Tanya Jawab Psikologi NOVA: Aku Ingin Mengakhiri Hidup Karena Keluargaku

By Tiur Kartikawati Renata Sari, Kamis, 11 April 2019 | 20:30 WIB
Tanya Jawab Psikologi NOVA: Aku Ingin Mengakhiri Hidup Karena Keluargaku (Pixabay/duy_ittn)

NOVA.id - Terkadang masa remaja tidak selamanya indah.

Disaat butuh pengawasan dan kasih sayang, remaja satu ini justru ingin akhiri hidup karena keluarganya.

Menurut psikologi, begini solusi tepat untuk sang remaja yang depresi seperti yang telah tayang di Tabloid NOVA edisi 1616. 

Baca Juga : Simpang Siur, Ini 5 Fakta Kasus Penganiayaan Audrey Oleh 12 Siswa SMA di Pontianak

Halo, Aku remaja berumur 18 tahun dan sedang menempuh tingkat terakhir di SMA, tahun ini juga, aku akan kuliah, namun, aku merasa tidak siap. Aku sebenarnya bingung ingin memulai dari mana, keluargaku tidak sempurna, sejak aku lahir aku tinggal di rumah nenek pihak ibu, ayah ibu tidak pernah rukun, bahkan sebelum aku lahir, pihak ayah menambah panas masalah karena menjadikan ayahku sebagai tulang punggung keluarga, entah mengapa, ayahku mau-mau saja, namun, keluarganya sendiri tidak mendapat sepeserpun, ibuku bekerja dua kali lipat untuk membiayaiku, sehingga aku dititipkan di salah satu kota kecil di Jawa Barat bersama nenekku.

Aku anak dan cucu tertua di keluarga besarku, sehingga aku sering dijadikan contoh, awalnya semua orang perhatian padaku, namun, semenjak sepupu-sepupuku lahir, semua mulai sibuk pada anaknya masing-masing, karena aku tinggal sendiri di keluarga ibu, aku jadi kesepian, selama aku kecil aku tidak pernah diizinkan main ke luar rumah, ini membuatku semakin patah hati, membenci keluarga nenek yang mengekangku, pelarianku adalah media sosial, di sana aku menemukan banyak anak yang bernasib sama sepertiku.

Baca Juga : Biasa Tampil Cetar, Syahrini di Rumah Cuma Pakai Kaos saat Tunggu Suami Pulang!

Aku baru bisa bersosialisasi kalau sepupu-sepupuku dating, namun, ini hanya berefek saat aku SD, ketika aku SMP dan SMA, aku semakin gagap untuk bersosialisasi, sekarang aku sudah bebas ke mana saja, kecuali ke luar kota, tapi aku malah ragu, aku seperti tak bisa menatap mata orang.

Aku sering di-bully, secara verbal, aku dibesarkan di keluarga yang relijius, sehingga dilarang untuk balas dendam, setiap di-bully, aku tersenyum dan memaafkan walaupun seringkali aku yang rugi dan menangis semalaman, saat SMP, pem-bully-ku sedikit mulai waras.

Aku anak yang kuat menghadapi cobaan dari luar, tetapi semua berubah ketika cobaan dari dalam muncul dan menghancurkan pertahananku, aku sering berpikir untuk mengakhiri hidup, ayahku bangkrut delapan tahun yang lalu dan memaksa ibuku memberikan uang padanya hingga sekarang, mereka tidak bisa bercerai karena beberapa factor, ayahku pernah mengajukan cerai tapi ibuku tidak mau, aku, padahal setuju jika mereka berpisah.

Baca Juga : Sempat Unggah Foto Keanu Masssaid, Akun Instagram Angelina Sondakh Ikut Simpati pada Kasus Audrey Aku bersyukur tidak tinggal dengan orangtuaku, karena tiap hari mereka bertengkar, adikku menderita di sana, adik tidak mau pindah ke sini karena dia dekat dengan ibuku, ibuku pun sangat butuh pegangan harapan kepadanya. Semua cita-citaku ditolak oleh ibu, dia ingin aku mengikuti jejak kariernya, karena menurutnya itu paling aman jika suatu saat nanti aku dapat suami seperti ayahku, aku tidak suka, walaupun pekerjaannya cukup simpel dan bayarannya tinggi, karena, banyak saingannya, sulit untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.

