Di sanalah mulai muncul persoalan. Setamat kuliah, saya kembali ke desa dan mulai melamar ke berbagai sekolah SMP, baik swasta maupun negeri di kawasan Trowulan. Berbekal lamaran, saya dibonceng motor oleh suami saya mendatangi satu sekolah ke sekolah lain. Ketika melamar, saya selalu jelaskan bahwa saya tidak harus diangkat menjadi guru tetap, jadi guru honorer dengan gaji seadanya atau tidak digaji pun saya ikhlas.
Bagaimana respons sekolah-sekolah yang Anda datangi?
Responsnya sama, “Silahkan lamarannya ditinggal, nanti kalau kami membutuhkan akan dipanggil,” begitu jawaban sekolah yang saya datangi. Dan meski ditunggu berbulan-bulan, panggilan itu tak pernah ada.
Saya tidak mengerti sebabnya, apakah tenaga pengajar di sana sudah cukup atau cacat fisik saya ini yang jadi sebab kenapa saya tidak diterima. Selama belum mendapat jawaban, saya memberi les privat untuk mengisi waktu luang dengan bayaran seikhlasnya. Karena tidak ada panggilan, saya jadi sering menggerutu ke suami, bagaimana caranya ilmu yang saya dapat di bangku kuliah bisa diamalkan?
Apa tanggapan suami?
Rupanya Mas Djit Thendra tak tega melihat saya yang setiap waktu selalu merengek minta dicarikan tempat mengajar dan melihat saya keluar masuk sekolah memasukkan lamaran. Di tengah kegundahan itu, Mas Djit melontarkan ide, daripada mencari pekerjaan lebih baik menciptakan pekerjaan baru dengan membuka sekolah sendiri di rumah. Tujuannya, selain bisa membagikan ilmu pada anak-anak di desa, kami berdua bisa mengajar sekaligus memberi lapangan pekerjaan kepada guru-guru lain yang memiliki visi yang sama, yaitu mengamalkan ilmu pada orang lain. Sekolah baru itu tidak memungut bayaran alias gratis, termasuk perlengkapan sekolahnya.
Bagaimana reaksi Anda mendengar gagasan itu?
Saya kaget. Semula saya sempat tidak yakin, tetapi setelah diberi penjelasan dan kami saling berdiskusi, akhirnya saya mendukung sepenuhnya gagasan tersebut. Demikian pula bapak, juga tidak keberatan dengan ide itu.
Lalu, bagaimana Anda mengawali rencana besar tersebut?
Sesuai dengan yang direncanakan, kami mengambil tempat bangunan sederhana di sebelah rumah yang selama ini menjadi Taman Pendidikan Alquran (TPQ) yang didirikan bapak sejak lama. Gurunya adalah kawan-kawan kami para sarjana yang bersedia jadi relawan. Tapi sebelum rencana itu dijalankan, suami mengajukan izin ke Departemen Pendidikan sehingga sekolah kami legal dan lulusannya juga sah.
Meski sarana sudah ada, tetapi butuh dana operasional juga kan?
Benar, sambil mengajukan izin, saya bersama Mas Djet bergerilya menjaring dana dengan menghubungi teman-teman di Mojokerto maupun yang di luar kota tentang rencana kami. Suami juga memasukkan proposal ke perusahaan-perusahaan. Alhamdulillah kami diberi kemudahan oleh Allah sehingga semua berjalan lancar. Kami beri nama sekolah tersebut Miftahul Khoir.
KOMENTAR