Pria yang satu ini sukses berbisnis boneka meski sering memutarbalikkan saran pakar dan prinsip berbisnis yang mainstream. Justru karena itulah, kini ia berhasil mengembangkan bisnis boneka bermerk Hayashi Toysmart miliknya dengan sistem waralaba ke seluruh Indonesia.
Bagaimana Anda bisa terjun ke bisnis boneka?
Setelah lulus SMA, saya pergi ke Bekasi dan mencoba mendaftar beberapa kali ke perguruan tinggi, tapi gagal. Akhirnya saya putuskan untuk bekerja. Kerja pertama di pabrik semen di Pulo Gadung. Tugas saya mengerok semen yang menempel di dinding tower yang digunakan untuk membuat semen. Terkadang, tangan saya sampai bolong-bolong. Setelah sekitar lima tahun di sana, saya pindah ke pabrik boneka. Saya bertugas di gudang dengan gaji Rp70.000 per bulan. Karena penghasilan pas-pasan, saya terpaksa tinggal di bedeng berukuran 1 meter persegi, hanya cukup untuk tidur.
Kehidupan saya waktu itu sangat minus. Untuk menambah penghasilan, saya ikut menjualkan baju dari orang lain, mengkreditkan sepeda, tape recorder, dan lainnya dengan modal dari atasan saya. Tukang kredit jadi sampingan saya, sampai akhirnya perekonomian saya membaik dan mampu beli rumah. Sejak saya kecil, keluarga saya memang tidak mampu. Bapak saya pensiunan polisi dan saya anak ketiga dari lima bersaudara. Saya dididik dengan keras, tidak manja. Waktu SD, saya sekolah berjalan kaki 2-3 km tanpa sepatu, pulang pergi.
Lalu?
Baru beberapa bulan menikmati hasil jerih payah itu, tahun 1995 pabrik boneka tempat saya bekerja mulai bangkrut dan banyak mem-PHK karyawan, termasuk saya. Padahal, banyak cicilan dari pelanggan saya yang tidak bisa ditagih. Saya jadi punya utang Rp7 juta, ditambah lagi rumah belum lunas. Kehidupan saya kembali minus. Saya pindah kerja di tempat lain, sambil berutang pada teman.
Setelah di-PHK, saya mendirikan toko yang menjual boneka. Boneka-boneka itu dipasok dari teman-teman yang usahanya membuat boneka. Saya juga menjual limbah bahan boneka. Modal awal Rp5 juta saya dapat dari pesangon PHK. Toko pertama saya ada di sebuah pusat perbelanjaan di Bekasi. Dari situ, usaha saya berkembang dan dalam waktu dua tahun, toko saya berkembang menjadi 17 buah di Jabodetabek. Dua di antaranya milik saya sendiri, sisanya saya sewa toko di mal. Waktu itu, boneka Teletubbies sedang digemari, sehingga bisnis saya mudah berkembang pesat.
Kapan mulai produksi boneka sendiri?
Tahun 1998 terjadi krisis moneter. Mayoritas mal sepi, karena tidak ada pembeli dan banyak teror bom. Toko saya kena imbasnya, semua terpaksa ditutup, karena tidak laku. Semua boneka dilelang untuk bayar utang. Rumah, mobil dan harta saya habis untuk membayar utang. Tetap saja saya menyisakan utang Rp50 juta pada teman. Saya kemudian minta waktu lima tahun untuk melunasi. Waktu pulang dari rumahnya, saya malah diberi uang Rp500.000. Uang itulah yang saya gunakan untuk berbisnis.
Bisnis apa?
Limbah bahan baku boneka. Saya membeli limbah dari pabrik yang hampir bangkrut. Pabrik itu menjual limbahnya senilai Rp450 juta. Kain limbahnya saya tawarkan ke teman tempat saya berutang itu, tapi uang untuk pembelian dari dia. Saya juga menawarkan ke beberapa teman lain dengan sistem yang sama.
Dalam dua minggu semua limbah pabrik itu berhasil saya jual, dan saya untung Rp250 juta. Dari situlah, saya mulai meyakini bisnis ini bagus. Saya lalu menyewa toko di Rawa Lumbu, Bekasi untuk berjualan bahan baku boneka. Uang Rp250 juta itulah yang saya gunakan untuk bayar utang dan sebagai modal untuk berjualan bahan sekaligus memproduksi boneka.
Dimulai dengan dua mesin jahit, dua karyawan, dan dibantu keluarga, saya mulai bisnis ini. Beruntung, selama bekerja di pabrik boneka, saya sering membantu bagian lain. Bertugas di gudang, kan, banyak waktu senggangnya. Setelah tugas saya selesai, saya sering ikut membantu memotong bahan, menjahit, bahkan menyupir. Dari situlah saya jadi punya keterampilan membuat boneka.
Boneka apa yang Anda buat?
