Jelang Pemilu 2024, Yuk Simak Cerita Quick Count Pertama di Indonesia

By Presi, Sabtu, 30 Juli 2022 | 05:34 WIB
Pemilihan Umum (Pemilu) berdasar asas LUBERJURDIL (KOMPAS.com/MAHDI MUHAMMAD)

NOVA.id - Pada 2024 mendatang, kita akan menyambut pesta demokrasi serentak.

Pada 2024 nanti, kita akan melangsungkan pemilihan umum (pemilu) dam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Setiap pemilihan umum digelar, hal yang paling ditunggu adalah hasilnya.

Di Indonesia, jumlah kertas suara yang tercoblos menjadi tanda keberhasilan kandidat yang mengikuti pesta demokrasi tersebut.

Indonesia dengan wilayah luas dan penduduk yang begitu banyak menjadikan penghitungan suara lambat dilakukan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemungutan suara juga harus menghitung dan mencocokkan data di tempat pemungutan suara, satu demi satu agar sesuai saat dilakukan rekapitulasi tingkat nasional.

Proses penghitungan suara itu bisa dilakukan hingga berbulan-bulan. Selain itu, manipulasi hasil pemilu juga rawan dilakukan tanpa ada pengawalan.

Dengan prinsip untuk mengawali hasil pemungutan suara dalam pemilu, maka sejumlah lembaga pun memperkenalkan hitung cepat atau quick count.

Secara umum, quick count merupakan metode statistik untuk mengetahui hasil pemilihan suara dengan mengambil sampel di sejumlah tempat pemungutan suara.

Baca Juga: Mengenal 3 Istilah Daftar Pemilih Pemilu 2024, yuk Gunakan Hak Pilihmu!

Sampel yang diambil juga tak sembarang, melainkan secara acak dan representatif mewakili karakteristik populasi di Indonesia.

Quick count dilakukan dengan metodologi khusus sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tentu saja dalam quick count ada margin of error, meskipun persentasenya sangat sedikit.

Dengan demikian, masyarakat harus tetap menunggu hasil akhir penghitungan yang dilakukan KPU.

Quick count bukan penghitungan resmi, melainkan sebagai pembanding untuk menghindari manipulasi penggelembungan suara.

Lantas, bagaimana awal mulanya dilakukan quick count di Indonesia?

Hal ini terjadi pada Pemilu 2004. Saat itu, Indonesia dihadapkan pada pesta demokrasi yang berbeda dari sebelumnya.

Rakyat diberikan kewenangan secara penuh untuk memilih langsung presiden dan wakil presidennya.

KPU ingin memberikan servis dan pelayanan terbaik kepada rakyat mengenai hasil pemilu.

KPU juga sempat berjanji bahwa masyarakat dapat mengetahui hasil perolehan suara lengkap dalam waktu cepat melalui jaringan teknologi informasi pemilu.

Baca Juga: Menjelang Pemilihan Umum 2024, Ini Penjelasan Pemilu Mulai dari Pengertian hingga Tujuan dan Hak Memilih

Sejarawan Universitas Sanata Darma (USD) Silverio Raden Lilik Aji Sampurno memberikan penjelasan, jaringan internet dan telepon sudah ada, namun penghitungan cepat secara manual belum bisa maksimal.

"Jaringan internet dan telepon sudah cukup memadai, tetapi kenyatan di lapangan tak sesuai dengan jadwal," ujar Silverio kepada Kompas.com, Kamis (18/4/2019) malam.

Namun, ada rencana Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melakukan penghitungan cepat atau metode quick count.

Rencana lama

Sebenarnya, program ini sudah direncanakan oleh LP3ES sejak masa Pemerintahan Soeharto dan Orde Baru berkuasa, terutama 1990-an.

Namun, quick count baru terealisasi secara nasional pada Pemilu 2004.

Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 6 Juli 2004, LP3ES sebenarnya telah melakukan metode penghitungan cepat sebelum Pemilu 2004, namun dalam lingkup yang lebih kecil.

Hal ini dilakukan oleh LP3ES dengan melakukan penghitungan cepat untuk wilayah wilayah DKI Jakarta.

