Seberapa pedulinya Anda dengan gadget dan media sosial? Jika iya, mungkin Anda bisa mengabaikan ulasan dari tabloidnova.com ini. Namun jika tidak, Anda layak membaca sampai habis artikel yang mengungkapkan tentang 3 ciri khas ibu generasi millenial yang terdengar konyol nan menggelikan. Mengapa? Siapa tahu Anda termasuk salah satu diantaranya.
Begini pemaparan menarik dari Reynitta Poerwito, Bach, of Psych., M. Psi., Psi., Psikolog Klinis Eka Hospital BSD City, tentang ciri-ciri generasi millenial dalam menggunakan media sosial miliknya.
Baca: 3 Karakteristik Generasi Milenial Saat Traveling
Gadget menjadi penentu status sosial
Berhasrat untuk selalu terdepan dalam teknologi, utamanya gadget. Perangkat canggih ini konon menentukan citra dirinya di mata orang lain, bahkan salah satu penentu status sosial di masyarakat.
Tak heran, model atau jenis gadget pun cepat berganti mengikuti tren dan orang semakin berani berutang alias konsumtif demi gadget impian. Pola perilaku yang juga berbeda dengan generasi sebelumnya, misalnya tidak lagi membaca buku tapi e-book.
Kekurangannya, gadget membuat si millennial sulit untuk membendung informasi sehingga banyak orang yang percaya informasi salah alias hoax. Kesempatan untuk melakukan kegiatan yang melanggar hukum juga lebih besar, seperti mengunduh secara ilegal dan merugikan pihak-pihak tertentu.
Cara sosialisasi si millennial juga berbeda, sebab semua sekarang bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan tanpa harus ditemani dengan teman-teman. Hal ini membuat mereka lebih individualistis.
Baca: Sering Stres Karena Hal Sepele, Ciri Anda Termasuk Ibu Generasi Millenial?
Kepuasan pribadi atas “like” atau “comment”
Gemar menampilkan diri pada ‘audiens’ adalah ciri khas generasi millenial. Update status, unggah foto atau video ke media sosial. Tujuannya, mendapatkan banyak like atau komentar.
Plusnya, bisa mengetahui kondisi perasaan teman apakah sedang gembira, sedih, maupun bingung atau marah. Kita juga bisa memberikan dukungan via online, tidak harus bertatap muka.
Sayangnya, banyak orang yang menganggap like maupun komentar menjadi hal yang sangat penting untuk didapat karena mencerminkan penerimaan sosialnya. Dampaknya adalah, ketika ekspektasinya tidak terpenuhi, banyak yang menjadi tertekan, sedih, depresi, maupun menganggap dirinya tidak diterima/tidak dipedulikan.
Dan karena komentar orang lain mengenai diri kita dianggap sangat penting, kita jadi sulit menerima kondisi fisik kita apa adanya. Oleh karena itu, aplikasi yang dapat “memperbaiki” wajah dan hasil akhir foto yang lebih baik sangat digemari oleh orang-orang yang suka memposting wajah/anggota tubuh mereka yang lain. Lebih parah lagi kondisi ini dapat menjadi trigger munculnya gangguan mental, seperti body dysmorphic disorder dan lainnya.
Baca: Anak Zaman Sekarang Akrab dengan Teknologi, Ini Sekolah Incaran Orangtua di Era Digital
Postingan yang dirasakan akan mendapatkan banyak like/komentar beragam, seperti selfie, curhat mengenai masalah pribadi, atau memposting hal-hal yang dulunya merupakan kepuasan pribadi seperti perjalanan liburan dan kesuksesan lainnya. Bisa saja tumbuh kecemburuan sosial dan rasa persaingan yang seharusnya tidak perlu ada di antara perkumpulan sosialnya.
Tanpa disadari, si millennial tergantung pada media sosial. Bisa juga menjadikan kita sombong/ingin pamer mengenai rumah baru, perjalanan liburan, pencapaian, barang-barang yang dibeli, atau memamerkan kondisi fisik maupun pemikiran kita.
Dampaknya, banyak orang lain yang merasa iri, merasa tidak mampu, atau menambah tekanan karena tidak memiliki kehidupan sebaik teman-temannya. Selain itu, orang lain dengan sangat mudah mengetahui keberadaan kita, kemampuan finansial, maupun hal-hal lain yang sifatnya pribadi. Hal ini memicu orang yang tergoda untuk melakukan kejahatan.
Baca: Psikolog Ungkap Masalah Terbesar Ibu Rumah Tangga Modern Sekarang
Mementingkan ikatan sosial yang semu
Kehidupan sosial menjadi nilai penting bagi generasi milennial. Salah satu caranya adalah bergabung dalam banyak grup media sosial melalui gadget. Kita dapat berbagi minat, pemikiran dan hal lainnya di dalam grup tersebut.
Bermunculan juga platform petisi seperti Change.org yang memudahkan millennial untuk beropini dan menyatakan pandangan mereka akan berbagai fenomena sosial di tengah masyarakat. Hal ini membuat kita mengurangi rasa kesepian atau kesendirian, serta memberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang baru dengan lebih mudah.
Namun, banyak grup di media sosial yang pada akhirnya terikat secara ‘semu’ karena mungkin tidak semua orang di media sosial dapat kita kenal secara langsung. Ada juga grup-grup yang berisikan orang-orang random, maksudnya belum tentu dari kalangan yang kita kenal. Beda dengan kelompok yang memang mengadakan pertemuan di luar media sosial, sehingga kita harus tetap berhati-hati dalam memilih grup di media sosial.
Hilman Hilmansyah/TabloidNova
Dari berbagai sumber
KOMENTAR