NOVA.id - Tak ada orang tua yang sengaja ingin membuat anak-anaknya jadi manja atau tidak tangguh.
Tetapi karena begitu sayangnya kepada si buah hati, sering salah langkah dalam mengasuh anak-anaknya.
Kesalahan pola asuh pada anak, bukan saja berpengaruh pada cara anak menjalankan
kehidupannya, tetapi lebih panjang lagi.
“Sayangnya, beberapa kesalahan pola asuh itu bisa berdampak sangat panjang,” kata Rina Mulyati, S.Psi., M.Si., Psikolog dan Staf Pengajar Prodi Psikologi Universitas Islam Jogjakarta.
“Mereka akan melanjutkan kesalahan ini kepada anak-anak mereka saat mereka menjadi orang tua. Padahal ketika lahir anak membawa potensi baik,” jelas Rina.
Seharusnya, lanjutnya, orang tua menjaga potensi baik ini agar tumbuh dan berkembang menjadi karakter baik.
Baca juga: Ingin Kerja Tapi Dilarang Pasangan? Mungkin Ini Beberapa Alasannya
Namun tanpa disadari ada beberapa pola asuh yang justru “menjerumuskan” anak, antara lain:
1. Tidak Mengambil Tanggung Jawab
Orang tua menyalahkan pihak lain atas suatu kejadian yang dialami anak.
Misal, saat anak terjatuh, maka yang disalahkan adalah lantai.
“Lantainya nakal, ya”.
Ucapan ini biasanya disertai tindakan sambil memukul lantai.
Sehingga, dampaknya sang anak belajar kalau dia melakukan kesalahan atau mengalami
sesuatu yang tidak menyenangkan, maka ia tidak perlu bertanggung jawab atas peristiwa
yang dialaminya.
Sebaliknya, ia boleh menyalahkan orang lain.
Ketika anak jatuh karena kurang hati-hati, segera obati lukanya.
“Kemudian ajak mengevaluasi penyebab ia jatuh. Sehingga lain kali ia bisa
lebih berhati-hati.”
Baca juga: Psst... Ternyata Inilah 6 Zodiak yang Punya Potensi Jadi Orang Kaya!
2. Fokus Pada Kekurangan
Ketika anak bercerita kalau nilainya empat (terbesar nilai 10), orang tua akan cenderung fokus pada 6 soal yang salah.
“Seharusnya justru lebih dahulu memberi apresiasi pada anak yang sudah menjawab
4 soal dengan benar.“
Hal ini tentunya membuat anak akan sulit mengapresiasi kebaikan yang dilakukan orang lain jika tidak sesuai dengan standar yang diharapkannya.
Baca juga: Tempe Goreng Renyah Kencur Pelengkap Nikmatnya Santap Pagi Kali Ini
3. Mengancam, Tapi Tidak Melakukan
Ketika anak berulang kali melakukan sesuatu yang diminta, orang tua kemudian mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu melontarkan ancaman.
“Ayah buang gadgetnya kalau tidak berhenti”.
Kenyataannya anak terus bermain dan gadget tidak dibuang.
Sehingga, anak belajar bahwa ancaman orang tua tidak berdampak apa-apa.
Semakin sering dilakukan, tidak ada harganya kata-kata yang diucapkan orang tua.
Anak tumbuh menjadi orang yang abai terhadap aturan.
Baca juga: Gemas, Anak-Anak Keluarga Kerajaan Inggris Selalu Mencuri Perhatian
4. Menyuapi Solusi
Orang tua cenderung tergesa-gesa memberikan solusi pada setiap permasalahan anak.
Orang tua tidak sabar dan telaten membimbing anak menjalankan tahap-tahap penyelesaian masalah.
Contoh, saat anak mengeluh ada pelajaran yang sulit, maka orang tua langsung memanggil guru les.
Ketika mencari sekolah, maka orang tua terjun langsung mengambil formulir pendaftaran sampai mencari lokasi tes.
Akhirnya, anak akan tumbuh dengan kemampuan problem solving yang lemah.
Baca juga: Jika Terjadi 7 Hal Ini Pada Tubuh, Tandanya Kita Sedang Jatuh Cinta!
5. Pembiaran (terhadap hal-hal yang salah).
Banyak perilaku tidak pantas yang dilakukan anak seperti suka memaki, memukul orang, merusak, dan mengambil barang orang lain.
Seyogianya, orang tua perlu waspada dan tidak abai bila anaknya melakukan salah satu tindakan itu.
“Orang tua harus tegas melarang ketika anak mulai mencoba atau memunculkan perilaku tersebut."
Ketika dibiarkan melakukan hal yang tidak pantas, maka anak belajar bahwa perilaku itu oke-oke saja untuk diteruskan dan lama kelamaan akan membentuk belief.
Baca juga: Tunjukkan Interaksi dengan Sang Putra, Bulu Mata Anak Reisa Brotoasmoro Bikin Gagal Fokus
6. Suka Menakut-nakuti dan Menularkan Keyakinan yang Salah
Ketika anak berperilaku tidak sesuai dengan aturan, orang tua kadang menakut-nakuti dengan mengatakan “Awas, nanti disuntik dokter”.
Atau menularkan keyakinan yang tidak memberdayakan pada anak.
Misal, ayo belajar, matematika itu susah, lo.
Keyakinan yang berkembang pada anak adalah dokter itu sukanya menyakiti dengan jarum
suntiknya.
Jika mereka memang sulit memahami matematika, selayaknya tidak ikut menanamkan keyakinan “matematika sulit” pada anak.
Baca juga: Inspiratif, Ini Kisah Dokter Amalia saat Bertugas di Pedalaman Papua
7. Menceritakan Kisah yang Tidak Mendidik
Cerita “Si Kancil” yang mampu “memanfaatkan” buaya untuk bisa menyeberang sungai.
Kancil pintar menipu orang lain untuk mencapai tujuannya.
Hal ini akan menjadi bahaya jika si anak berpikir bahwa ternyata boleh memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan atau boleh membohongi orang untuk memenuhi keinginan pribadi.(*)
Rilis Inclusivision Project, Honda Beri Wadah Teman Color Blind Ekspresikan Diri
Penulis | : | Healza Kurnia |
Editor | : | Healza Kurnia |
KOMENTAR