KONTRA PRODUKTIF
"Kemungkinan muncul konflik atau tidak sangat bergantung pada bagaimana dulu berpisah dengan mantan pacar. Jika perpisahannya baik-baik, umumnya konflik yang timbul tidak akan besar. Paling-paling konflik sesama kolega saja, semisal pembagian kerja atau target pekerjaan," kata psikolog Sandi Kartasasmita, M.Psi.,Psi. membuka percakapan.
Jika suasana perpisahan dulu kurang baik (hostile break up) bisa jadi pertemuan saat ini diwarnai konflik. Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara ini lantas memberi contoh, karena dendam yang masih terus terbawa, konflik yang tadinya sebatas urusan pekerjaan merembet ke konflik pribadi yang mengacaukan profesionalisme.
Padahal, profesionalisme harus dikedepankan dalam pekerjaan. Secara dewasa, kita harus dapat memisahkan urusan kantor dengan urusan pribadi, apalagi yang menjadi bagian dari masa silam. Dunia kerja adalah dunia orang dewasa. Karenanya, kedewasaan juga mesti ditonjolkan lewat kemampuan menempatkan diri. Peran saya di kantor adalah sebagai atasan, bawahan atau kolega, dan bukan sebagai mantan. "Inilah yang disebut sikap profesional," kata Sandi.
Dendam pribadi yang dibawa-bawa dalam dunia kerja bisa berimplikasi luas pada semua hal di kantor. "Akibatnya akan kontraproduktif terhadap hubungan dengan sesama kolega, perfomance keduanya, sampai pada kondisi perusahaan."
Ilustrasinya begini, katakanlah si A bekerja di bagian marketing. Sementara B, mantan kekasihnya bekerja di bagian akunting. Marketing pasti butuh dana untuk pemasarannya. Entah untuk menjamu klien, mempresentasikan produk atau membuka networking. Ketika butuh dana, A akan mendatangi bagian akunting. Celakanya, B yang masih menyimpan dendam, sengaja menghambat langkah A. Misalnya, B sengaja agar A tak leluasa memasarkan produk guna menurunkan performanya.
Tindakan konyol seperti itu merupakan contoh kontraproduktif bagi perusahaan. B mungkin berpikir, "Biarkan saja A mendapat nilai jelek dari perusahan." Namun ia lupa bahwa tindakannya membuat perusahaannya kehilangan klien-klien potensial. Padahal begitu klien menjauh, omzet perusahaan menurun, yang pasti akan mendatangkan kerugian di semua lini.
Bila sikap kontraproduktif mulai muncul, dua pihak yang "berseteru" ini perlu mencari solusi secara dewasa. "Saya tidak menyarankan salah satu harus keluar karena mencari pekerjaan sekarang ini sangat sulit. Apalagi kalau sebenarnya dua pribadi ini adalah pekerja-pekerja yang andal. Tapi kalau tetap bersikap sebagai musuh, tentu tak adil juga bagi perusahaan dan karyawan lain.
OLD FLAME
Ternyata bukan cuma dendam yang tersisa yang bisa kontraproduktif bagi yang bersangkutan maupun perusahaannya. Cinta yang pernah tak kesampaian, bila di kemudian hari bertemu juga bisa menimbulkan konflik. Istilahnya, old flame. Mungkin dulu putusnya bukan lantaran pihak ketiga, tapi sebab lain, seperti beda keyakinan atau harus berpisah tempat. Apakah pertemuan kembali ini berdampak pada karier dan perusahaan, sangat tergantung pada status masing-masing saat ini.
Menurut Sandi, bila keduanya masih lajang, tak ada masalah untuk menghidupkan kembali api cinta yang masih tersimpan. Hanya saja, bila ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan, lihat dulu bagaimana aturan perusahaan, apakah boleh suami-istri bekerja dalam satu kantor. Mesti dipertimbangkan siapa yang harus mencari karier baru di luar jika kantor memberlakukan aturan yang tidak membolehkan suami-istri sekantor. Apa lagi kalau kariernya sama-sama bagus. Jangan sampai kelak dalam perjalanan pernikahan mereka, ada pihak yang merasa dikorbankan karena harus pindah atau berhenti bekerja.
Konflik bisa timbul ketika si mantan sudah berkeluarga atau bahkan keduanya sudah sama-sama menikah. Menuruti old flame berarti muncul perselingkuhan di kantor. "Ini memang kasus klasik, tapi tak banyak yang tahu kalau hal ini bisa kontraproduktif juga," kata Sandi. Misalnya A dan B lantas banyak mencuri-curi waktu kerja hanya untuk bisa lebih sering dan lebih lama berdua.
