Waspadai Manipulasi Gaslighting agar Tak Perlu Minta Maaf Saat Tidak Bersalah

By Siti Sarah Nurhayati, Rabu, 21 Oktober 2020 | 14:04 WIB
Waspadai Manipulasi Gaslighting Agar Tak Perlu Minta Maaf Saat Tidak Bersalah (Istock)

 

NOVA.id - Belum lama ini, sebuah akun media sosial @jerujiemas menghebohkan jagat dunia maya dengan thread yang menceritakan sosok R (perempuan), yang menjadi korban gaslighting oleh kekasihnya NC (lelaki).

Dia dipaksa berhubungan badan dengan NC selama 2 tahun lamanya, hingga 4 kali hamil dan 4 kali menggugurkan kandungan karena dipaksa minum misoprostal oleh NC, hingga mengalami pendarahan yang sangat hebat dan membahayakan nyawanya.

Selama itu pulalah R bungkam dan merasa dirinya gila atas kata cinta sekaligus pemaksaan yang dilontarkan kekasihnya hingga tidak sadar telah menjadi korban kekerasan seksual.

Baca Juga: Jangan Takut, Ini 5 Tips Aman Berhubungan Intim setelah Melahirkan

Nah, jika diperhatikan, NC ini sangat pintar membuat situasi seolah-olah korbannya ikut menikmati tindakan asusila yang ia perbuat, ya?

Lalu istilah gaslighting pun menjadi perbincangan hangat di media sosial. Sebenarnya apa itu gaslighting?

Gaslighting adalah salah satu taktik manipulasi ke pasangan untuk mendapatkan power atau kekuasaan atas pasangannya sendiri,” demikian penjelasan Psikolog Klinis Anak, Mental Health Advocate, Speaker & Survivor, Anastasia Satriyo saat berbincang dengan NOVA.

Baca Juga: Lakukan 5 Hal Ini agar Hubungan Intim Menjadi Hot dan Dijauhkan dari Rasa Gugup

Terdengar simpel, bukan? Namun, pada kenyataannya gaslighting ini sangat berbahaya bagi kesehatan mental.

Efeknya pun tak main-main, sebab secara bertahap perilaku ini bisa membuat korban tak percaya diri hingga sulit membedakan antara kebenaran dan kebohongan.

“Efek yang paling parah banget, bisa membuat korban mengakhiri hidupnya karena merasa dia enggak berharga dan menjadi beban setelah selalu gagal atau salah terus."

"Makanya si gaslighter (pelaku gaslighting) ini mereka seperti predator alias bisa mendeteksi orang mana yang lemah yang bisa di-gaslighting dan mana yang enggak,” kata Anas, sapaan akrab Anastasia Satriyo.

Baca Juga: Peduli Kesehatan Jiwa, Menjadi Manusia Buka Ruang Bercerita di Hari Kesehatan Mental Sedunia

Sifat Nartistik

Sebenarnya gaslighting sendiri bukanlah istilah baru dalam dunia psikologi. Istilah ini sudah hadir sejak tahun 1940-an, kala sutradara Inggris, Thorold Dickinson, merilis film ketiganya berjudul Gaslight.

Di sana diceritakan seorang lelaki bernama Paul Mallen seorang psikopat yang terus menuduh istrinya, Bella Mallen, untuk kesalahan yang tidak diperbuat sang istri.

Semakin lama tuduhan itu pun semakin menyesakkan dan membuat Bella menjadi gila dan kebingungan akan realita.

Baca Juga: Sosial Media Bikin Pusing? Ini Langkah Detoks Sosmed yang Bisa Dicoba

Infografis Gaslighting (Infografis | Christina Dwi)

Padahal sejak awal memang Paul-lah yang “mencuci otak” si istri dengan segala macam perkataan yang mengarah pada menghakimi (judgemental) hingga berhasil menghidupkan “realita” yang ia bangun untuk sang istri.

Nah, menurut Anas, sosok Paul ini bisa dibilang memiliki gangguan kepribadian yang membuat mereka puas berlaku demikian.

“Mereka tipe gangguan kepribadian antisosial. Awalnya mereka charming banget ke kita. Jadi kita mikir, kayaknya dia orang yang bisa diharapkan, ya. Tapi setelah intimate relationship, kita kayak dijadiin sampah sama dia,” tuturnya.

