Sebetulnya, setiap pasangan yang ingin membina keluarga harmonis harus menghindari perasaan takut atau keinginan lebih dominan. Kala hubungan suami istri dipenuhi perasaan takut, tentu hubungan antara suami-istri, bahkan anak, menjadi tidak sehat.
* Memiliki Kerja sama yang baik.
Baik suami dan istri harus bisa memahami berbagai perbedaan, kekurangan atau kelebihan masing-masing pasangan. Dengan begitu akan terjalin hubungan yang sehat. Bila keduanya tidak saling menghargai, maka tidak mungkin terbentuk sebuah keluarga harmonis.
* Tahu apa yang disukai dan tidak.
Baiknya, sejak sebelum atau awal pernikahan, suami dan istri sudah saling berusaha mengetahui, apa yang disukai dan tidak, sikap yang bagaimana yang disukai, gaya bicara seperti apa yang disenangi, dan sebagainya. "Intinya, pasangan paling pengin diapain dan paling tidak pengin diapain," tandas Clara.
UNTUK MENGATASI SEBAIKNYA...
* Jalin kembali komunikasi dan kerjasama yang baik. "Untuk melakukan komunikasi, pilihlah waktu yang terbaik dimana keduanya sedang dalam kondisi kondusif untuk membicarakan segala permasalahan. Misalnya, kala sedang santai."
* Bila suami yang ingin mengawali pembicaraan terhadap istri yang lebih dominan, suami harus memilih waktu yang tepat, misalnya istri sedang dalam suasana tenang, mood-nya lagi enak, tidak ada beban, tidak letih, dan sebagainya. Jangan malah berkomunikasi ketika istri sedang dalam tensi tinggi. Khawatir hasilnya bukan membaik malah timbul konflik baru yang mungkin bisa membahayakan rumah tangga.
* Sebaliknya, bila istri yang akan memulai komunikasi, istri pun harus memilih waktu yang tepat. Komunikasi yang dilakukan pun bisa diungkap sambil bercanda. Bisa sambil pura-pura menceritakan temannya yang memiliki suami takut istri, kemudian bercerita dampak-dampak yang terjadi setelahnya. Atau, ketika sedang menyaksikan drama di teve, di situ terlihat sikap istri yang cerewet, judes, selalu marah-marah, istri bisa meminta pendapat suami apakah dia juga seperti itu. Kalau ya, apakah harus diperbaiki, dan sebagainya.
SUBMISIF TAK SELALU NEGATIF
Sebenarnya, kata Clara, suami tipe submisif tidak selamanya negatif. Maksudnya, ketika dia menikah dengan wanita bertipe dominan, belum tentu hubungan keduanya menjadi tidak sehat. Seringkali, suami yang submisif butuh pasangan yang dominan dan otoriter. "Ketika keduanya menikah malah menjadi pasangan yang klop."
Dengan kata lain, sikap suami yang selalu menunggu, tidak punya inisiatif, dan takut salah bisa ditutupi dengan sikap istri yang bisa berlaku tegas, mengambil keputusan cepat, selalu berinisiatif, berani, dan sebagainya. Dengan begitu, keduanya akan saling mengisi kekurangan masing-masing.
Tentu saja, sikap submisif ini jangan sampai dibarengi rasa takut. Bila melihat suami submisif, maka istri lebih baik mengambil alih untuk melakukan hal yang terbaik. Jadi, kita pun harus membedakan antara takut dan mengalah. Suami yang suka mengalah bukan karena dia takut, tetapi lebih karena dia ingin menunjukkan sikapnya. "Mungkin, si suami bisa memahami sifat istrinya yang terkadang ingin selalu dipenuhi keinginannya, cerewet, dan kepala batu, misalnya."
Irfan Hasuki