Menjadi suami istri bukan hanya mengikat diri sebagai pasangan, tapi bermakna lebih luas, yakni menyatukan dua keluarga besar. Utamanya, silaturahmi bertujuan untuk memperat tali persaudaraan agar terus terjalin baik.
Cara memeliharanya tentu dengan memanfaatkan momen tertentu seperti terlibat di acara perkawinan anggota keluarga besar yang biasanya akan banyak berkumpul sanak-saudara dari pihak istri maupun suami hingga momen keagamaan seperti Lebaran.
Namun, pada kenyataannya sering kita temui sejumlah pertanyaan terkait hal itu. Misalnya, saat hari pertama Idul Fitri, orangtua siapa ya yang dikunjungi lebih dulu mengingat sama-sama tinggal sekota?
Widiawati Bayu, Psi, psikolog perkawinan dan keluarga dari Kasandra Psychological Practice mencoba mengurai hal ini, “Mana yang dikunjungi duluan, itu sifatnya bukan harga mati. Masih bisa disepakati. Misalnya, bergiliran jika tahun lalu sudah berkunjung ke orangtua istri lebih dulu, jadi tahun ini ke orangtua suami.”
Pertimbangan bijak lainnya bisa juga mengutamakan salah satu orangtua sudah lebih sepuh. Bisa juga jika salah satu pihak memiliki keluarga besar (memiliki kakak dan adik banyak) bisa dipertimbangkan untuk menjadi tujuan kedua karena di tempat ini akan banyak memakan waktu untuk silaturahmi dan berkomunikasi.
Etika Silaturahmi
Serunya kumpul bersama keluarga besar tentu jadi hal yang ditunggu-tunggu. Namun, jika diamati ada sejumlah hal yang sebenarnya berpotensi mengganggu relasi keluarga, lo. Maksudnya, ada poin yang termasuk tak etis untuk dibicarakan atau dilakukan. Apa saja itu?
1. Gosip Sensitif.
Si Sulung kerja di mana? Kok, belum hamil? Kapan menikah? Mungkin ini adalah bentuk rasa peduli seseorang untuk membuka obrolan dengan Anda. Duh, tapi rasanya gerah ya kalau setiap bertemu masih itu-itu saja yang ditanyakan. Atau jangan-jangan Anda sendiri tanpa sadar kerap spontan menanyakan itu pada sanak saudara?
Widia menyarankan, “Lebih baik mencari topik obrolan yang sifatnya netral. Misalnya, seputar bulan Ramadhan dan Lebaran. Dengan membuat obrolan netral akan menghindari ketidaknyamanan di momen yang baik ini.” Namun, jika pun pertanyaan tersebut tak bisa dihindari, sebaiknya dijawab seperlunya saja. “Kalau kita yang ditanya tidak keberatan bercerita ya tidak masalah, namun bila kita merasa risih dengan pertanyaan tersebut, kita dapat mengalihkan dengan topik lain.”
BACA: Jangan Katakan Ini Kepada Teman yang Belum Memiliki Anak
2. Salah Ucap.
Kata-kata memang tak dapat ditarik kembali. Ada kalanya seseorang keceplosan ucapan yang ternyata menyinggung salah satu pihak. Ketika hal ini terjadi, salah satu pasangan harus bisa menetralisir dan langsung mengoreksi apa yang dimaksud dengan ucapan pasangan tadi.
“Di sini pasangan akan kelihatan kompak dan saling melindungi ketika salah satu berbuat salah dan yang dilindungi pun tentu akan merasa nyaman dan merasa dibela ketika membuat kekeliruan,” kata Widia.
Namun, perlu diingat terkadang ada kalanya kita menunjukkan rasa peduli yang belum tentu dianggap baik oleh orang lain. Misalnya, ucapan yang terkesan ikut campur dalam urusan saudara sekandung maupun ipar. Tempatkan diri sebagai menantu atau anggota keluarga besar yang baik. Termasuk tidak mengumbar hal privasi seperti rumah tangga Anda dan suami.
3. Hobi Pamer.
Tanpa disadari di momen silaturahmi ada kalanya seseorang ingin menampilkan eksistensi dirinya. Bisa dilihat dari penampilan yang wah maupun cerita sukses dirinya atau anak dan suami. Dapat dimaklumi bahwa keberhasilan tersebut ingin juga disampaikan kepada kerabat lain. Bagaimana menyikapnya? Atau, justru adakah cara agar mengerem diri sendiri tidak pamer?
“Tinggal bagaimana Anda mau memberi respons. Ada yang berharap mendapat pengakuan dan pujian. Jadi, apakah ingin larut dan terpancing membicarakan obrolan yang sama? Tapi, Anda bisa juga memilih diam atau mengiyakan.”
