin baik.
DAMPAK KE ANAK
Perlu diketahui, luapan emosi istri yang lepas tanpa kendali atas perilaku pasangannya, akan berdampak buruk jika sampai terdengar oleh anak maupun bila si ibu jelas-jelas menuding si bapak di depan anak, "Bapakmu ini memang mata keranjang, malu-maluin aja!" Terlebih bila umpatan, "Dasar mata keranjang!" diungkapkan sebagai sesuatu yang negatif atau malah menjijikkan.
"Anak akan memandang negatif pada bapaknya secara keseluruhan, bukan lagi hanya perilaku mata keranjangnya yang negatif," jelas Bang Noel. Padahal, anak belum bisa membedakan penilaian secara terpilah-pilah: apa yang terjadi, mengapa bisa begitu, dan sebagainya. Bagi anak, selalu muncul penilaian utuh. Jadi,kalaupun ibu mau memberi komentar tentang perilaku pasangan yang dianggap menjengkelkannya ini, anjurnya, "silakan saja, asalkan bukan komentar yang menyudutkan dan dilakukan dalam situasi santai sebagai sesuatu yang bersifat manusiawi serta lumrah dialami siapa saja." Dengan begitu, anak akan banyak terbantu memilah-milah bahwa yang bikin malu adalah kelakuan si ayah, bukan pribadinya.
Sedangkan bila stigma, "Dasar mata keranjang!" dilekatkan oleh masyarakat, dampaknya jauh lebih buruk. "Orang tua, terutama ibu, wajib melindungi anaknya dari label-label negatif tadi. Tumbuhkan kepercayaan diri dan ajak anak untuk membuka mata bahwa perilaku mata keranjang bukanlah kepribadian, melainkan hanya sebagian kecil dari kepribadian." Anak pun harus diajak belajar melihat secara lebih proporsional bahwa ayahnya atau bahkan dirinya tidaklah seburuk label yang ditempelkan. Jangan sampai anak merasa, "Bapakku saja begitu kecil di mata orang, apalagi aku?" Kalau sampai ini yang terjadi akan lebih sulit bagi orang tua untuk membangun harga diri anak.
Sementara soal "menurun" tidaknya perilaku ini pada anak, menurut Bang Noel, selama ini belum pernah ada penelitian yang membuktikan apakah mata keranjang bersifat bawaan atau lebih karena pengaruh lingkungan. Sama halnya dengan mencari alasan kenapa ada yang mata keranjang dan tidak. Yang jelas, stimulasi lingkungan amat berpengaruh. "Lingkungan yang memungkinkan individu bicara tentang segala sesuatu secara bebas tentang hal-hal yang mengarah ke perilaku mata keranjang, tentu memberi peluang untuk memunculkan perilaku mata keranjang." Sebaliknya, bila hal tersebut tak pernah dibicarakan atau malah dilarang, bisa jadi si anak kemudian tak berkembang menjadi mata keranjang, meski mungkin bibitnya sudah ada.
Th. Puspayanti
KOMENTAR