Bagaimana awalnya Anda mendirikan sekolah gratis ini?
Sejak kecil saya memang bercita-cita menjadi guru. Bagi saya profesi guru adalah profesi yang amat membanggakan dan mulia. Bahkan, Allah sendiri menjanjikan dalam Alquran, salah satu amal yang tidak akan putus meski seseorang telah meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat. Tapi cita-cita saya itu ternyata tidak berjalan mulus.
Kenapa?
Saya tertimpa musibah cukup berat. Saat di kelas 3 Madrasah Aliyah Negeri (MAN) saya mengalami kecelakaan. Waktu berangkat sekolah naik motor, saya tersenggol truk ketika menghindari motor penjual kerupuk. Ban truk melindas kaki kiri saya. Persis bagian di bawah lutut hancur. Dokter pun angkat tangan. Tulang maupun pembuluh darah tidak bisa diperbaiki sehingga satu-satunya jalan harus diamputasi.
Anda pasti sangat syok saat itu?
Tentu, saya sangat terpukul. Sebenarnya saya sempat menolak diamputasi dengan harapan masih ada cara lain yang bisa dilakukan, yang penting bukan diamputasi. Tapi karena sudah tidak ada pilihan lain, malah kalau tidak segera diamputasi bisa menyebabkan pembusukan lebih luas, mau tidak mau saya harus menerima.
Yang membuat mental saya kuat menghadapi cobaan itu, selain kedua orangtua saya Rukhan (50) dan Sriyani (44), juga guru maupun teman-teman sekolah. Selama 23 hari di rumah sakit, para guru bergantian datang dan mengajari saya supaya tidak ketinggalan pelajaran. Demikian pula teman-teman, mereka rajin menjenguk. Sungguh saya tak bisa melupakan kebaikan mereka
(Miftakhul adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dia lahir dan tumbuh di tengah keluarga sederhana. Ayahnya, Rukhan, sehari-hari berprofesi sebagai pembuat batu bata, sementara sang ibu, Sriyani, berjualan makanan kecil).
Dengan kondisi tubuh Anda yang sudah tidak sempurna lagi, apakah Anda masih tetap bercita-cita jadi guru?
Ya. Setelah lulus dari MAN, saya melanjutkan kuliah di salah satu PTS di Malang. Saya mengambil jurusan Matematika sesuai bidang yang saya sukai. Bagi saya sederhana saja, setelah lulus saya akan melamar menjadi guru. Persoalan kaki saya yang tidak sempurna, tidak masalah. Mengajar Matematika di depan kelas kan tidak memerlukan olah fisik yang terlalu berat. Saat itu, untuk menopang kaki yang diamputasi saya menggunakan kruk. Baru beberapa tahun berikutnya saya menggunakan kaki palsu.
Alhamdulillah, studi saya berjalan lancar nyaris tanpa hambatan. Saat menyusun skripsi, atau menjelang kuliah selesai, saya juga menikah dengan Djit Thendra (27), tetangga desa yang dulunya teman SMP.
Akhirnya Anda mengajar?
KOMENTAR