Pernikahan harmonis hingga maut memisahkan menjadi dambaan setiap pasangan.
Namun, dengan berjalannya waktu, usia pernikahan akan diuji berbagai kondisi pasca menikah.
Jika tak mampu melewati dengan solusi yang disepakati, sayangnya banyak pasangan yang memilih mengakhiri ikatan mereka sebagai suami-istri.
Padahal, cerai belum tentu cara tepat untuk sebuah jalan keluar.
(Baca: Suami Dekat dengan Perempuan Lain Tanpa Peduli Perasaan Istri, Lebih Baik Cerai atau Bertahan?)
Ada beberapa tahap yang bisa diupayakan sebelum bersepakat untuk melakukan cerai:
1. Menemukan akar permasalahan dari keduanya
Apa sesungguhnya yang membuat ada pihak ketiga?
Kekurangan-kekurangan apa yang bisa dipenuhi oleh pihak ketiga yang selama ini mungkin tidak disadari oleh pasangan?
"Hal ini memang membutuhkan proses memaafkan terlebih dahulu supaya proses penemuan akar masalah tuntas," ujar Luki Arinta, Psi., M.Si., inner growth psychologist dan Founder & fasilitator Soul of Speaking & ICOMM.
(Baca; Bukan Cuma Perempuan Lain, Hal Ini Juga Bisa Membuat Suami Rela 'Mendua')
2. Mediator netral
Bila komunikasi berdua dirasakan sulit, ada baiknya mendapatkan mediator yang netral, bisa orang tua atau saudara yang dipercaya atau sudah senior, atau konsultan pernikahan.
(Baca: Selain Komunikasi dan Keuangan, Faktor Satu Ini Tentukan Kebahagiaan Suami Istri)
3. Yang baru tidak selalu lebih baik
Yang sering terjadi, menganggap bahwa pihak ketiga lebih baik daripada pasangan.
“Padahal banyak kasus yang terjadi, saat sudah menjalani hidup bersama pihak ketiga, tak berjalan sesuai yang diharapkan semula.”
(Baca: Rumah Tangga Membosankan, Waspadai Kehadiran Orang Ketiga!)
4. Menjadi pemicu
Perceraian juga bisa terjadi karena awalnya masalah sudah akut, hanya tidak ter-blow up.
Saat ada pihak ketiga lalu menjadi trigger untuk putusnya hubungan pernikahan.
(Baca; Chat Mesra dan Sering Curhat, 2 dari 10 Tanda Anda Mulai Selingkuh Hati)
Lantas bagaimana jika permasalahan suami-istri ini dirasakan juga oleh anak-anak?
Haruskah mereka diberitahu?
Menurut Luki, kurang bijaksana rasanya jika anak-anak diberitahu.
Masalah ini adalah masalah suami istri, bukanlah masalah anak-anak.
"Apalagi kalau salah satu pihak lalu mencari pembelaan kepada anak-anak dan akhirnya membentuk kubu."
Dalam hal ini akan membentuk kondisi yang tidak sehat untuk perkembangan anak-anak.
Sebaiknya hindari untuk melibatkan anak-anak dalam masalah pribadi antara pasangan.
(Baca: Mencari Kedekatan Emosional yang Kuat, 1 dari 5 Alasan Perempuan Berselingkuh)
Di saat anak-anak barangkali tanpa sengaja melihat atau mengaetahui keadaan tersebut, lalu menanyakan kepada kita, berilah jawaban yang bersifat netral.
“Memang ini proses yang tidak mudah karena melibatkan emosi dan perasaan. Bimbing anak-anak untuk bisa menilai dari sudut pandang mereka sendiri tanpa dipengaruhi oleh penilaian subyektif dari kita.”
(Baca: Yang Lebih Menyakitkan Dibanding Perselingkuhan)
Tapi Semua Itu Bisa Berubah...
Kita punya keterbatasan dalam mengontrol pikiran, perasaan, kata-kata, dan tindakan pasangan/suami.
“Yang bisa kita kontrol adalah resonansi yang datang pada kita. Dengan menentukan resonansi tentang kesetiaan, maka kita akan menarik karakter-karakter, situasi-situasi dan keadaan-keadaan yang berenergi kesetiaan.”
Bahkan bisa mengubah keadaan yang sebelumnya mengecewakan menjadi keadaan yang berubah membahagiakan.
“Dari yang sebelumnya pasangan/suami pernah atau suka mendua menjadi seseorang yang setia dan lebih baik.”
Jika kita tidak mau mengubah resonansi dalam diri kita, jangan heran bila keadaan tetap sama bahkan berulang-ulang terjadi.
“Sepertinya takdir kita seperti itu. Padahal sesungguhnya kita bisa mengubah jalan hidup kita menjadi lebih baik.”
(Baca: Penting! Lakukan 6 Hal Ini Agar Rumah Tangga Jauh dari Perselingkuhan)
Penulis | : | Ade Ryani HMK |
Editor | : | Ade Ryani HMK |
KOMENTAR