Aku mencintai seni, kebudayaan, pandai menggambar, dan penikmat seni pertunjukan, menggambar bisa mencurahkan isi hati dan perasaan burukku, semua mengalir begitu saja, saat memegang alat warna apapun, aku merasa beba, aku ingin menjadi penggiat seni, tapi ditentang oleh ibuku, aku benar-benar patah hati, ibuku mulai berekspektasi aku mengikuti keinginannya, itu membuatku muak dan nilaiku semakin turun, pikiran untuk mengakhiri hidup semakin sering muncul.

Baca Juga : Menantu Ani Yudhoyono Rindu, Aliya Rajasa: Kita Terpisah Sebentar ya Memo

Saat SMP aku pacaran dengan orang yang juga broken home dan kesepian, aku merasa senasib, kita dekat, saling mendengarkan, berkeluh kesah dan saling saying, dia satu-satunya orang yang pernah aku bisa percaya, setelah sekian tahun aku tak bisa percaya sama siapapun., tapi kami berpisah saat SMA, karena aku banyak kegiatan di sekolah, ini salah satu titik terendahku, wajahku jadi semakin lesu, nilaiku terjun bebas, berat badan naik, hubungan dengan orangtua semakin kacau, mulai gagap bicara, jadi pendiam, dan sulit menatap mata orang.

Aku gagal move on hampir 2 tahun, kemudian aku bertemu kembali dengan seseorang, kami LDR. Sejak dia hadir, dadaku mulai terasa ringan, pikiran bunuh diri semakin sedikit, memang, dia tidak terlalu mengerti tentang yang dialami otakku, tapi dengan dia hadir saja, sudah bikin aku tenang, sayangnya, semalam sebelum surat ini ditulis, kami putus. Ibu semakin tidak peduli, dia hanya perhatian kepada adikku, ayah mulai mencoba peduli padaku, dia mendukung cita-citaku, tapi terhambat biaya karena tidak stabil finansialnya, sehingga aku masih dibiayai ibuku, aku sempat bertengkar dengan ibu dan tidak berbicara beberapa bulan.

Aku lelah sekolah, bermedia sosial, bersosialisasi, dan lelah tinggal dengan keluargaku yang manapun, rasanya aku ingin menghilang dari Bumi, jika kematian bukan jawaban, aku setidaknya tidak ingin hidup di peradaban manusia yang penuh dengan ekspektasi, pikiran negatif sering muncul.

Baca Juga : Kembali Produksi Lagu Anak, Tasya Kamila Sempat Sebut Sulit Bernapas saat Rekaman Lagu

Aku sempat bergabung dengan tempat belajar persiapan ujian universitas di luar kota, aku takut rasa tidak bergaul ini bertahan lama, aku tak mau kesempatan bersosialisasiku hilang hanya karena aku begini, tapi aku lelah, tidak percaya dengan siapapun, hanya ingin meracau di media sosia, aku merasa sendirian, tanggung jawabku sebagai anak tertua makin besar, sepupu-sepupu mencontohku, dan aku disuruh ibuku membiayai adikku, aku merasa aku lelah hidup, menyedihkan.

Aku tahu sebenarnya aku hanya butuh dukungan, tapi aku tidak tahu bentuknya seperti apa, aku jadi bingung dan lupa, seperti apa rasanya punya keluarga yang normal dan saling mendukung, aku merasa ada beban lebih dari ini yang ingin kutumpahkan, tapi aku tidak tahu bagaimana menuliskannya lagi. Salsabilla – di X

Jawab:Dear Salsabila,Saya ingin sekali memelukmu, sayangku, mengelus punggungmu, membuatmu merasakan betapa nyamannya kalau kita bersentuhan dengan orang lain dan saling memberikan energi dan memberi ketulusan saat melakukannya, sentuhan, elusan, pujian, dan segala bentuk perhatian yang bisa membuat seseorang merasa bahwa kehadirannya di muka Bumi ini memang diinginkan dan diterima apa adanya, inilah yang hilang atau malah belum pernah Anda terima selama 18 tahun hidup.