"Ini berarti mengurangi produktivitas kerja. Dampaknya jelas sama, yaitu berimplikasi pada kondisi perusahaan," kata Sandi mengingatkan.
Agar profesionalisme tetap terjaga, Sandi menyarankan agar sikap dewasa dan tahu dirilah yang mesti dikedepankan. Jangan sampai memori-memori indah di masa lalu menjerumuskan kita pada keputusan yang sama sekali tak bijaksana. Tegaslah pada diri sendiri. Dalam hal ini, tegas menetapkan mantan sebatas relasi kerja.
Sekantor dengan Mantan Istri/Suami?
Sekantor dengan mantan pacar saja bisa menimbulkan gejolak, apa lagi dengan mantan istri/suami. Pasti konflik yang timbul bisa lebih banyak karena umumnya pasangan yang menikah pernah punya ikatan emosi yang lebih kuat dibanding mereka yang cuma berpacaran. Ketika harus berpisah pun, trauma dan sakit hati yang dialami jelas lebih menyakitkan.
Kalaupun akhirnya bekerja di kantor yang sama, menurut Sandi, "kesalahan" ini tidak lepas dari ketidaktelitian bagian SDM kantor tersebut. Memang sih bisa saja mantan istri/suami kemudian bergabung di kantor yang sama. akan tetapi bagian SDM yang jeli semestinya mampu menelisik curriculum vitae setiap calon pekerja ketika mereka melamar. artinya, ketika si pelamar mengatakan sebagai janda/duda atau pernah menikah, pasti akan ditanyakan siapa mantan istri/suami dan di mana mereka sekarang.
Namun, jika telanjur sekantor, terlepas dari apa pun penyebab perceraian tersebut, jangan sampai menurunkan performa di tempat kerja. Buat apa mengingat-ingat masa lalu yang pahit. "Fokus sajalah mengupayakan kinerja sebaik mungkin yang nantinya akan berpengaruh pada perbaikan income. Sekarang kan susah cari pekerjaan. Jadi, be positive sajalah. Dahulukan pekerjaan. Just enjoy your work and forget the past!," tandas Sandi.
Mereka yang Sekantor dengan Mantan
Swandito (32), ayah 1 anak
"Tadinya saya bekerja sebagai marketing kartu kredit. Memang berat kerjanya dan hasilnya juga sedikit. Suatu waktu saya ketemu mantan pacar SMa. Biasalah, saling tuker-tukeran kartu nama. Wah... malu juga lihat jabatannya sudah chief accountant di sebuah bank swasta ternama. Suatu hari dia menelepon, katanya butuh tenaga akunting. Akhirnya saya ikut tes dan berhasil lulus. Saya jadi sekantor dengan mantan, malah dia jadi atasan saya, meski bukan atasan langsung karena di atas saya masih ada supervisor.
Terus terang hubungan saya dengan dia benar-benar profesional. Saya enggak berani macam-macam karena secara tidak langsung kan saya terbantu bekerja di sini karena jasa dia. Lagian dia juga sama-sama sudah menikah dan punya anak. Istri saya juga tahu dan tampaknya tidak cemburu. Malah dia menganjurkan saya menjaga sikap supaya jangan sampai 'ditendang' gara-gara tidak profesional. apakah masih ada getar-getar cinta? Waduh... rasanya enggak tuh. Chemistry -nya sudah benar-benar hilang. kami sudah punya kehidupan pribadi masing-masing."
Laylisya (29), ibu 1 anak
"Saya sekantor dengan mantan ketika bekerja di perusahaan internet provider. Waktu saya masuk, mantan yang bekas teman kuliah itu bekerja sebagai CSR(Customer Service & Relations) merangkap marketing, sedangkan saya sebagai teknisi tI. Dalam standar prosedur operasi, pekerjaan kami saling nyambung, sehingga kami sering diminta pergi sama-sama menemui klien. Di sinilah saya mulai merasa jengah pada pekerjaan yang sebetulnya saya cintai ini.
Gimana... ya, namanya juga mantan, meski sudah putus 5 tahun lalu, mungkin masih ada perasaan yang tertinggal di hatinya karena sayalah yang waktu itu memutuskan dia dengan alasan beda agama. Saya jadi risih bukan gara-gara masih ada cinta, tapi lebih karena dia mulai sering curhat tentang pernikahannya yang belum dikaruniai anak. kalau ditanggapi dikira masih perhatian. akhirnya, demi menghindari gunjingan karena beberapa rekan kerja tahu kalau kami dulu pacaran, saya memutuskan keluar dengan alasan ingin lebih fokus mengurus anak. Sekarang saya masih nganggur, tapi enggak apa-apa deh, yang penting hati tenang."
Santi Hartono
KOMENTAR