Baca Juga: Selain Bikin Tubuh Bugar, Ini 7 Manfaat Olahraga yang Tak Terduga

Pelaku gaslighting ini biasanya seakan memainkan drama di dalam kehidupan korban, memanipulasi dengan sesuka hati dan membantah pembelaan korban dengan dalih “cuma perasaan kamu aja, kali”.

Tapi apa yang mendorong orang melakukan hal ini?

“Ada sifat nartistik yang membuat dia ingin terlihat selalu benar, karena dia enggak peduli dengan perasaan orang lain,” jelas Anas.

Sama halnya dengan Anas, Retty Ratnawati, Komisioner Subkom Pemulihan dan Resource Center Komisi Nasional (Komnas) Perempuan juga mengatakan hal yang sama.

Baca Juga: Bawa Dampak Positif, Ini Profil 3 Komunitas yang Terpilih dalam Program Community Accelerator dari Facebook

Sifat nartistik-lah yang membuat hubungan antar-pasangan atau antar-relasi menjadi tak memiliki ketenangan atau rasa tenteram.

Apalagi, baik Anas maupun Retty setuju jika pelaku gaslighting biasanya adalah orang yang cukup berpendidikan.

“Karena mereka seakan memiliki kekuasaan untuk mengontrol orang lain sambil menyalahgunakan kekuasaan dan membuai dengan kata-kata ‘magic’-nya,” tutur Retty Ratnawati.

Tapi sebenarnya, gaslighting tidak terjadi hanya di hubungan asmara (orang yang berpacaran atau suami-istri).

Baca Juga: Ini Cara Tetap Happy dan Jaga Kesehatan Mental Selama Ramadan

Gaslighting bisa terjadi juga di dunia kerja (antara atasan dengan bawahan), dalam hubungan orangtua-anak, juga di sekolah (antara guru dengan murid).

Bahkan metode gaslighting menurut Retty, acap kali juga digunakan dalam interogasi ketentaraan, untuk menekan pihak yang sedang diinterogasi.

Beragam Wujud

Apakah istilah gaslighting juga dikenal dalam hukum di Indonesia?

Mengacu ke kisah antara R dan NC, “Gaslighting versi ini di Komnas Perempuan itu kita masukkan dalam eksploitasi seksual karena gasligthting-nya ini dalam bentuk seksual dalam hubungan asmara. Parahnya tak ada hukum yang memayungi pelaku atau korban kalau dalam hubungan pacaran,” jelas Retty.

“Tapi kalau dalam posisi sudah menikah dan melakukan kekerasan seksual itu masuknya ke KDRT, bisa jadi marital rape,” kata Retty.

Baca Juga: Selama Ini Salah Kaprah, Makanan Manis Justru Bisa Berdampak Buruk untuk Kesehatan Mental

Jadi, dalam hukum di Indonesia, memang tidak ada istilah gaslighting secara khusus. Tapi beragam wujudnya bisa dimasukkan ke dalam beberapa kategori. Seperti contoh gaslighting di kasus R dan NC, itu dimasukkan ke dalam eksploitasi seksual.

Bila terjadi antara murid senior kepada murid yunior, bisa dimasukkan ke dalam bullying. Kalau terjadi perilaku kekerasan dari suami kepada istri, dimasukkan ke dalam KDRT. KDRT sendiri dibagi dalam empat bagian, yaitu kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual.

Dengan angka KDRT di Indonesia yang semakin bertambah, berarti bisa dikatakan perilaku gaslighting di Indonesia cukup tinggi. CATAHU 2020 juga menuliskan kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi kasus yang paling banyak diadukan sepanjang tahun 2019 di ranah personal.

Baca Juga: Jangan Disepelekan, Ini 8 Cara Menjaga Kesehatan Mental Selama di Rumah Aja

Lalu bagaimana bila kita menjadi korban?

“Harus segera cari bantuan, kalau enggak bisa-bisa si korban bakalan jadi pelaku juga ke depannya,” kata Retty. Sebab, jika korban sudah depresi, 50-60 persennya bisa mengalami post-traumatic stress disorder (PSTD) yang presentasi sembuhnya hanya 10 persen saja.

Yang perlu kita—sebagai perempuan—waspadai adalah: kita bisa menjadi korban (mendapat perlakuan gaslighting dari suami) tapi di sisi lain kita juga bisa menjadi pelaku (terhadap suami atau anak) tanpa kita sadar.

Ada di mana pun posisi Anda, sebelum semuanya makin memburuk, segera ambil tindakan. Kalau bukan kita yang menghargai diri kita sendiri, siapa lagi?

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store. (*)