Namun begitu, perjalanan bisnis saya tak selamanya mulus. Saya juga pernah menanggung kerugian hingga Rp 700 juta. Yang menyedihkan, datangnya bersamaan dengan musibah gempa bumi Bantul 2006. Ceritanya, tahun 2000 saya punya kenalan warga negara Bangladesh. Ketika datang kepada saya pertama kalinya, ia masih berstatus pekerja di sebuah perusahaan di Jakarta.
Ia datang dalam kondisi tak punya apa-apa. Lalu ia mengajak bekerjasama mencari barang kerajinan untuk dijual lagi ke Jakarta. Saya temani ia ke mana pun saat mencari dagangan. Dengan kondisi uang yang pas-pasan kami keluar-masuk kampung. Makan pun seadanya. Alhamdulillah, kerja keras kami berhasil.
Ia menyatakan akan membuat perusahaan di Jogja dan keluar dari tempat kerjanya di Jakarta. Saya setuju berbisnis dengannya. Dan ternyata usaha kami memang berjalan baik. Ekonomi saya yang semula pas-pasan bisa meningkat. Bahkan bisa membeli rumah dan memperbaiki rumah orangtua. Pada perkembangannya kami juga berbisnis sandal dan sepatu. Bisnis kami yang dikirim ke Bali, saat itu nilainya milyaran rupiah.
Tak lama, gempa bumi meluluhkan Bantul. Termasuk rumah saya yang ditempati orangtua di Bantul ikut rusak. Keluarga kami ada yang sampai masuk rumah sakit dan baru 3 bulan kemudian kami temukan. Saya dan keluarga benar-benar dalam kondisi tertekan saat itu, mengingat sedang banyak-banyaknya order dari Bali untuk dikirim ke Spanyol.
Nahasnya lagi, partner bisnis saya yang warga Bangladesh itu memanfaatkan situasi buruk itu. Ia mengatakan, barang yang sudah saya kirim ke pelanggan di Spanyol dan Italia ditolak. Lalu ia memaksa saya menandatangani surat yang ia sodorkan bahwa barang itu benar di-reject. Artinya, barang yang sudah dikirim tidak akan dibayar.
Anehnya, hingga kini tak ada sandal setengah pasang pun yang dikembalikan. Logikanya, kan, jika barang ditolak, harus ada bukti kembali. Ya, begitulah, saya dirugikan oleh teman bisnis saya yang totalnya bernilai Rp 700 juta. Rinciannya, barang yang keluar nilainya Rp 400 juta, yang tak diangkut Rp 250 juta. Sebagian barang memang masih ada yang di gudang, tapi saya, kan, harus membayar pekerja saya.
Belajar Internet
Dari kejadian itu kini dalam berbisnis saya lebih hati-hati. Saya berusaha bangkit kembali. Sungguh, di tahun 2006 saya masih belum tahu apa-apa soal komputer maupun internet. Saya belajar dari nol ke warung internet (warnet) dekat Universitas Wangsa Manggala. Bila warnetnya penuh, saya rela menunggu hingga ketiduran di mobil. Saat warnet kosong, saya minta dibangunkan. Saya belajar internet hingga dini hari, sambil ditunggui suami.
Dari sinilah kemudian saya tahu cara membuat dan membalas email. Lalu anakku, Irma, dan teman-temannya juga ikut membantu saya membuatkan blog, foto, dan video. Pembeli luar negeri pun akhirnya bisa melihat hasil kerja saya dan mereka pun mulai berdatangan. Tahun 2007 saya bisa mengirim satu kontainer sandal ke Bali. Dan akhirnya, entah dari mana saja pelanggan mulai berdatangan. Hingga kini, order dari Australia, Prancis, Italia, Bali, Jakarta, serta beberapa pelanggan dalam negeri kerap memesan produk ke saya.