Ketika itu, mereka berhasil memprediksi secara cepat dan tepat perolehan suara PPP, Golkar, dan PDI-P.

Baca Juga: Menjelang Pemilu 2024, Mari Kilas Balik Sejarah Pemilu 1999, Pesta Demokrasi dengan Partai Peserta Terbanyak

Pada Pemilu 1999, LP3ES juga telah mencoba memprediksi penghitungan suara di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Berbekal dari pengalaman lingkup tersebut, akhirnya mereka mencoba untuk melakukan perhitungan dalam lingkup yang lebih luas.

LP3ES juga melakukan kerja sama dengan The National Democratic Institute for International Affairs (NDI) atau organisasi internasional pemantau pemilihan umum yang berpusat di Washington, Amerika Serikat.

NDI telah menggunakan konsep ini pada pemilu di 10 negara yang berbeda. Hasilnya pun memuaskan.

Kemudian, dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 7 April 2004, cara yang mereka lakukan adalah dengan melakukan proyeksi dan analisis pengamatan langsung terhadap penghitungan suara di 1.416 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah suara 289.052 pemilih, yang menjadi sampel dari keseluruhan 2.000 TPS sampel yang tersebar di 32 provinsi.

Ketika itu margin of error dari prediksi diperkirakan tidak lebih dari 1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.  Dari hasil quick count yang dilakukan LP3ES sebagai bagian dari jaringan Jurdil Pemilu 2004, proyeksi perolehan suara Pemilu 2004 adalah Partai Golkar 22,7 persen, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 18,8 persen.

Sementara itu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 10,7 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 8,1 persen, Partai Demokrat 7,3 persen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7,2 persen, Partai Amanat Nasional (PAN) 6,4 persen, Partai Bulan Bintang (PBB) 2,6 persen dan sisanya 16 partai memperoleh kurang dari 2,5 persen.

Sempat diancam

LP3ES mengumumkan prediksi perolehan suara sehari kemudian kepada publik.

Baca Juga: Mengenal Asas Pemilu LUBERJURDIL dalam Demokrasi Indonesia

Sempat tak ada yang percaya, karena ini merupakan sistem yang baru di Indoesia.

Selain itu, LP3ES juga pernah mendapat ancaman dari Komisi Pemilihan Umum terkait hasil yang telah ditetapkan.

Dilansir Harian Kompas yang terbit pada 8 Juli 2004, ancaman itu adalah LP3ES dan NDI dapat dicabut akreditasinya sebagai pemantau dalam pemilu presiden dan wakil presiden.

Pasalnya, mereka dinilai melanggar peraturan sebagai pemantau, seperti diatur dalam undang-undang, Surat Keputusan KPU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemantau, dan kode etik pemantau.

Setelah itulah, menurut sejarawan, sistem mengenai hasil penghitungan cepat mulai diperbaiki. Lembaga-lembaga survei lain juga bermunculan. Akibat maraknya quick count, muncul juga konsultan quick count.

"Konsultan quick count akhirnya mulai bersaing dengan pemerintah dan banyak bekerja sama dengan stasiun televisi swasta," ujar Silverio.

Sekarang ini, penghitungan cepat atau quick count terbukti membantu dalam perhitungan suara pemilu.

Meski begitu, polarisasi yang terjadi di masyarakat akibat pilpres juga menyebabkan munculnya sejumlah pihak yang tidak percaya hasil quick count. Namun, hal yang perlu diingat adalah hasil akhir Pemilu 2019 memang secara resmi didapat setelah diumumkan KPU.

Baca Juga: Alasan Indonesia Gelar Pemilu untuk Mencari Pemimpin, Ini Penjelasannya

Quick count, sebagaimana prinsip awal dilakukan, hanya merupakan instrumen pembanding serta pengawasan agar tak terjadi manipulasi.

Dengan demikian, tentunya akan menjadi sebuah ironi jika quick count digunakan untuk melakukan manipulasi.

Lembaga survei tentunya menghindari hal itu untuk menjaga kredibilitas dan pertanggungjawaban secara ilmiah.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Bagaimanakah "Quick Count" Pertama Dilakukan di Indonesia?.

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)