Sikapnya yang disebut mbalelo oleh HB X karena tak kunjung mau meninggalkan Merapi yang sudah dalam keadaan kritis, justru membuat orang mengagumi kesetiaan serta tanggung jawabnya pada tugas yang diberi sang raja padanya. Kendati untuk itu ia harus merelakan nyawanya.
Kesetiaannya sebagai abdi dalem dan juru kunci, memang tak perlu diragukan lagi. Tugas itu diterima Mbah Maridjan setelah ayahnya meninggal. Ia ditunjuk sebagai pengganti sang ayah.
Kesasar
Kini, setelah si Mbah tiada dan Dusun Kinahrejo luluh lantak, keluarga Mbah Maridjan tinggal di rumah Agus Wiyarto (anak angkat Mbah Maridjan) di kawasan Jalan Kaliurang, Sleman. Termasuk istri Mbah Maridjan, Ponirah (77). Mbah Maridjan-Ponirah dikaruniai 6 anak (Panut, Ngadiyem, Sulastri, Asih, Sulami, dan Widodo). "Anak kedua, Ngadiyem, sudah meninggal," ujar Sulami.
Semua anak Mbah Maridjan sudah berkeluarga dan hanya keluarga Panut serta Asih yang tinggal berdekatan dengan Mbah Maridjan. Setelah tak punya rumah lagi, Ponirah dan keluarganya belum tahu akan menetap di mana. "Sementara ini di rumah Pak Agus, tapi selanjutnya belum dipikirkan," kata Widodo yang berdomisili di Bekasi.
Ponirah sendiri terlihat tabah, tapi enggan diwawancarai. "Ibu bisa menerima kepergian Bapak, sebab ia mengerti tugas Bapak sebagai kuncen (juru kunci) Merapi," tutur Widodo. Menurut anak bungsu Mbah Maridjan ini, sebagai kuncen, bapaknya punya tugas menjaga Merapi dalam situasi apa pun. "Pengabdian yang Bapak pegang, dia tidak mau ke mana-mana (menjauh dari Merapi, Red.), apa pun yang akan terjadi. Makanya Bapak enggak pergi."
Tanggung jawab Mbah Maridjan menjaga Merapi meliputi mengawasi aktivitas Merapi dan melakukan tugas-tugas ritual yang telah menjadi tradisi keraton. "Misalnya ritual labuhan, membuang baju-baju Sultan. Sebagian dibuang ke (Pantai) Selatan dan sebagian lagi dibuang ke Utara, yaitu Merapi. Itu tugas Bapak."
Widodo lalu menjelaskan, pihak keraton punya hubungan erat dengan Merapi. Tapi apa persisnya, ia tak tahu. "Orang awam tak ada yang tahu, tapi Bapak tahu dan bisa berkomunikasi dengan Merapi." Makanya, banyak pendaki Gunung Merapi berkunjung dulu ke Mbah Maridjan untuk mendapat petunjuk dan lampu hijau. "Pernah ada yang melanggar jam untuk turun, akhirnya malah kesasar." Jika sudah begitu, tak jarang Mbah Maridjan dibantu anak-anaknya mencari si pendaki yang tersesat.
Selama ini, lanjut Widodo, setiap kali Merapi menjadi aktif dan "batuk-batuk", tempat tinggal Mbah Maridjan selalu lolos dari bahaya. Bahwa kali ini bahaya besar mengancam, "Sudah diprediksi si Mbah setelah setelah sebuah batu berbentuk segitiga di kawah Merapi mengalami erupsi. Bapak bilang ke Pak Agus, setelah batu segitiga itu hilang, Kinahrejo pasti kena."
Widodo menyadari, sang ayah adalah panutan warga sekitar, namun bapaknya tak pernah memaksa warga untuk tidak turun dari Merapi. "Itu terserah warga," ucap Widodo. Selama ini Mbah Maridjan bergeming jika dibujuk turun dari Merapi. Oleh siapa pun. "Bapak hanya menurut pada Sultan HB IX yang mengangkatnya jadi juru kunci."
KOMENTAR