Keunggulan produk sandal dan sepatu saya adalah hand made dan aksesorisnya terbuat dari bahan-bahan alami. Dari biji-bijian, serat, daun, manik-manik, dan sebagainya. Nah, untuk mendapatkan pekerja yang bersedia memasang manik-manik ini saya meluangkan waktu khusus untuk melatih ibu-ibu di berbagai daerah di Kulonprogo, Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan sebagain Kota Jogja. Juga sampai ke beberapa kabupaten di Jateng. Memang, tak langsung bisa mendapat pekerja karena semua perlu proses. Tidak semua orang yang saya latih langsung bisa atau mau diajak kerjasama.
Keuntungannya melatih tenaga kerja pasang payet ini manfaatnya baru terasa bila saya mendapat banyak order dan harus diselesaikan dalam waktu cepat. Jadi, pas ada pesanan banyak, saya bawakan bahannya lalu saya ambil sendiri ke para perajin di berbagai kota. Jika tidak begitu, kasihan mereka harus datang ke rumah saya. Tentu perlu waktu dan biaya.
Pada tahun 2007, tak disangka-sangka saya diberi penghargaan Sampurna Award sebagai UKM Terbaik III tingkat Nasional. Usaha saya terpilih dari 6.000 peserta dari seluruh Indonesia. Penghargana lainnya, saya dimina menjadi pembicara di ajang APEC yang dihadiri peserta dari 22 negara. Ketika itu saya diajak Bu Nining Susilo, dari UKM Center. Dan hingga kini, saya kerap diajak Bu Nining ke berbagai daerah, diminta berbicara di hadapan lurah se-Borobudur agar para lurah di sana ikut memberdayakan masayarakat wilayahnya.
Begitulah, sampai sekarang saya masih bekerja keras membangun bisnis yang saya cita-citakan sejak lama, yakni punya PT sendiri. Meski orang bilang saya sudah menjadi juragan, tapi dalam kesehariannya, kadang saya masih pegang pekerjaan di bengkel saya di tepi barat Sungai Progo. Roda bisnis ini saya jalankan dengan dibantu beberapa pekerja di rumah. Juga sekitar 70 karyawan di luar rumah. Sementara itu, yang pasang payet jumlahnya lebih dari 1.000 ibu-ibu, yang dikerjakan di rumah masing-masing.
Membina banyak perajin, memang ada untungnya. Kebetulan saya tak suka memperkaya diri sendiri, memakan rezeki sendiri. Lebih enak dibagi dengan orang lain. Yang penting saya bisa bermanfaat untuk orang banyak. Itulah arti kesuksesan bagi saya. Oh ya, saya ingin berpesan kepada kaum perempuan yang tengah memulai usaha. Kuncinya, pantang menyerah dan istiqamah. Bila niatnya baik, pasti ada jalan. Dan seringlah menolong sesama.
Sebagai bos, menurut dua karyawan Martini Natural, Martini banyak memberikan keleluasaan kepada karyawannya untuk berkreasi, terutama bila sedang tak banyak order. "Kalau sedang banyak order, setiap karyawan harus bekerja sesuai tugasnya. Kalau sedang sepi, ya, mau mengerjakan apa saja, ya, boleh. Hitung-hitung untuk belajar bidang lain. Tapi tugas pokok saya, sih, memotong bahan untuk upper," terang Hamid (24) yang baru saja dikirim ke pelatihan membuat sepatu di Surabaya oleh Martini. Hamid mulai bekerja di Martrini Natural sejak setahun lalu.
Sementara Erna, sekitar lima tahun lalu hanya bekerja di bagian finishing. Namun perlahan tapi pasti, ia pun mulai dipercaya Martini untuk berbelanja bahan baku sepatu dan aksesoris ke Jakarta atau Surabaya. Sebagai karyawan yang saat itu belum berpengalaman, Erna mengaku harus banyak bertanya kepada sang majikan. "Ibu banyak kasih pengetahuan. Kalau saya salah, ya, paling diberitahu. Mungkin itu bisa disebut marah, ya, tapi Ibu tak pernah marah berkepanjangan," papar Erna yang saat dijumpai NOVA sedang menunggu pameran sepatu di Jogja Expo Center bersama Hamid.
Rini Sulistyati
KOMENTAR