Apa kabar? Bagaimana kesiapan menanti sidang vonis mendatang?
Alhamdulillah, sehat. Secara pribadi saya sudah siap menghadapi kemungkinan terburuk. Andaikata dihukum 13 tahun, kalau memang tuntutan itu dianggap seadil-adilnya buat saya, sebagai warga negara yang baik saya tulus dan ikhlas menjalaninya. Mudah-mudahan apa pun hukuman saya, sudah yang paling adil. Saya harus siap.
Anda tampak kuat melalui semua ini.
(Inong menghela napas) Sudah cukup banyak saya menangis. Saya tak mau anak-anak melihat mamanya terus menangis. Hampir setahun saya ditahan. Tidak gampang memang menerima kenyataan ini. Saya belajar banyak bersabar, belajar ikhlas. Semua itu tidak ada ilmunya. Mungkin saya diberi kesempatan dari kasus ini untuk belajar mampu menjalani cobaan. Bagaimana menghadapi cacian dan tudingan orang tentang saya.
Apa yang Anda rasakan?
Waktu kejadian ini muncul dan nama saya ada di mana-mana, anak-anak dan keluarga saya juga jadi gunjingan. Padahal, saya artis juga bukan. Saya berusaha untuk kuat, tapi saya juga manusia biasa. Kalau tidak ingat tiga anak saya, saya sudah ingin bunuh diri saja (mata Inong mulai berkaca-kaca, ia terdiam sejenak).
Bisa dibayangkan saya yang tadinya jadi panutan sebagai top sales dan banyak perusahaan yang ingin meng-hire saya, begitu kasus ini muncul, semua berbalik membenci saya. Dihujat semua orang. Sekuat apa pun saya berusaha, saya tidak bisa membela diri. Di media juga ramai berita yang mengekspos sensasi bagian tubuh saya, harta, keluarga saya (Inong tak bisa menahan tangisnya).
Hampir setahun di rutan, bagaimana Anda beradaptasi?
Jelas perbedaannya sangat mencolok. Saya rindu kebebasan. Saya bertahan demi ketiga anak saya. Kegiatan di Pondok Bambu sangat terbatas. Pikiran juga tak tenang menunggu hasil akhir persidangan. Kalau semua sudah selesai, baru saya mau menyusun rencana-rencana lagi.
Di rutan saking bingung enggak ada kerjaan, kadang saya suka beri saran ke sesama narapidana perempuan untuk jaga kecantikan. Saya kasih mereka saran, misalnya potongan rambut yang cocok, rapikan alis, dan sebagainya (Inong tersenyum tipis).
Ya, sering ngobrol.
Anda memang fashionable sejak dulu, ya?
Sebagai perempuan, rasanya wajar senang tampil cantik. Saya memang senang fashion tapi kesenangan ini untuk menyenangkan diri sendiri, bukan lawan jenis atau maksud lain. Selain itu, karena tuntutan profesi juga.
Maksudnya?
Saya senang bertemu banyak orang dan berinteraksi. Apalagi pekerjaan saya, kan, di bidang sales. Saya perlu sosialisasi untuk menjalin relasi dengan nasabah atau calon nasabah. Saya ikut terlibat di banyak yayasan dengan ibu-ibu pejabat, menggalang pencarian dana, dan acara amal. Saya bergaul ini bukan untuk foya-foya, lho, tapi semata-mata pekerjaan.
Kalau ada yang bilang saya berubah sejak menjadi Relationship Manager (RM), tidak juga. Dari tahun 1990 saya sudah pakai Mercy. Masak menangani nasabah high class saya naik bajaj? Saya perlu akses untuk masuk ke lingkungan mereka. Masalah penampilan juga sama, semua itu tuntutan profesi. Gaya itu penting untuk convince (meyakinkan) orang. Prinsip ini penting jika kerja di bidang sales. Saya punya mobil Ferrari segala macam itu memang saya beli sendiri dari pendapatan di luar gaji bulanan. (Ketika menceritakan hal ini, Inong tampak bersemangat).
Bagaimana, sih, perjalanan karier Anda?
Saya bekerja di Citibank sejak Agustus 1989 hingga 18 Maret 2011. Oktober 2001, saya mulai menjabat sebagai RM Citibank yang menangani 200 lebih nasabah prioritas. Di Citibank itu karyawan tak hanya digaji, tapi performanya dinilai dan ada rapor-nya. Sebagai sales, sampai darah penghabisan, saya berusaha mencapai target. Begitu achieved, target kami dinaikkan lagi. Terus begitu sampai teman-teman sesama RM bilang, 'Mbak, jangan lari kencang-kencang nanti kami semua mati.' Ya, target saya selalu tercapai dan dikerjakan di depan. Maksudnya, saya selalu ngebut mengejar target di bulan pertama, jadi di sisa periode itu saya bisa lebih santai karena target saya sudah achieved.
Lebih dari 20 tahun berkarier, selain mengurus pekerjaan, saya juga multitasking sebagai seorang ibu dari tiga anak. Misalnya, meski kerja saya gila, saya masih sempat membawa buku PPKN anak ke kantor untuk merangkum tugas sekolah anak saya. Saya bantu mereka kerjakan PR sekolahnya. (Saat mengenang hal ini Inong terdiam sejenak. Di balik riasan matanya yang tebal, kedua matanya kembali berkaca-kaca dan ia terdiam beberapa saat).
Itu karena saya punya challenge untuk berprestasi di kantor dan juga untuk keluarga di rumah. Saya juga enggan minta uang pada suami. Sebagai perempuan saya bekerja demi punya penghasilan. Kalau perlu lebih, saya cari tambahan income. Kalau saya cuma mau harta, saya enggak usah jadi RM. Jadi istri pejabat saja.
Ade Ryani HMK / bersambung
KOMENTAR