Baca Juga : Komentari 12 Siswa SMA Penganiaya Audrey, Ashanty: Wajah Manis Berdarah Dingin!

 

Saya mengatakannya sebagai “gizi psikologis”, yang dibutuhkan manusia untuk tumbuh dan berkembang, tangguh, cerdas,serta punya kesediaan mental untuk matang secara social, ini sama pentingnya dengan gizi dari makanan dan minuman sehat serta buah-buahan.

Perkembangan emosi dan kepribadian pada umumnya akan ideal bila dilandasi oleh rasa nyaman yang bersumber pada perasan bahwa ia dicintai apa adanya, diterima sebagai idividu utuh yang memang berbeda dibanding orang lain, bahkan ibunya sekalipun, ini bukan berarti bahwa semua perilakunya akan dibenarkan begitu saja, karena hanya akan menumbuhkan kemanjaan tak berbatas, serta minimnya kesediaan untuk menerima bahwa di sekelilingnya ada orang lain yang juga punya kebutuhan yang sama dengan dirinya.

Salsa sayang, kan, kita ini disebut sebagai mahluk sosial, maka suka tak suka, kehadiran dan eksistensi orang lain akan mewarnai hidup kita, maka, kita beranjak dewasa dengan “sehat” bila kita punya skill untuk beradaptasi, berinteraksi, bertoleransi, dan lebih jauh lagi berempati, apa indikatornya? Makin mampu kita merasa nyaman berada dalam perbedaan, makin mantap kita dengan identitas diri kita, berempati artinya mencoba memahami mengapa orang lain berpikir, berperasaan, dan berperilaku seperti yang kita lihat, tanpa kita larut ke dalamnya.

Baca Juga : Diduga Dibully 12 Siswa SMA, Kapolresta Pontianak Kuak Hasil Visum Audrey: Tak Ada Luka di Organ Intim

Contoh, ibu menyuruh Anda menempuh jalur pendidikan yang sama dengan dirinya, sementara Anda ingin jadi pekerja seni, janganlah buang energi Anda untuk membencinya, karena dia tak paham Anda, coba juga untuk memahami mengapa ibu ngotot Anda harus seperti dia, pasti maksudnya bukan untuk menjerumuskan Anda, bukan?

Mengapa ngotot? Ibu tak ingin Anda bernasib sama dengannya, mencari nafkah jungkir balik, sementara suami hanya menopang keluarga besarnya, ketika Anda mau belajar melihat seluruh permasalahan, bukan hanya dari sisi-sisi yang bersinggungan langsung dengan Anda, insyaallah Anda akan melihat sisi heroik ibunda, deh, berjuang untuk tetap ada di samping suaminya, walau tampak jauh dari harmonis.

Berikutnya, yuk, coba untuk mengubah cara pandang ke sisi yang lebih positif, lebih cerah, dan optimistic, Anda punya nenek, paman, dan bibi yang berfungsi jadi pengganti kehadiran ibu saat berjuang di kota, kan? Jangan terpaku pada kenyataan bahwa adik lebih dekat ke ibu, wajar, dong, kan setiap hari mereka bersama, bukankah ibu tetap membiayai Anda, peduli masa depan Anda, walau dengan cara yang membuat Anda tak nyaman.

Baca Juga : Masih Mengandung Anak Kedua, Tya Ariestya Sudah Siap Program Hamil Anak Ketiga

Saya tidak membahas perihal hubungan asmara ya, karena saya pikir ini fenomena yang lazim, saat menjadi mahasiswa, insyaallah akan membuka cakrawala pemikiran yang berbeda, karena nanti lebih banyak manusia dewasa di sekeliling Anda, tetap memperjelas tujuan hidup, ya, sayangku, bayangkan, apa yang Anda canangkan akan menjadi tonggak keberhasilan hidup untuk 5 sampai 10 tahun yang akan dating, mudah-mudahan saat Anda makin tahu apa yang Anda mau untuk hidup, cara berpikirpun akan menjangkau lebih jauh ke depan dan Anda tidak sibuk hanya mengelola kejadian sehari-hari saja. Ayo, lebih banyak senyum, gaul, dan semangat, ya, salam sayang. (*)