Tiwul Yu Tum, Penggemarnya dari Wisawatan sampai Pak Sultan

By nova.id, Kamis, 30 April 2015 | 09:05 WIB
Tiwul Yu Tum Penggemarnya dari Wisawatan sampai Pak Sultan (nova.id)

"Tahun 2005 kami meminjam rumah kakak yang ada di samping warung kontrakan untuk memperluas warung tiwul. Kami juga sudah bisa menambah dua karyawan lagi untuk melayani pembeli yang kebanyakan pegawai kantor.

Ratmi dan Slamet mendapatkan angin segar ketika mendapat pelatihan manajemen dagang dan cara mengembangkan produk dari Disperindag tingkat provinsi. "Kami senang dan langsung ikut saja. Kami juga diajak pameran, dilatih teknis pembuatan tiwul yang baik. Bahkan dibantu alat-alatnya. Intinya kami terima pembinaan dari Pemda DIY termasuk BPOM hingga sertifikasi halal MUI."

Dari ajang pelatihan, timbul ide untuk memberi sesuatu yang baru pada dagangannya agar bisa berkembang. "Kami membuat varian rasa tiwul dengan mencampurkan buah nangka segar atau membubuhi meises ke dalam tiwul saat masih panas. Jadilah, tiwul rasa nangka dan cokelat. Ternyata pembeli banyak yang suka. Bahkan, wiasatawan ada yang minta dikasih toping keju."

Tiwul Instan Ketekunan dan konsistensi Ratmi dan Slamet berdagang tiwul berbuah manis. Ia mampu mengubah warungnya menjadi toko pusat oleh-oleh khas Gunung Kidul. Selain sajian utama gatot dan tiwul, Ratmi juga menyediakan aneka jajanan berbahan singkong. Sebagian dagangannya merupakan kerja sama dengan perajin makanan kecil warga setempat.

Bukan itu saja, ia mampu membeli rumah kakak yang dipinjamnya itu. Kini, selain menjadi tempat produksi, di lantai atas dibuat area resto gatot-tiwul. "Tamu-tamu yang datang bisa menyantap gatot-tiwul hangat di lantai atas. Per porsi Rp15.000. Kebanyakan keluarga dan tamu yang datang rombongan dengan mobil pribadi. Ada juga rombongan wisatawan yang baru pulang wisata. Bahkan, ada yang minta dibungkus untuk dibawa pulang."

Kreasi lainnya, Ratmi dan Slamet membuat tiwul dan gatot yang dikeringkan dengan kemasan menarik. Mereka menyebutnya tiwul dan gatot instan. Per kemasan isi setengah kilo harganya Rp18.000. Di bagian kemasan tertulis cara memasak dan penyajiannya.

Kendati demikian, Ratmi tak keberatan menerima titipan produk serupa dari pabrik tiwul instan milik perusahaan berskala besar yang ada di Gunung Kidul. "Sejak tahun 2004 pabrik tiwul itu menitipkan produknya di toko saya."

Atas ketekunan memihak jajanan khas rakyat Gunung Kidul, Tiwul Yu Tum pada tahun 2013 mendapatkan penghargaan dari Pemda DIY. Bagi Ratmi , "Sepanjang masyarakat masih mau makan tiwul, itu sudah penghargaan yang berarti bagi kami," tegas Ratmi.

Menurut Ratmi, ibunda tercinta sempat melihat perkembangan usahanya hingga tahun 2013. "Ibu saya meninggal 7 Desember 2013 dalam usia 76 tahun. Ketika masih hidup beliau menyatakan senang usahanya bisa berkembang di tangan saya dan suami. Bahkan sempat berpesan kepada saya supaya hati-hati mengembangkan usaha."

Untuk melengkapi tokonya, Slamet juga membuat getuk goreng Sokaraja seperti tempat asalnya. "Bedanya, getuk kami lebih krispi dan tidak terlalu manis. Kami jual per besek, isi 0,5 kilo seharga Rp13.000. Peminatnya semakin bertambah dari hari ke hari," terang Ratmi.

Jual Online Ratmi pantas bangga, gatot dan tiwul buatan Yu Tum juga disukai pemimpin negeri ini. "Di masa Presiden Soeharto, ibu saya sering diminta menyajikan tiwul untuk beliau. Baik saat Pak Harto berkunjung ke Gunung Kidul maupun ketika di Istana Gedung Agung, Yogyakarta. Pak Harto memang penyuka tiwul."

Raja Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga gubernur DIY Ngarsadalem Sultan HB X, kata Ratmi, juga menyukai tiwul Yu Tum. "Pak Sultan juga sering kok. Kalau ada acara di Gunung Kidul, kami menyajikan tiwul untuk Pak Sultan," jelas Ratmi yang kini sering diminta Disperindag melatih pembuatan tiwul di beberapa tempat.