Banyak wirausahawan, khususnya usaha kuliner, yang enggan mengurus surat izin usaha yaitu izin edar dan sertifikasi halal, lantaran tak tahu prosedur yang harus ditempuh. Padahal, bila ada izin, produk bisa makin luas dipasarkan. Nah, jika Anda berniat memulai usaha kuliner khususnya, mungkin pertanyaan ini juga sering hinggap di kepala: "Bagaimana prosedur membuat izin usaha? Surat izin usaha apa saja sih yang harus diperoleh?"
Ini dia cara membuat prosedur izin usaha yang wajib diketahui.
Mengurus Sertifikasi Halal MUI
Pencantuman kata halal dalam kemasan, termasuk kemasan makanan, haruslah didaftarkan terlebih dulu ke LP POM Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemilik usaha harus mendapatkan sertifikat dan izin pencantuman dulu sebelum berhak mencantumkan lima huruf ini dalam kemasan. Ke LP POM MUI mana pengusaha mendaftar? Menurut Wakil Direktur Bidang Auditing Sistem Jaminan Halal LP POM MUI Muti Arintawati, tergantung skala pemasaran produk yang bersangkutan.
Bila pemasaran berskala nasional, pendaftaran diajukan ke LP POM MUI Pusat, sedangkan bila peredarannya tingkat lokal atau propinsi, izin dimintakan ke LP POM MUI tingkat propinsi masing-masing. Untuk pusat, pendaftarannya kini tak lagi dilakukan secara manual, melainkan lewat online dengan sistem cerol service. Pendaftaran bisa diakses dari situs www.halalmui.org. Klik saja Cerol SS23000 di menu Layanan, unduh, lalu ikuti petunjuk manualnya.
Bila mengalami kesulitan, pendaftar bisa menghubungi nomor kontak yang tertera di situs tersebut. Atau, bagi yang tinggal di Jabodetabek, bisa langsung mendapatkan penjelasan di open house yang diadakan tiap Selasa di kantor LP POM MUI di Jalan Proklamasi 51, Jakarta Pusat. “Selain kantor pusat, yang sudah memberlakukan sistem online adalah LP POM MUI Jawa Tengah,” ujar Muti.
Baca: 8 Persiapan Sebelum Mulai Berbisnis
Setelah membeli dan mengisi, formulir dikembalikan. “Biaya registrasi Rp200.000 untuk tingkat pusat, di daerah kurang lebih sama,” imbuhnya. Setelah dokumen yang disyaratkan diserahkan, LP POM MUI akan memeriksa kelengkapannya. Selanjutnya, akad biaya sertifikasi. “Untuk tingkat pusat, pemberitahuannya lewat online. Setelah semua dokumen lengkap, maksimal dalam tiga minggu kami meminta waktu untuk datang ke perusahaan pendaftar untuk mengaudit. Saat audit, pabrik harus dalam keadaan beroperasi, tidak boleh libur.”
Besarnya biaya akad sertifikasi, menurut Muti, tergantung besar kecilnya perusahaan, jumlah produk, bahan yang digunakan, serta pabrik yang dimiliki. Perusahaan besar ditarik biaya lebih besar dibanding perusahaan kecil, untuk subsidi silang. Untuk perusahaan kecil yang didaftarkan di tingkat pusat, biaya dasarnya Rp1 juta ditambah biaya berdasarkan variasi di atas. Sedangkan pendaftar di tingkat daerah yang biasanya UKM biayanya Rp500.000-Rp2,5 juta.
Muti mengingatkan, biaya tersebut belum termasuk biaya transportasi dan akomodasi petugas LP POM MUI yang akan mengaudit. Untuk kawasan Jabodetabek, petugas bisa langsung dijemput di LP POM MUI yang berkantor di Bogor, sedangkan untuk pendaftar dari luar kota harus menyediakan akomodasi. “Bila hasil audit oke, tidak ada pertanyaan dan tidak ada ketidaksesuaian dengan persyaratan, kami targetkan dalam waktu 60 hari kalender sejak perusahaan selesai meng-upload semua dokumen, perusahaan sudah menerima sertifikat.”
Kapan sebaiknya sebuah produk mendaftar sertifikasi halal? Menurut Muti, sebaiknya sejak sebelum produk dirilis ke pasaran. Sebab, ini berkaitan dengan pembuatan dan pencantuman kata halal di kemasan. “Daripada nanti mendesain ulang, lebih baik sekalian. Memang, UU Jaminan Produk Halal belum berlaku, meskipun sudah ada. Kalau sudah berlaku, semua produk yang diedarkan harus ada sertifikasi halalnya,” terang Muti.
Berlaku 2 Tahun
Namun, sertifikasi halal saja tidak cukup. Menurut Muti, izin pencantuman label halal di kemasan harus dimintakan ke Badan POM, yang pendaftarannya harus dilakukan paralel dengan pendaftaran ke LP POM MUI, sehingga audit dilakukan bersamaan. Setelah mendapat sertifikat, pemantauan tetap dilakukan LP POM MUI. Setiap perubahan bahan produksi harus diberitahukan dan setiap enam bulan sekali perusahaan harus melakukan audit internal soal sistem jaminan halal dan dilaporkan ke LP POM MUI.
Perlu diketahui, masa berlaku sertifikasi halal adalah dua tahun. Setelah masa berlaku habis, pendaftar harus mengulangi prosedur dari awal lagi. Bila ada perubahan data, perusahaan diminta memperbaruinya. “Perubahan, kan, selalu terjadi, apalagi untuk teknologi pangan dan industrinya. Biasanya orang akan mencari bahan yang lebih murah, lebih enak. Bahannya pun bisa jadi tak lagi sama dengan yang didaftarkan dulu,” tuturnya.
Baca: 10 Tips Bisnis Bersama Pasangan
Muti menambahkan, syarat pendaftaran sertifikasi halal antara lain menerapkan sistem jaminan halal, di mana LP POM MUI memberikan 11 kriteria untuk hal ini dan ada pula pelatihannya. Kedua, produknya terdaftar. Perusahaan kecil ada izin PIRT, sementara perusahaan besar memiliki izin MD. Ketiga, harus melengkapi dokumen, antara lain bahan-bahan yang dipakai untuk produksi dan informasi detilnya, misalnya dibeli dari produsen mana.
Sertifikat halal diberikan per kelompok produk, misalnya produk daging dan daging olahan. Bila kelompok produknya berbeda, maka sertifikatnya berbeda. Bila perusahaan mencantumkan label halal di kemasan tanpa sertifikat halal dan izin BPOM, menurut Muti, “Itu melanggar PP No 69 Tahun 1999 tentang Label Iklan dan Pangan. Badan POM akan memberikan peringatan untuk menghapus. Itu juga melanggar UU Konsumen No 18 Tahun 2009 dengan ancaman penjara 5 tahun dan denda sampai Rp2 miliar,” pungkasnya.
Setelah itu, perlu membuat izin edar. Bagaimana caranya? Klik Next!
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR