Kemungkinan Penyebab Tsunami Banten, Mulai dari Erupsi Hingga Volcanogenic Tsunami

By Alfiyanita Nur Islami, Senin, 24 Desember 2018 | 10:49 WIB
Erupsi Rakata, anak Gunung Krakatau pada Minggu, 23 Desember 2018 (Awak Susy Air)

NOVA.id – Gelombang tsunami yang menghantam sekitar daerah Banten dan Lampung Sabtu (22/12) menimbulkan banyak pertanyaan terkait penyebab bencana ini bisa terjadi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menduga ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab gelombang tinggi di sekitar Selat Sunda.

Alasan pertama, yakni aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau, dan akibat faktor cuaca di perairan Selat Sunda.

Baca Juga : Jangan Salah! Ini Dia Cara Menggoreng Makanan yang Tepat Agar Tetap Sehat

Di samping itu, Volkanolog ITB Dr Mirzam Abdurachman menjelaskan, aktivitas Gunung Anak Krakatau sudah meningkat sejak beberapa bulan terakhir.

"Letusan besar terjadi pukul 18.00 WIB dan terus berlanjut hingga pagi ini. Bahkan letusannya terdengar hingga Pulau Sebesi yang berjarak lebih dari 10 km arah timur laut seperti di laporkan tim patroli," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip dari Kompas.

Menurutnya, gunung yang berada di tengah laut ini sewaktu-waktu bisa berpotensi menghasilkan volcanogenic tsunami.

Baca Juga : Sebelum Meninggal, Herman Seventeen Disebut Kerap Nyanyikan Lagu Tentang Kepergian

"Volcanogenic tsunami bisa terbentuk karena perubahan volume laut secara tiba-tiba akibat letusan gunung api," paparnya.

Ia memaparkan, ada empat mekanisme yang bisa menyababkan volcanogenic tsunami.

Erupsi Rakata, anak Gunung Krakatau pada Minggu, 23 Desember 2018. (Awak Susy Air )

Baca Juga : Pasca Tsunami Selat Sunda, Pengungsi Korban di Lampung Capai 2.500 Orang

Pertama, kolapnya kolom air akibat letusan gunung api yang berada di laut, mudahnya seperti meletuskan balon pelampung di dalam kolam yang menyebabkan riak air di sekitarnya.

Kedua, adanya pembentukan kaldera akibat letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan kesetimbangan volume air secara tiba-tiba.

Ini seperti menekan gayung mandi ke bak mandi kemudian membalikannya adalah analogi pembentukan kaldera gunung api di laut.

Baca Juga : Beri Perlakuan Berbeda, Istri Herman Seventeen Ungkap Firasat Kepergian Sang Suami

"Mekanisme satu dan dua ini pernah terjadi pada letusan Krakatau, tepatnya 26-27 Agustus 1883.

Tsunami tipe ini seperti tsunami pada umumnya didahului oleh turunnya muka laut sebelum gelombang tsunami yang tinggi masuk ke daratan," katanya.

Kemudian yang ketiga, material gunung api yang longsor bisa memicu perubahan volume air di sekitarnya.

Baca Juga : Menangis, Istri Herman Seventeen Kabarkan Jenazah Suami Dibawa ke Tidore Pagi Ini

Tsunami tipe ini pernah terjadi di Gunung Unzen, Jepang tahun 1972.

Banyaknya korban jiwa saat itu hingga mencapai 15.000 jiwa disebabkan pada saat yang bersamaan sedang terjadi gelombang pasang.

Terakhir, aliran piroklastik atau yang sering dikenal wedus gembel yang turun menuruni lereng dengan kecepatan tinggi saat letusan terjadi, bisa mendorong muka air jika gunung tersebut berada di atau dekat pantai.

Baca Juga : Kisah Ifan Seventeen: Saya Terlempar Jauh, Hingga Terapung Sekitar 2 Jam Karena Tsunami

Tsunami tipe ini pernah terjadi saat Gunung Pelee, Martinique, meletus pada 8 Mei 1902.

Saat itu aliran piroklastik Gunung Pelle yang meluncur dan menuruni lereng akhirnya sampai ke Teluk Naples, mendorong muka laut dan menghasilkan tsunami.

Baca Juga : Berita Terpopuler: Ifan Seventeen Ceritakan Orang Saling Menenggelamkan Saat Tsunami Banten Hingga Keinginan Terakhir Herman

“Volcanogenic tsunami akibat longsor atau pun aliran piroklastik umumnya akan menghasilkan tinggi gelombang yang lebih kecil dibandingkan dua penyebab sebelumnya, namun bisa sangat merusak dan berbahaya karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut, seperti yang terjadi di Selat Sunda tadi malam," katanya.

Di samping itu, hal tersebut masih perlu dilakukan penelitian dan pendalaman lebih lanjut. (*)