NOVA.id - Insomnia atau sulit tidur dialami oleh banyak orang di seluruh dunia.
Insomnia bisa menyebabkan dampak buruk kesehatan, seperti masalah kardiovaskular, diabetes, dan depresi.
Tapi apa yang menyebabkan seseorang mengalami insomnia?
Baca Juga: Liburan Keluarga Santai ala Sabai Dieter, Tidak Memaksakan Asal Bjorka Bahagia
Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa diet dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang.
Sebuah studi dari Columbia University Vagelos College of Physicians and Surgeons di New York City pun menunjukan bahwa diet tinggi karbohidrat, terutama gula tambahan, juga menyebabkan risiko insomnia yang lebih tinggi.
Kasus ini setidaknya berlaku pada perumpuan berusia 50 tahun ke atas.
Para peneliti mempelajari data 53.069 perempuan berusia 50-79 tahun yang berpartisipasi.
Setelah meneliti data yang ada, para peneliti menemukan hubungan antara insomnia dengan diet tinggi karbohidrat.
Diet tinggi karbohidrat itu seperti makanan dengan tambahan gula, soda, nasi putih, dan roti tawar.
Baca Juga: Diet Puasa 10:14 Efektif Kurangi Lemak Perut Hingga 4%! Seperti Apa Dietnya?
Para peneliti mencatat bahwa ada hal mendasar yang menjelaskan bahwa gula tambahan memang menyebabkan insomnia.
"Ketika gula darah meningkat dengan cepat, tubuh kamu bereaksi dengan melepaskan insulin, dan penurunan gula darah yang dihasilkan dapat menyebabkan pelepasan hormon seperti adrenalin dan kortisol, yang dapat mengganggu tidur," jelas salah satu peneliti, James Gangwisch, dilansir dari medicalnewstoday.com.
Meski begitu, tidak semua gula menyebabkan gangguan tidur, lho, Sahabat NOVA.
Buah dan sayur yang memiliki gula alami tidak akan mungkin meningkatkan kadar gula darah seperti makanan yang mengandung gula tambahan.
Ini karena buah dan sayur merupakan makanan yang berserat tinggi, yang berarti tubuh menyerap gula lebih lambat sehingga dapat mencegah lonjakan kadar gula darah.
Hal itu senada dengan perempuan-perempuan yang diteliti.
Mereka yang melakukan diet kaya sayuran dan buah-buahan tidak memiliki peningkatan risiko insomnia.
Meskipun hanya meneliti perempuan di atas 50 tahun, para peneliti percaya bahwa penemuan ini bisa berlaku untuk laki-laki dan semua orang di umur yang berbeda-beda. (*)