Namun, sambung Widia, sebenarnya ada baiknya hal ini dipandang dari sisi positif. Seperti mengambil pembelajaran dari cerita sukses tersebut. Tidak ada salahnya kita menanyakan tips-tips apa untuk dapat mewujudkannya. “Yang sifatnya sharing tentu akan terasa lebih nyaman, karena mereka senang ada cerita yang direspons dan didengarkan. Keuntungannya, kita pun belajar dari pengalaman keberhasilan mereka.”
BACA: 5 Padu Padan Tunik untuk Silaturahmi
4. Tradisi Angpau.
Memberikan angpau merupakan kebiasaan yang sudah dibangun bertahun-tahun ketika momen Lebaran tiba. Angpau biasanya diberikan dari keluarga yang lebih berada kepada yang kurang, atau dari yang lebih tua ke yang lebih muda, atau dari anak ke ibu yang sudah sepuh.
Sebetulnya pemberian angpau tidak ada ketentuan khususnya. Oleh karena ini momen spesial dan sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian, tidak ada salahnya kalau kita memang ada bisa dibagikan. Apalagi jika dibagikan kepada anak-anak yang sedang belajar menjalankan ibadah puasa, tentu memiliki arti tersendiri untuk reinforcement dan memotivasi mereka agar di tahun mendatang ibadahnya lebih baik lagi.
5. Rasa Iri.
Disadari atau tidak, perasaan negatif ini memang mudah menghinggapi setiap individu. Misalnya, merasa kenapa anak si A lebih pandai daripada anaknya sendiri, nasib si B yang bersuamikan orang sukses, dan seterusnya. Tapi, apa iya dari tahun ke tahun, rasa yang dipendam dalam hati ini terus menjalar di diri Anda?
Tentu setiap orang menginginkan ada perkembangan positif dalam kehidupannya. “Silaturahmi justru menjadi momen kita untuk introspeksi diri. Tidak perlu berpikir atau melihat rumput yang lebih hijau. Tapi, lebih baik berbenah diri dimulai dari diri kita sendiri.”
6. Selisih Bocah.
Serunya berkumpul dengan saudara tak jarang ada anak-anak kecil yang berantem sesama sepupu. Apa ya yang harus dilakukan orangtua? Sepanjang yang dimaksud berantem bukan perkelahian fisik tentu kita sebagai orangtua secara bijak melerai mereka. Walaupun ada kalanya ketidaksesuaian pikiran dan ingin menang sendiri bisa menjadi pemicu.
“Sebaiknya orangtua tidak perlu larut untuk berpihak, namun lebih baik menengahi. Dari hal-hal yang beda justru kita akan banyak belajar. Misalnya, ajari anak menghargai pendapat atau saran orang lain. Toh, efeknya positif karena anak bisa menghadapi berbagai macam karakter individu dan lebih luwes bergaul di lingkungan yang berbeda-beda.”
BACA: Jangan Katakan Ini Kepada Perempuan yang Belum Menikah!
7. Busana Sopan.
Selain menjaga ucapan, berada di tengah-tengah keluarga besar ada baiknya kita juga tetap menjaga kesopanan dalam berbusana. Tak berlebihan tapi juga tetap santun dalam suasana tersebut.
8. Pahami Kebiasaan.
Ketika suami dan istri berbeda suku, sebaiknya pasangan mempelajari budaya dan tata cara yang biasa dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Informasi ini tentu kita eksplorasi dari pasangan sendiri maupun dari kerabat dekat seperti kakak atau adik ipar. Tujuannya, agar ketika berkumpul tidak ada kesalahpahaman dengan perilaku kita yang mungkin saja kurang berkenan di mata mereka.
Kenali juga kebiasaan tuan rumah soal etika yang biasa dilakukan. Contohnya, apakah yang lebih muda menyalami yang lebih tua, apakah ada ritual tertentu seperti sungkeman, makanan apa yang bisa kita bawa sebagai hantaran, dan lain sebagainya. Bila memang dibutuhkan, tak ada salahnya ikut menawarkan bantuan kepada yang punya rumah bila melihat mereka sibuk sendiri.
9. Berbaur.
Manusia adalah makhluk sosial, tentu kita perlu membaur dengan kelompok keluarga lain sehingga tidak terkesan menyendiri. Ajarkan juga pada anak-anak yang telah remaja.
10. Beda Itu Indah.
Sadari setiap orang memiliki visi, persepsi, dan pribadi berbeda. Sebab ada kalanya terjadi benturan pemikiran dalam sebuah keluarga besar. Menganggap pola didik si A terhadap anaknya tak baik, dan masih banyak lagi contoh yang justru bisa merembet pada konflik dan berujung putusnya silaturahmi.
Sekecil apapun hal yang Anda anggap tak sesuai, selalu hilangkan prasangka buruk dan terima segala kekurangan orang lain. Dengan kata lain, bercerminlah sebelum Anda berucap atau melakukan suatu hal.
Penulis | : | Ade Ryani HMK |
Editor | : | nova.id |
KOMENTAR