Macam-macam. Semua pola kami buat sendiri. Awalnya, pola kami buat dengan sistem amati, tiru, jiplak. Berikutnya, kami menggunakan sistem ATM alias Amati, Tiru, Modifikasi. Boneka yang saya produksi dititipkan ke toko milik teman-teman. Terkadang, pedagang dari pasar grosir pun mengambil dari saya. Dalam sehari, waktu itu sekitar 50 boneka terjual. Saya juga setorkan ke teman-teman lama waktu pertama saya membuka toko boneka.
Lalu, saya juga menampung boneka produksi teman-teman lama. Lama-kelamaan, bisnis boneka saya jadi besar. Dalam dua tahun, karyawan saya bertambah menjadi 50 orang, dan dalam empat tahun berkembang menjadi 125 orang. Namun, saya tidak membuka toko.
Semua boneka tetap diproduksi sendiri?
Tidak. Lima tahun lalu berjalan, saya mulai menjual sistem waralaba produksi dan waralaba toko. Saat saya tidak punya uang untuk membayar utang ke bank, saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan uang yang tidak harus mengganggu bank. Muncullah ide kemitraan. Maka, saya menjual intelektual berupa waralaba produksi dan waralaba toko.
Mengapa sejak awal tidak membuka toko sendiri?
Cara itu tidak cerdas. Lebih baik memasok ke orang lain, mereka yang mengurus toko, tapi kita dapat keuntungan yang sama. Setiap bulan kita dapat untung, tapi dia yang bekerja. Ketika saya punya 125 karyawan, omzet memang bagus, tapi masalah juga besar. Akhirnya saya tawarkan pada produsen boneka lain untuk memproduksi boneka saya. Saya sediakan mesin dan perlengkapannya, saya ajari sistemnya.
Hasil bonekanya saya yang menampung, dan dia mendapatkan untung 15 persen dari hasil penjualan. Inilah waralaba produksi, yang sekarang saya jual dengan harga Rp125 juta. Saya juga dapat untung 15 persen, tanpa saya harus bekerja dan membesarkan pabrik. Dan, tidak ada risiko buat saya. Karena ada sistem ini, saya mengurangi karyawan menjadi 50 orang, dan sekarang jadi 30 orang. Dengan sistem ini, lebih banyak orang yang bekerja, karena setiap pengusaha yang menyuplai boneka ke saya punya pegawai 10-30 orang.
Bagaimana sistem suplai mereka?
Apa pun yang mereka buat, saya tampung. Selain itu, kalau ada order besar, saya sebar pada mereka. Kualitas bonekanya harus sesuai dengan standar saya. Sampai di pabrik saya, boneka mereka kembali diperiksa kualitasnya. Jenis boneka yang diproduksi sangat bervariasi, melebihi produksi pabrikan. Kalau produsennya masih baru, bikinnya setengah jadi, kami yang menyelesaikan.
Tidak takut rugi?
Tidak. Saya percaya, kalau ilmu disebarkan, ilmu dan rezeki akan bertambah. Kalaupun orang yang saya ajari ternyata “melawan”, ya sudah. Itu urusan dia. Orangtuanya mungkin tidak mengajarinya sopan santun dan terima kasih. Banyak yang begitu? Enggak, hanya 1-2 orang.
Contohnya apa?
Misalnya, dia menjual dengan harga lebih rendah dari saya. Atau, membuka toko di dekat toko saya. Biarkan saja. Untuk pasar, alhamdulillah Hayashi selalu di atas mereka. Toh, “murid” yang bersahabat dengan saya sampai sekarang tetap banyak. Saya juga berjualan lewat media sosial. Bukan berjualan boneka, melainkan secara soft selling memuat tulisan-tulisan yang inspiratif, filosofis, nasihat, dan membuat pembacanya tertarik. Sok bijaklah, ibaratnya.
Berapa jumlah waralaba produksi Anda?
Sekarang, ada 18 waralaba produksi dari beberapa kota. Saya juga menjual toko boneka dengan sistem waralaba, harganya Rp50 juta. Boneka di toko itu dipasok dari Hayashi. Sekarang, ada 86 toko waralaba Hayashi di seluruh Indonesia. Oya, Saya punya pabrik di Bekasi dan enam toko di sekitar pabrik.
Selain memasok ke toko waralaba Hayashi, ke mana lagi menjual boneka?
Kami melayani pesanan dari berbagai perusahaan, instansi, bank, kementerian, bahkan juga pesanan datang untuk acara Sea Games dan PON. Tahun ini, pesanan dari Pegadaian jumlahnya sekitar 45.000 buah. Saya harus selektif menerima pesanan. Saya sendiri enggak pernah ikut tender, karena tidak suka.
Berapa produksi boneka per bulan?
Sekitar 2.000 buah per hari. Pagi diantar pemasok, sore sudah dikirim ke pembeli. Harga paling murah Rp7.000-Rp2,5 juta.
Bagaimana dukungan istri?
Awalnya, istri saya, Dwiyanti Wastini, memang pusing dengan pola pikir saya yang antimainstream. Tapi, sekarang sudah sangat kebal. Dia selalu mendukung langkah saya. Dulu, saya menikahinya ketika masih muda, sewaktu usia saya 22 tahun. Sekarang, dari kelima anak kami yaitu Agin, Dhea, Tiara, Zazkia, dan Hanifa, anak pertama dan kedua ikut terjun ke bisnis ini tanpa saya ajari dan tidak menggunakan nama besar Hayashi.
Anda juga menulis buku. Kapan tepatnya mulai bikin buku?
Lima tahun lalu. Sekarang, ada tiga buku saya, Berbisnis dengan Iman, Menjadi Muslim Miliarder, dan Jangan Biarkan Engkau Menangis. Sekarang, saya sedang membuat buku keempat. Semua hasil royalti penjualan buku saya dedikasikan untuk masjid, pesantren, dan Rumah Quran. Sejak saat itu pula, saya juga mulai diundang jadi pembicara oleh kampus, perusahaan, sekolah, dan pemerintah. Saya diajak pemerintah untuk jadi motivator dan mengajari pembuatan boneka ke desa-desa.
Apa isi bukunya?
Di dalamnya, saya menuangkan cara-cara saya berbisnis. Salah satunya, saya tidak percaya bahwa yang dibisniskan itu sebaiknya yang kita sukai. Saya, kan, tidak suka boneka. Saya anak polisi yang dulu mainnya pistol-pistolan. Menurut saya, dalam bisnis apa pun, passion bukan segalanya. Kalau kita mau seriusi, bisa kok menghasilkan. Saya menyukai ikan hias dan pernah mencoba membisniskannya. Ternyata bangkrut setelah dua tahun. Jadi, hobi pun tidak menjamin kesuksesan berbisnis.
Kiat sukses adalah fokus pada bidang itu, jadilah expert dalam bidang itu, suka atau tidak pada bidang itu. Ketika kita menerima apa yang kita punya dan bisa sukses di bidang itu, itu hebat karena dia bisa mengelola hati.
Banyak cara berbisnis Anda yang tidak lazim, ya?
Ya. Rumus saya, teratur terhadap ketidakteraturan dan fokus pada ketidakfokusan. Saya tidak fokus. Saya suka-suka dalam berbisnis, tidak mau dibatasi. Semua filosofi saya ini saya dapat dari pengalaman kehidupan selama ini. Dalam berbisnis, saya tidak pernah mau tergantung pada pesanan orang. Saya membuat produk yang menurut saya baik, lalu saya jual. Jadi, pembeli harus membeli produk saya, bukan pembeli menyuruh saya harus ini-itu. Bahkan, yang memesan ke Hayashi pun belum tentu diterima.
Saya sudah 22 tahun menekuni dunia boneka, jadi saya tahu mana yang bagus mana yang jelek. Bukan uang melulu yang saya pikirkan. Kualitas dan kreativitas yang jadi ciri khas Hayashi juga harus ada di situ. Saya tidak pernah menganggap pembeli adalah raja. Bagi saya, pembeli adalah partner yang harus sejajar. Kalau pembeli dianggap sebagai raja, jaraknya dengan Hayashi akan sangat jauh, dan saya akan diatur-atur. Boneka Hayashi harus bagus kualitasnya. Selain itu, kalau BBM naik dan perusahaan lain menaikkan harga bonekanya, saya justru menurunkan harga.
Anda tidak takut kompetitor?
Saya tidak pernah peduli pada kompetitor. Malah, kompetitor saya ciptakan, dengan membuat waralaba produksi. Dengan adanya kompetitor, saya jadi berkreasi terus, karena saya takut kalah dari yang saya ciptakan. Kadang-kadang, saya menciptakan kompetitor agar saya tetap maju dan jalan. Kalau tidak ada saingan, saya tidak akan berjalan lebih cepat. Prinsip saya, selama perempuan masih bisa hamil, bisnis boneka ini tetap yang terbaik buat saya. Kalau perempuan sudah tidak hamil lagi, barulah saya berhenti bikin boneka.
Bagi saya, tidak ada kompetitor. Yang ada adalah persahabatan sesama pengusaha. Ini saya buktikan dengan mengumpulkan semua pembuat boneka. Produk mereka saya jual di toko saya. Lawan kita bukan sesama pengusaha lokal, melainkan negara lain yang merusak pasar kita. Ayo kita tumbuh bersama, sesama pengusaha boneka, ayo, saling mendukung, saling untung.
Banyak mantan karyawan saya yang sekarang sukses jadi pengusaha dan duduk bersama saya di asosiasi. Oya, saya juga mendirikan Himpunan Pengrajin Boneka Indonesia dan Koperasi Sepakat Bersama untuk para pemasok boneka saya. Dengan bersama lewat koperasi, kita jadi lebih kuat. Tidak bisa maju kalau berbisnis sendirian. Saya senang melihat kesuksesan mantan pegawai saya. Taraf hidup mereka jadi meningkat.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR